oleh: Muhammad Ridha Basri
Pertama, dalam logo
IMM, terdapat lambang Muhammadiyah, yang terletak di bagian bawah dan tunas
daun di atasnya. Kenapa lambang Muhammadiyah berada di bawah? Lambang itu
membawa pesan bahwa Muhammadiyah sebagai landasan dan dasar bagi gerakan IMM.
Landasan dan dasar untuk memulai (tajdid) Muhammadiyah. Dikuatkan dengan posisi
tunas daun, yang berarti sebagai pelanjut dan penerus bagi persyarikatan. Dari
sini, kader IMM dapat dimaknai sebagai orang-orang terpilih yang disiapkan
untuk meneruskan gerak dinamis bagi Muhammadiyah. IMM sebagai the theology
of hope, sebagai harapan bagi persyarikatan, bangsa, umat, dan peradaban.
Kenapa gerak
dinamisasi dan tajdid dipasrahkan pada punggung ikatan? Hal ini dikarenakan IMM
merupakan satu-satunya ortom yang merefkelsikan diri secara langsung sebagai
kaum akademisi. Kata mahasiswa menunjukkan aktivitas IMM di lingkungan kampus.
Tugas sebagai akademisi tidak lain adalah mereproduksi pengetahuan,
mereproduksi pemahaman, mereproduksi ide dan gagasan besar, serta mencerahkan
peradaban. Sehingga falsafah gerakan IMM dirumuskan berwujud; pemaksimalan akal
(bayani/teks, burhani/pengetahuan, dan irfani/nurani) dalam membaca fenomena
untuk mencari kebenaran, di dasarkan pada tuntunan dan inspirasi dari al-Quran
dan Sunnah. Sehingga dalam Muhammadiyah, IMM sebagai kaum intelektual memiliki
tanggung jawab ganda. Adapun kerja intelektual adalah kerja seumur hidup, dan
itu pun tidak akan pernah puas dan tuntas.
Peranan IMM
sebagai lokomotif pembaharuan pemikiran dalam Muhammadiyah semakin dipertegas
dengan ide dasar IMM itu sendiri, yang meliputi tiga hal. Pertama, vision.
Yaitu membangun tradisi intelektual dan wacana pemikiran. Dalam bahasa lain
disebut sebagai pencerahan intelektual dan pengkayaan intelektual. Kedua,
value. Berupa usaha untuk mempertajam hati nurani melalui penanaman nilai
moral agama. Ketiga, courage. Adalah keberanian dalam melakukan
aktualisasi program (Amir Fiqi, dkk, 2011).
Kedua, makna dari
semboyang Fastabiqul Khairat. Secara sepintas sering diartikan
berlomba-lomba dalam kebaikan. Perintah ini diperintahkan untuk segenap
manusia, tanpa dilandasi perbedaan kelompok, ras, suku, dan lainnya. Manusia
diperintahkan untuk berlomba dalam berbuat kebajikan terhadap manusia dan alam
sekitarnya. Ayat itu menganjurkan untuk berkompetisi dalam hal kebaikan. Dalam
bahasa Arab, kebaikan bisa dimaknai dengan banyak kosa kata, semisal al-khair,
al-birr, al-ihsan, dst.
Istilah fastabiqul
khairat juga diperkuat oleh QS al-Maidah, ayat 2: “Dan tolong menolonglah
kalian dalam kebaikan dan takwa dan janganlah kalian tolong menolong dalam
perbuatan dosa dan permusuhan”. Menurut Ibnu Katsir, berdasarkan
redaksinya, ayat ini memiliki makna umum, yaitu bagi semua hamba agar
senantiasa tolong-menolong dalam melakukan kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Hal itu sebagai realisasi dari takwa. Sebaliknya, jangan sampai seorang hamba
berbuat kebatilan dan kemunkaran yang akan melahirkan dosa dan permusuhan bagi
sesama manusia. Jika melihat pemahaman tersebut, maka perbuatan baik menjadi
keniscayaan setiap manusia, dalam rangka menjaga kebahagiaan dan kedinamisan
bersama.
*Materi disiapkan untuk diskusi X-DAD Gafatar (Gerakan Fastabiqul Khairat) PK IMM Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada Rabu, 17 Februari 2016
Menurut al-Mawardi,
kata al-birru dalam ayat ini memiliki tujuan mendapatkan kerelaan
manusia, dengan adanya relasi yang baik dan harmonis antar sesama. Misalnya,
bertetangga dengan saling menghargai, partisipatif dan jauh dari rasa
mengungguli agar dapat hidup berdampingan dan seiring-sejalan. Tanpa adanya
diskriminasi satu atas yang lainnya, maka terciptalah rasa aman dan kedamaian.
Dalam tataran
hubungan antar komunitas yang berbeda, cara pensikapan terdiri dari ekslusif,
inklusif, dan pluralis. Semboyan fastabiqul khairat berbeda jauh dengan
makna lakum dinukum waliya din. Lakum dinukum waliyadin masuk tataran
inklusif, menghendaki ketika adanya perbedaan disikapi dengan saling
bertoleransi secara pasif. Berhenti dalam perbedaan dan keyakinan
masing-masing. Adapun fastabiqul khairat menghendaki di satu sisi do our best, saling berkompetisi,
bukan memusuhi atau rivalitas; juga di sisi lain saling bersinergi, membangun
harmoni, dan saling bekerja sama dengan siapapun yang berbeda. Fastabiqul
khairat masuk tataran pluralis.
Konsep
fastabiqul khairat merupakan keniscayaan bagi kader IMM dalam bersikap, karena
dunia intelektual adalah lapangan bagi segala perbedaan itu ada. Menurut Buya
Syafi’i; dunia intelektual adalah ranah yang sarat tantangan. Seorang yang
bernyali kecil jangan coba-coba berjalan di jalan ini, karena pastilah dia akan
keteteran. Jika anda bernyali kecil, maka jadilah manusia biasa-biasa saja yang
tidak perlu diganggu oleh ejekan, cemooh, dan hukuman yang sering memojokkan.
Semua kritik ini adalah tunangan belaka dari manusia yang bergumul dalam dunia
ide.
* * *
Intellectualism
means pluralism. Lack of pluralism means decadence.
(Murad W.
Hofmann)
The high result of education is
tolerance (Hellen Killer)
Komentar
Posting Komentar