Oleh Fauzi Ishlah
Saya mendapatkan amanat dari rekan-rekan IMM komisariat Ushuluddin
UIN Sunan Kalijaga untuk mempresentasikan kurang lebih seperti judul di atas.
Menurut saya pribadi tema ini “susah-susah gampang”, karena berbicara masalah
kesadaran itu susah untuk di ukur secara kasat mata. Menilai apa yang menjadi
dorongan satu atau banyak warga Muhammadiyah itu pasti banyak mengalami kendala
dan kesulitan, karena menilai apa yang berada dalam hati dan pikiran mereka.
Gampang, karena saya dan rekan-rekan sekalian berada dalam satu emosi atau
perasaan di organisasi ini dengan banyak melihat fenomena-fenomena terjadi di
tubuh persyarikatan kita ini, seolah-olah kita punya satu ikatan untuk
merasakan secara keseluruhan. Tetapi saya tidak akan banyak mengeksplor banyak
pada poin kedua, karena hanya akan berhenti pada praduga-praduga belum tentu
benar, tanpa ada bukti pasti.
Saya sarankan kepada
rekan-rekan IMM jangan berhenti pada buku-buku pokok Muhammadiyah seperti anggaran
dasar dan anggaran rumah tangga Muhammadiyah, buku-buku ideologi Muhammadiyah,
atau himpunan majelis tarjih. Buku-buku tersebut penting, tapi kita membaca
Muhammadiyah pada suasana at home. Sebagai bagian dari Muhammadiyah yang
berada dalam level mahasiswa, IMM menurut saya tidak mengalami kendala untuk
diajak melihat, membaca, dan merasa Muhammadiyah dengan wacana keilmuan
kontemporer, karena dengan pembacaan tersebut untuk menjawab poin pertama di
atas dan kita kader-kader Muhammadiyah menjadi kritis, karena menjadikan
Muhammadiyah sebagai objek kajian, sehingga kita bisa setidaknya mengengok apa
yang menjadi peluang, hambatan, tantangan organisasi ini di abad ke dua.
Pada tulisan sederhana ini saya pesimis kalau saya memberi kepuasan
untuk memberi motivasi untuk “ber-Muhammadiyah dengan baik”. Saya di sini hanya
memberikan arahan dan pandangan baru bagi rekan-rekan IMM bagaimana kita
mempunyai kesadaran ber-Muhammadiyah di zaman kontemporer, ingat Muhammadiyah
era Ahmad Dahlan sama sekali berbeda dengan sekarang dalam banyak hal
sebagaimana dikatakan Admad Dahlan sendiri “Muhammadiyah sekarang lain dengan
Muhammadiyah yang akan datang, maka teruslah sekolah dan menuntu ilmu dimana
saja. Jadilah dokter, jadilah insinyur, dan lain-lain, dan kembalilah untuk
memajukan Muhammadiyah ini”.
A.
Membangun
Kesadaran
Berbicara tentang kesadaran, dalam tradisi marxian conciousness
menempati posisi penting. Conciousness merupakan pijakan utama untuk agenda
pembebasan, karena adanya sistem yang menjarah manusia dengan dunia komoditas,
menurut marx dunia komditas ini membentuk dunia palsu akhirnya manusia
teraleniasi dari dunianya (Marcuse, 259). Untuk melawan sistem tersebut perlu
menyadarkan kesadaran dialektis dengan membalikkan dialektikan hegel. Saya
tidak akan berbicara banyak tentang marx, akan tetapi menggaris bawahi, bahwa
kesadaran itu penting tata cara kita mengolah realita di sekitar kita dan ada
bukan sendiri lahir, tetapi kesadaran itu dibentuk. Tema kesadaran di atas
berguna untuk sedikit mengkonstruk sejarah Muhammadiyah.
Muhammadiyah saat ini telah melewati usianya seratus tahun lebih
dikit. Secara historis awal didirikan Muhammadiyah sangat terpengaruh oleh tren
pemikiran Islam pada saat itu yakni pembaharuan/reformis Islam dari mesir
dibawa oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Menurut Haedar Nashir
Mengutip John. L. Esposito “para reformis Islam menekankan semangat,
kelenturan, dan keterbukaan yang telah menjadi ciri khas perkembangan Islam,
terkhusus capaian-capaian di bidang hukum, pendidikan, dan ilmu pengetahuan.
