Ada satu pertanyaan yang sering
diajukan untuk warga Muhammadiyah, benarkah Gerakan Salafi-Wahabi itu sama
dengan Muhammadiyah? Jika jawabannya berbeda, lalu bukankah kedua gerakan ini
sama-sama mengusung ide pembaharuan (purifikasi) Islam? Jika jawabannya sama,
lalu bukankah Muhammadiyah berbeda dengan mayoritas gerakan pembaharuan lainnya
di seluruh dunia dan bahkan dalam ranah tertentu dianggap sesat oleh
Salafi-Wahabi itu sendiri?
Jawabannya akan sangat beragam
mengingat Muhammadiyah sendiri sedemikian kompleks. Banyak pra-pemahaman yang
berseliweran di tengah publik, dan umumnya menganggap bahwa Muhammadiyah itu
sama dengan Salafi-Wahabi. Padahal, jika mau ditelisik lebih jauh, Muhammadiyah
merupakan organisasi yang memiliki kekhasan tersendiri. Tidak bisa disamakan
dengan gerakan pembaharuan di Mesir, Pakistan, dan Arab Saudi. Tidak bisa
disamakan dengan gerakan tarbiyah PKS. Berbeda dengan gerakan khilafah HTI.
Berbeda dengan gerakan kebudayaan NU. Berbeda dengan gerakan anti bid’ah MTA. Dan
tentunya jauh berbeda dengan gerakan pemurnian Islam Wahhabiyah, et.al.
Betapa sebagian orang menyamakan
antara Muhammadiyah dan Wahabiyah. Ada yang berasumsi bahwa Muhammadiyah
merupakan perpanjangan tangan dari gerakan radikal wahhabi, yang berkembang di
Arab Saudi. Tak dimungkiri, bahwa kedua organisasi ini memiliki beberapa
kesamaan dalam hal tertentu. Namun tidak ditemukan adanya suatu landasan yang
bisa dipertanggung jawabkan bahwa salah satu organisasi ini merupakan representasi
atau perpanjangan tangan dari organisasi yang satunya. Jika karena dengan
adanya beberapa kesamaan fiqih dijadikan sebagai patokan, maka organisasi NU
juga –misalnya-- dapat dikategorikan merupakan titisan Wahhabiyah juga, karena
sama-sama melaksanakan solat tarawih 20 rakaat atau sama-sama solat ‘id hari
raya di masjid atau sama-sama memakai metode rukyah, et.al.
Untuk membuktikan ada atau
tidaknya “hubungan kekerabatan” antara Muhammadiyah dan Wahbiyyah bisa
ditelusuri dari sang pendiri kedua ormas ini. Wahhabiyyah merupakan salah satu
aliran dalam Islam yang lahir di Nejd (Saudi Arabia). Didirikan oleh Muhammad
ibn Abd al-Wahhab (1115 H-1206 H/1703-1787 M) di desa ‘Uyaynah yang terletak di
Nejed. Gerakan itu terbentuk, bukan merupakan respon dan reaksi terhadap
suasana politik di Nejed seperti yang dilakukan di Kerajaan Utsmani dan Mughol,
melainkan sebagai respon dan reaksi terhadap pemahaman tauhid yang berkembang
di masyarakat Muslim waktu itu. Menurut Muhammad ibn Abd al-Wahhab, pemahaman
masyarakat ketika itu sudah menyimpang dari paham tauhid yang sebenarnya.
Kemurnian tauhid mereka telah dirusak oleh ajaran-ajaran tarekat yang semenjak
abad ke-13 M telah tersebar luas di dunia Islam. Inilah alasan utama berdirinya
gerakan Wahhabi. Melakukan pembaharuan dengan segala cara untuk membawa umat
menuju “akidah yang lurus”, terbebas dari segala noda kesyirikan. (Lihat (Harun
Nasution, 1975)
Sementara Muhammadiyah didirikan
oleh K.H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tanggal 8 Zulhijjah 1330 H/18
Nopember 1912 M. Dengan latar belakang lahir di keluarga seorang ulama, beliau
mendapat pengajaran agama secara matang dan mendalam. Merasa tidak cukup dengan
berbagai ilmu pengetahuan agama telah didapat di berbagai pondok pesantren di
Jawa, pada 1890 beliau berangkat ke Mekkah untuk berguru disana, salah satunya
pada Syekh Ahmad Khatib, seorang ulama dari Indonesia yang menetap di Mekkah.
Selama di Mekkah, K.H. Ahmad Dahlan bertemu dengan Sayid Muhammad Rasyid Ridha,
salah satu murid Syekh Muhammad Abduh, tokoh pembaharuan Islam di Mesir.
Padahal saat itu, tokoh Abduh dan Rasyid Ridha dengan kitab tafsirnya al-Manar
dianggap sebagai sosok liberal. Setelah pertemuan itu, ditambah dengan begitu
mirisnya realitas masyarakat di tanah air ketika itu, yang tidak hanya terjajah
secara fisik, namun juga terjajah agamanya, membuat K.H. Ahmad Dahlan mempunyai
keinginan yang besar untuk melakukan pembaharuan di Indonesia. (Lihat A.
Athailah, 2012)
Berbekal inspirasi dari Rasyid
Ridha dan Muhammad Abduh, --yang diinspirasi oleh Jamaluddin al-Afghani--, maka
sekembalinya ke tanah air, K.H.Ahmad Dahlan mulai melakukan gerakan pemurnian
akidah dan ibadah secara bertahap dan mandiri, diawali di Yogyakarta. Ahmad
Dahlan dengan gaya khasnya, mulai melakukan demistifikasi kyai di masyarakat. Kyai
yang saat itu begitu dipuja dan dimitoskan (melangit), mulai dipersepsikan lebih membumi. Untuk
mewujudkan upaya pembaharuan tersebut, beliau bersama pengikut-pengikutnya
tidak hanya melakukan dakwah bi al-lisan (ucapan), tetapi lebih dengan
bi al-hal (perbuatan), dengan memfokuskan diri di ranah feeding,
schooling, dan healing.
Dari awal berdirinya, --jauh
sebelum Indonesia merdeka-- Muhammadiyah yang mengusung jargon sebagai “gerakan
pencerahan menuju Indonesia berkemajuan” telah melangkah memperkenalkan Islam
modernis di Indonesia. Dalam bidang kesehatan, disaat kepercayaan masyarakat
masa lalu masih sangat bergantung kepada dukun dan thabib, Muhammadiyah justru
membangun Rumah Sakit PKU (Pembina Kesejahteraan Umat), yang mayoritas
dokternya malah beragama non muslim pada awalnya. Demikian halnya dengan bidang
pendidikan, Muhammadiyah mempelopori lahirnya sekolah dan sistem pendidikan
modern di saat masyarakat ketika itu masih menggantungkan pendidikannya pada
sekolah tradisional dan pesantren. Hingga tahun 2014, Muhammadiyah sudah
memiliki lebih dari 400 Rumah Sakit, lebih dari 10.000 sekolah mulai tingkat TK
hingga SMA, terdapat 172 Perguruan Tinggi di seluruh Nusantara. Disaat yang
bersamaan, pemerintah baru memiliki 150 Perguruan Tinggi. (Selengkapnya lihat
database resmi Persyarikatan Muhammadiyah, dapat diakses di http://www.muhammadiyah.or.id)
Semua “pembaharuan” yang
dilakukan oleh Ahmad Dahlan ketika itu dianggap “aneh”. Mulai dari membaca
tafsir Al-Manar yang dicap liberal, memakai jas sebagaimana orang Belanda yang
“kafir”, ikut di organisasi Boedi Oetomo yang juga “kafir”. Mengajar di sekolah
“kafir” hingga mendirikan sekolah yang menggunakan meja dan kursi seperti
sekolahnya orang-orang “kafir”. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah membuat langgar
dengan kiblat yang berbeda. Dan menentang serta mengkritisi kiblat-kiblat
masjid yang salah dan biasanya disesuaikan dengan kondisi jalan, kebijakan
pemerintah dan lain-lain. Dahlan juga memakai peta dan kompas yang dianggap
milik orang kafir untuk menjelaskan posisi kiblat yang salah. Beliau juga
menggunakan biola milik orang “kafir” sebagai sarana untuk menjelaskan agama.