Mereka mendesak reformasi internal lewat sauatu proses ijtihad dan adaptasi
selektif (islamisasi) ide-ide dan teknologi Barat” (Haedar : 204). Pengaruh ini
sangat kental dalam pendirian Muhammadiyah karena Ahmad Dahlan sendiri pada
saat itu bersinggunangan dengan paham reformis ini.
Gagasan pembaharuan dibawa Ahmad Dahlan ini disebut oleh Abdul
Munir Mulkhan berupa modernisasi, dakwah liberal, dan pendidikan Islam. Fokus
utama awal Muhammadiyh berdiri ialah feeding, schooling, dan healing,
bahkan keputusan fikih keagamaan Muhammadiyah pada saat itu yaitu fikih kitab
telu, hampir sama dengan faham keagamaan masyarakat ketika Ahmad Dahlan masih
hidup seperti penggunaan kata-kata sayyidina sebelum menyebut nama Nabi
Muhammad (silahkan lihat muhammadiyahstudies.blogspot.com). Dalam arti
perdebatan teologis terutama fikih bukan fokus sassaran Muhammadiyah saat itu
lebih pada tiga poin di atas. Ahmad dahlan juga merombak tatanan teologis pada
saat itu, yang dulu murid itu harus datang belajar dengan kyai atau guru,
membalikkan keadaan dengan datang kepada murid, hal ini sebut Kuntowijoyo
dengan demistifikasi kyai.
Ide brilian Ahmad Dahlan
ini lah disebut arus progesifisme Islam, bahkan Munir Mulkhan dengan melihat
kriteria Islam Liberal yang dicirikan oleh charles khurzman. Islam Liberal di
bangun di atas pandangan dasar, bahwa wahyu Tuhan itu bisa ditafsiri dengan
akal manusia dan hasil penafsiran tersebut bisa mempunyai hasil yang
berbeda-beda. Dan untuk pengujian hasil penafsiran itu dengan kegunaan dalam
menyelesaikan persoalan kehidupan manusia (Mulkhan : 100. Gagasan progresif
kalau kita sandingkan dengan pembaharuan Islam akan bertemu bagaikan dua mata
koin tidak bisa dilepaskan.
B.
Kritik
Terhadap Muhammadiyah
Mari kita lihat kritik anak muda Muhammadiyah yang tergabung dalam
Jaringan Intelektualmu Muda Muhammadiyah (JIMM). Salah satunya ialah tradisi
tajdid (pembaharuan) Muhammadiyah telah meredup, bahkan mengarah pada
konservatirme dan fundamentalisme agama. Warga Muhammadiyah terlalu lama dalam
oreintasi struktural yang berdimensi kekuasaan, sebagian yang lain terjebak
pada dimensi doktrinal skriptualis (Burhani : 3). Bukan berarti warga
Muhammadiyah secara keseluruhan bersifat fundamentalis dan konservatif, akan
tetapi ada tarik menarik tiga kubu seperti Ahmad Najib Burhani kategorikan
yakni puritan, salafi, dan progresif.
Puritan yaitu mereka sangat konservatif dalam beragama kan tetapi
orientasinya bersifat duniawi. Keberhasilan beragama dilihat berapa banyak
beramal sosial, membangun sekolah, panti asuhan, atau rumah sakit. Hal ini
seperti analisa sosiolog terkenal Max Weber dalam fondasi kapitalisme barat,
etika protestan dan spirit kapitalisme. Kelompok kedua, yakni salafi, mereka
sangat terikan dengan kode dan ritual keagamaan. Keselamatan orang beriman
kelompok ini ditekankan pada keimanan bukan aktivitas sosial. Kelompok terakhir
yaitu kalangan progresif, kelompok ini menekankan perlunya mengadopsi
nilai-nilai dan ilmu pengetahuan kemajuan di luar Islam, contoh Barat dan
berusaha menyesuaikan dengan ajaran Islam. Kelompok ini sangat peduli dengan
teologi dan intelektualisme sebagai jalan pembebasan dan keselamatan (Burhani :
1).