(Rahman Putra, 2015). Seiring waktu, apa yang dulunya ditolak, mulai diterima
di masyarakat. Kasus terakhir, misalnya adalah di-SK-kannya ketentuan penentuan
arah kiblat berdasarkan pada teori ilmu astronomi pada tahun 2010 oleh Kemenag
RI, sesuatu yang sudah dipelopori oleh KH.Ahmad Dahlan sejak tahun 1912.
Hingga hari ini, aksi nyata
Muhammadiyah --yang bukan hanya terjebak pada persoalan pemberantasan TBC
(Tahayul, Bidah, Churafat) atau fikih dan ibadah, sebagaimana sering dijadikan
alasan kesamaan dengan Wahabi-- masih terus diwujudkan. Tak hanya berpusat di
kota, namun juga hingga ke pelosok desa terjauh. Muhammadiyah berusaha membela
kaum mustadh’afin (marjinal) sesuai dengan theologi al-Maun hingga ke titik
terjauh. Misalnya di saat mayoritas masyarakat terus melaknat kaum pelacur dan
tanpa memberi solusi, Muhammadiyah turun tangan membangun masjid di lingkungan
“kotor” dan membina para pelacur yang dianggap keji dan najis oleh
lingkungannya. Muhammadiyah melalui Majelis Pemberdayaan Masyarakat ikut membangun
panti asuhan di sekitar lokalisasi pelacuran untuk menampung dan mendidik
anak-anak pelacur, para pengamen, dan gelandangan (Disampaikan oleh Mutiullah
Hamid dalam seminar di PWM Yogyakarta, 2014). Aksi lainnya, di saat banyak
kelompok tertentu belum bisa hidup bertoleransi dengan keanekaragaman
Indonesia, Muhammadiyah bahkan sampai pada membangun Amal Usaha, berupa rumah
sakit, universitas, dan sekolah di daerah-daerah yang mayoritas Kristen. Sehingga
dikenal istilah “KRISMUHA”. Singkatan dari Kristen-Muhammadiyah, yaitu mereka
yang bukan Islam tapi memiliki hubungan “nasab”, memahami, bergabung, dan ikut mendukung
ideologi Muhammadiyah. (Selengkapnya lihat Abdul Mu'ti
dan Fajar Riza Ul Haq, Kristen Muhammadiyah: Konvergensi Muslim dan
Kristen dalam Pendidikan)
Tahun 1917, lima tahun setelah
berdirinya, Muhammadiyah mendirikan Aisyiah. Organisasi otonom di Muhammadiyah
ini dipelopori oleh Nyai Ahmad Dahlan untuk kepentingan kaum perempuan yang
saat itu masih belum mendapat (banyak) tempat di ruang publik. Organisasi
perempuan ini menjadi simbol bahwa Muhammadiyah sangat menghormati kaum
perempuan. Aisyiah bisa dikatakan menjadi pelopor emansipasi dan gerakan
kesetaraan gender di Indonesia. Sehingga, sembilan tahun kemudian, tepatnya pada
1928, diadakan Kongres Perempuan Indonesia yang dipelopori oleh para aktivis
Aisyiah. (Disadur dari ceramah Wawan Gunawan di PCM Depok, 2015)
Terlihat bahwa pendiri
Muhammadiyah, baik pahamnya, dakwahnya, terlebih jika dilihat kerja nyata di
masyarakat, tidak pernah terpengaruh oleh Wahhabiyyah atau pencetusnya. Menurut
A. Athaillah, Meskipun K.H. Ahmad Dahlan pernah belajar dan menetap beberapa
tahun di Mekkah, beliau tidak pernah belajar dan berguru kepada para ulama dari
kalangan Wahhabiyyah dan tidak pengagum karya-karya mereka. Apalagi bila
dilihat dari aspek pembaruan yang dilakukan oleh Muhammadiyyah, baik di bidang
pendidikan, sosial, budaya, kesehatan, dan ekonom, tidak ada hubungan kausal
antara keduanya. Di kalangan Wahhabi, terutama pada masa silam tidak pernah
dilaksanakan hal semacam ini. Mereka hanya terfokus pada dakwah untuk pemurnian
ajaran agama, khususnya di bidang akidah dan ibadah mahdhah.
Ajaran-ajaran Muhammadiyah, baik
yang berkenaan dengan akidah, fiqh, maupun akhlak merujuk kepada al-Quran dan
al-Sunnah. Dalam bidang fiqih, Muhammadiyah tidak berfanatik kepada mahzab
apapun, namun pendapat dari para imam mazhab dijadikan sebagai salah satu bahan
pertimbangan untuk memutuskan suatu hukum. Muhammadiyah memang tidak menganut
mazhab tertentu, namun orgnisasi ini tidak menjadi anti terhadap mazhab.
Muhammadiyah berusaha untuk menjauhkan umat dari taqlid buta. Disisi lain
membolehkan untuk bersikap ittiba’, dalam artian mengikuti pemikiran ulama
dengan mengetahui dalil dan argumentasi serta mengikutinya dengan pertimbangan
logika sehat dan masuk akal.
Ajaran-ajaran Muhammadiyah, baik
yang berkenaan dengan akidah maupun fiqh (hukum Islam) merujuk kepada Al-Quran
dan al-sunnah. Di samping itu juga diperlukan ijtihad. Namun, ijtihad melalui qiyas,
istisan masalih al-mursalah add al-dzari’ah, bukan merupakan sumber hukum,
melainkan metode untuk menggali hukum yang tidak ada nasnya di dalam Alquran
dan al-sunnah. Dalam perkembangannya, terkait dengan urusan fiqih, Muhammadiyah
membentuk Majlis Tarjih yang tugas utamanya melakukan kajian secara mendalam
terhadap praktek ibadah sehari-hari, dan kemudian mengeluarkan rekomendasi
untuk diikuti oleh para jamaah. Muhammadiyah tidak pernah mewajibkan anggotanya
untuk berpedoman kepada putusan Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam.
Artinya keputusan Majlis Tarjih tidak dianggap final atau yang paling benar dan
tepat. Keputusan tersebut masih bisa berubah di kemudian hari seiring konteks
dan kebutuhan umat yang semakin berkembang (Lihat A. Athailah, 2012).