Menurut pengamat Muhammadiyah James. L. Peacock, pada awal berdiri
sampai tahun 1950an Muhammadiyah mempunyai spirit yang kental pada kelompok
pertama, bahkan Peacock menyamakan dengan kelompok Calvinisme Amerika, yang
menjadikan Amerika maju secara ekonomi. Akan tetapi Peacock menulis tentang
fundamentalisme pada tahun 2002 yang mempunyai ciri sama seperti Muhammadiyah
(Burhan : 2). Menurut saya tarikan tiga kelompok ini akan terus berlangsung,
yang perlu kita perhatikan sekarang, Muhammadiyah saat ini telah memiliki
banyak amal usaha, hal ini merupakan akibat semangat puritanisme warga
Muhammadiyah, tetapi semangat peritanisme tanpa diimbangi dengan semangat
progresif, hanya akan memasukkan pada kelompok kedua yakni salafi, itu muara
kritikan JIMM di atas.
Tidak salah akhir-akhir ini Muhammadiyah dituduh sama dengan
gerakan Wahabi (silahkan baca Muhammadiyah dan Wahabisme, mengurai titik temu
dan titik seteru), karena ada yang menilai Muhammadiyah mempunyai semangat anti
khurafat, bid’ah dan takhayyul. Dan mengartikan gerakan Wahabi dengan idelogi
terorisme yang berimbas pandangan sederhana bahwa Muhammadiyah mempunyai ideologi
kekerasan. Menurut saya orang di luar Muhammadiyah melihat ada sisi-sisi
ke-salafiyan dalam ideologi dan fenomena warga Muhammadiyah keras terhadap hal
yang menyimpang dari ajaran akidah dan ibadah. Walaupun pandangan simplifiksasi
seperti itu terlalu tergesa-gesa dan kurang tepat.
Itu masalah kontemporer Muhammadiyah yang dihadapi walaupun masih
ada beberapa lagi saya tidak akan menjelaskan panjang lebar. Saya tekankan
bahwa, kalau kita melihat sejarah Ahmad Dahlan dan awal berdirinya Muhammadiyah
cenderung memiliki spirit progresif dan puritan lebih dominan. Walaupun menurut
Peacock di atas Puritan mempunyai kecendurngan ke fundamentalisme dan
salafisme, harus diimbangi dengan progresifisme. Bagi saya itu menjadi masalah
Muhammadiyah saat ini, terutama unut kalangan angkatan muda Muhammadiyah.
Tidak ada jalan keluar untuk masalah ini selain membangkitkan arus
kesadraan progresifisme dalam Muhammadiyah, tertama anak mudanya.
C.
Kesimpulan
Muhammadiyah mempunyai pengaruh kuat dari gerakan pembaharuan islam
pada abad 19 terutama pengaruh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Dari
pengaruh tersebut Ahmad dahlan membuat gerakan keislaman yakni Muhammadiyah
dengan spirit progresif dan puritan, sehingga satu sisi mengajarkan warga
Muhammadiyah untuk senang beramal soleh dan sarat dengan idea of progres.
Kemunduran kepada spirit progresif inilah menjadikan stagnasi gerakan
Muhammadiyah yang bermuara pada kecenderungan salafisme. Membangkitkan arus
progresifitas dalam Muhammadiyah jalan keluar untuk mengatasi kebuntuan ini,
terutama pada angkatan muda Muhammadiyah.
Daftar Pusaka
Edt. Muarrif, “Muhammadiyah dan Wahabisme, Mengurai Titik Temu dan
TitikSeteru”, Yogyakarta : Suara Muhammadiya, 2012.
Marcuse, Herbert, “Rasio dan Revolusi, Menyuguhkan Kembali Doktrin
Hegel untuk Umum” Yogyakarta : pustaka Pelajar, 2004.
Munir Mulkhan, Abdul, “ Jejak Pembaharuan Sosial dan Kemanusiaan
Kiai Ahmad Dahlan’ Jakarta : Kompas, 2010.
Najib Burhani, Ahmad, wawancara Majalah Matan Edisi 78 Januari 2013
“Muhammadiyah Perlu Ijtihad Baru”.
Artikel
Koran Kompas 30 November 2009 “ 100 Tahun Muhammadiyah”.
Artikel
“JIMM : Pemberontakan Anak-Anak Muda Muhammadiyah terhadap Aktivisme,
Skripturalisme, dan Orientasi Struktural di Muhammadiyah”.
Nashir, Haedar, “Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah Ideologis di
Indonesia”, Jakarta : Mizan, 2013.
Komentar
Posting Komentar