Jika ingin dirincikan, akan
ditemukan keputusan Majelis Tarjih memiliki banyak perbedaan dengan fiqh yang
dianut oleh Wahhabiyyah, antara lain adalah sebagai berikut: pertama,
Salat tarawih pada bulan ramadhan sebanyak delapan rakaat, sementara menurut
amaliah yang dikembangkan oleh Wahhabi sebanyak 20 rakaat. Kedua, Salat
‘Id al-Fithri dan Salat ‘Id al-Adlha dilaksanakan di lapangan terbuka,
bukan di masjid, sedangkan menurut amaliyah Wahhabiyyah dilaksanakan masjid. Ketiga,
Penentuan awal Ramadhan dan awal Syawwal dilakukan melalui metode hisab,
sedangkan menurut Wahhabiyyah harus melalui metode rukyah. Keempat,
Zakat fithrah bisa berupa uang, sedang menurut Wahhabiyyah, tidak boleh berupa
uang, tetapi harus berupa makanan pokok daerah tersebut. Kelima, dalam
keadaan tertentu menurut Muhammadiyah zakat boleh diberikan kepada panitia
masjid atau kaum mustadhafin modern (kaum yang termarjinalkan secara
ekonomi dan sosial), sedang menurut Wahhabiyyah tidak boleh diberikan kepada
pihak-pihak yang tidak ternasuk asnaf delapan. Keenam, menurut
Muhammadiyah, dalam keadaan tertentu, perempuan bisa menjadi imam shalat. Sementara
Wahabi masih menganggap perempuan haram berkecimpung di ranah publik. Ketujuh,
peringatan maulid Nabi tidak ada salahnya jika itu membawa kebaikan kepada
umat, dan ini digolongkan sebagai amalan muamalah, bukan ibadah mahdhah
–sebagaimana juga pendapat Rasyid Ridha--. Sementara Wahabi mengharamkan
perayaan maulid secara mutlak. (Selengkapnya baca himpunan keputusan Majelis
Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam)
Dapat ditarik kesimpulan bahwa
Muhammadiyah dan Wahhabiyah memiliki beberapa kesamaan sebagai gerakan
purifikasi, namun kecenderungan dan metode keduanya jauh berbeda. Tidak
dipungkiri, ada beberapa warga Muhammadiyah yang memiliki keanggotaan ganda
atau istilah kasarnya “disusupi”. Di beberapa tempat, terutama di luar pulau
Jawa, mulai adanya upaya “pengambil alihan” masjid/mushalla milik Muhammadiyah
yang kemudian dijadikan lahan untuk mengembangkan paham salafi-wahabi (Lihat
misalnya artikel Abdul Munir Mulkhan Sendang Ayu). Amal Usaha
Muhammadiyah yang memutarkan perekonomian hingga 70 Triliun per tahun juga menjadi
salah satu alasan. Sehingga banyak yang “mengaku” Muhammadiyah demi posisi
tertentu. Persyarikatan yang lahir lebih dari se-abad yang lalu ini adalah untuk
menjadi wadah beramal, mengabdi, dan memberi. Persyarikatan ini selamanya bukan
wadah untuk mencari keuntungan pribadi, menuntut, dan meminta (Lihat misalnya tulisan
Imam Suprayogo Etos Ber-Muhammadiyah). Bahkan jika terkadang harus
memberi ke tangan yang kurang tepat, bukanlah menjadi cacat bagi Muhammadiyah.
Tidak penting untuk menjadi apa dan siapa, karena yang diutamakan di
Muhammadiyah adalah proses memberdayakan diri sendiri, sesama, dan umat manusia
pada umumnya.
Terakhir, Muhammadiyah merupakan
gerakan yang lebih mengedepankan progresifisme dalam gerakan puritanismenya
(Lihat Pradana Boy ZTF, 2012). Tolak ukur dari puncak kepuasan gabungan dari
progresifisme dan puritanisme lebih terletak pada ibadah sosial. Sementara Wahhabiyah
lebih mengedepankan konservatismenya. Sehingga kepuasan tertinggi puritanisme, konservatisme,
dan salafisme ini lebih terletak pada ibadah mahdhah dan terkesan lebih
individu (Disadur dari diskusi dengan Fauzi Islah, 2015). Sehingga orientasi
hidup antara warga Muhammadiyah dan Wahhabiyyah jelas berbeda. Pijakan utama
pembaharuan di Muhammadiyah adalah ikut serta membantu pemerintah mewujudkan
negara yang “baldatun thayyibatun warabbu al-ghafur” dan kemaslahatan yang
seluas-luasnya untuk umat manusia, tanpa memandang perbedaan SARA (Suku, Agama,
dan Ras). Wallahu a’lam bishawab.
Penulis
adalah Kabid. Keilmuan dan Media PK. IMM Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar