Oleh: Immawan Muhammad Asro Al Aziz
Keturunan (nasl) merupakan serangkaian karakteristik
seseorang yang diwariskan orang tua kepada anak, atau segala potensi, baik
fisik maupun psikis yang dimiliki seseorang dari orang tua melalui gen-gen.
Keturunan juga merupakan faktor utama yang mempengaruhi perkembangan individu. Perhatian
Islam terhadap keturunan dapat dilihat dari sejarahnya yang membuktikan bahwa
merupakan hal yang sangat penting dalam, sehingga terdapat beberapa ayat
al-Qur’an yang secara spesifik berbicara tentang penjagaan keturunan. Misalnya
pada QS. al-Ahzab: 4-5 yang memberi tuntunan tentang proses pemberian nasab
terhadap anak kandung dan anak angkat. Karena, perhatian terhadap keturunan
juga berimplikasi terhadap hak pemberian nafkah, pewarisan harta, pengharaman
nikah, dan lain-lain.
Islam memberikan perhatian yang besar terhadap keturunan untuk
mengukuhkan aturan dalam keluarga yang bertujuan untuk mengayominya melalui
perbaikan serta menjamin kehidupannya. Karena keturunan memiliki urgensi
sebagai fondasi kekerabatan dalam keluarga, sehingga Islam berusaha menjaga dan
melindungi kehormatan keturunan. Menurut
Abdul Wahhab Khallaf memelihara keturunan (hifdzu nasl) termasuk ke
dalam kebutuhan asasi kemaslahatan manusia, karena memelihara keturunan
merupakan bentuk pemeliharaan terhadap kelestarian manusia. Syari’at diturunkan
tidak hanya untuk satu generasi tertentu saja, akan tetapi untuk
keberlangsungan hidup dari generasi ke generasi. Karena syariat tidak akan ada
artinya jika hanya berjalan pada suatu generasi tertentu saja tanpa berlanjut
kepada generasi setelahnya.
Keluarga merupakan
institusi pertama seorang anak yang terbentuk karena adanya ikatan perkawinan
antara suami dan istri. Keluarga juga merupakan tempat terbaik dalam mendapatkan
nilai-nilai agama. Karena anak harus sedini mungkin diberikan pendidikan dan
penanaman nilainilai agama. Adapun dalam proses pendewasaan anak diperlukan
berbagai macam proses yang diperankan oleh ayah dan ibu dalam lingkungan
keluarga. Oleh karena itu, orang tua memiliki tanggung jawab besar dalam
mendidik anak supaya menjadi pribadi yang shaleh. Hal ini terdapat dalam firman
Allah QS.al-Tahrim: 6. Ayat tersebut mengandung ilustrasi bahwa dakwah dan
pendidikan harus dimulai dari rumah. Peristiwa ini terjadi di rumah Nabi
sebagaimana diuraikan dalam ayat-ayat sebelumnya sebagai teladan bagi umat
Islam untuk menjaga diri dan keluarganya dari api neraka. Secara redaksi, ayat
tersebut ditujukan kepada seorang pria (kepala rumah tangga), namun hal ini
bukan berarti hanya berlaku untuk mereka saja, melainkan ini juga merupakan
tanggung jawab ayah dan ibu sebagai orang tua sebagaimana ayat-ayat yang serupa
yang ditujukan untuk laki-laki dan perempuan, misalnya dalam ayat yang
memerintahkan berpuasa. Oleh karena itu, orang tua harus bertanggung jawab atas
anak-anaknya, pasangannya, dan bertanggung jawab atas perilakunya. Karena orang
tua tidak cukup hanya dengan menciptakan kondisi rumah tangga yang diliputi
oleh hubungan keluarga yang harmonis. Menurut as-Syathibi, perintah memberi
nasihat dan perhatian dengan menjaga dari api neraka merupakan bentuk majaz,
oleh karena itu, nasihat merupakan salah satu hal yang dapat menjauhkan
seseorang dari perbuatan yang mengarah pada siksa neraka dan bertujuan supaya
nasihat yang diberikan lebih serius. Karena dalam kehidupan rumah tangga, orang
tua sering lupa akan nasihat kepada diri dan keluarganya, sehingga mereka
melakukan perbuatan yang tercela. Salah satu perbuatan tercela tersebut adalah
zina.
Zina dalam dunia
Barat diartikan sebagai persetubuhan yang dilakukan oleh dua orang yang salah
satu pelaku atau kedua pelaku terikat perkawinan dengan orang lain. Maka, hukum
zina tidak berlaku bagi persetubuhan yang dilakukan oleh dua orang yang tidak
terikat perkawinan. Sedangkan dalam Islam, zina diartikan sebagai hubungan
kelamin antara laki-laki dengan perempuan tanpa ikatan hubungan perkawinan,
sehingga hukum zina berlaku untuk siapapun. Zina termasuk ke dalam tindak
pidana yang diancam dengan hukuman had, yakni hukuman yang dikenakan kepada
pelanggaran yang menyangkut hak Allah. Hukuman bagi pelaku zina ghairu muhson
adalah dera seratus kali, berdasarkan QS. al-Nur: 2, sedangkan hukum rajam tidak ada dalam al-Qur’an, tetapi
didasarkan pada pernyataan Umar ibn Khattab yang pernah melihat Nabi Muhammad
SAW memerintahkan perajaman bagi muhson.12 Pengaruh yang ditimbulkan dari
perbuatan zina diantaranya adalah dapat merusak dasar hidup, peraturan
kekeluargaan, dan suasana kehidupan di masyarakat.13 Oleh karena itu, Allah menetapkan
hukuman tertentu bagi pelaku zina dalam QS. an-Nur: 2, dan dasar larangan zina
disebutkan dalam QS. al-Isra’: 32
Secara medis, seseorang yang melakukan zina atau beganta-ganti
pasangan akan sangat mudah untuk terserang beberapa penyakit yang tergolong
berbahaya, bahkan beberapa penyakit ini belum ditemukan obatnya. Beberapa dari
penyakit itu adalah spilis, kencing nanah dan HIV/AIDS. Penyakit-penyakit
tersebut sangat berdampak buruk bagi pelaku itu sendiri dan nantinya bisa
menular kepada anak keturunan yang dihasilkan. Seorang bayi yang dihasilkan
dari benih ayah dan ibu yang mengidap penyakit Sipilis akan mengalami Abortus
(keguguran), bayi ini juga bisa mengalami kelainan fisik. Berbagai bentuk
kelainan itu bisa dalam bentuk kekurangan kaki, tangan, tubuh yang lain bahkan
syaraf-syarafnya pun ikut terganggu. Anak yang mengalami kekurangan, baik itu
dari segi jasmani dan rohaninya akan mempengaruhi proses perkembangan dan
pertumbuhan dari sang bayi.16 Begitu pun dengan penyakit kencing nanah dan
HIV/AIDS juga dapat berdampak kepada anak.
Dampak perzinaan, selain dari segi medis juga berdampak terhadap
yang lainnya, yakni dalam hal penasaban. Seorang anak hasil zina akan
samar-samar mengenai nasab keturunannya. Menurut hukum perdata dan hukum Islam,
anak yang lahir dari seorang laki-laki dan perempuan yang tidak terikat
perkawinan atau zina maka anak ini tidak bisa dinasabkan kepada sang ayah,
melainkan hanya bisa dinasabkan kepada ibunya. Namun, ada ketentuan tersendiri
dalam pembahasan hukum perdata, seorang anak dapat diakui sebagai anak setelah
sang ayah mengakuinya dan telah disahkan bahwa anak itu sebagai anak yang sah.
Sehingga dari pengesahan ada hubungan timbal balik dalam hak dan kewajiban
antara keduanya. Tetapi hal tersebut tetap tidak bisa disahkan menurut hukum
Islam, karena nantinya permasalahan nasab ini akan mempengaruhi mengenai hak
dan kewajiban, seperti contoh pewarisan. Hal ini nantinya akan berdampak
langsung kepada psikologi dari sang anak, dan kebanyakan kasus anak yang lahir
dari hubungan zina psikologinya akan sedikit terganggu atau tidak stabil. Dari
dampak-dampak yang telah dipaparkan, dapat dilihat pengaruh terbesar akibat
dari perzinaan adalah anak (keturunan). Maka maqasid dari pelarangan zina ini
adalah untuk menjaga keturunan, hal ini pula sesuai dengan apa yang tertera
dalam QS. at-Tahrim: 6 dan QS. an-Nisa’: 9 yang mempunyai maksud untuk mendidik
anak supaya nantinya anak akan menjadi generasi penerus yang baik dalam segala
hal dan membanggakan orang tuanya.
Hifdz an-nasl (memelihara
keturunan) merupakan kebutuhan manusia dalam tingkatan dharuri, karena
memelihara keturunan merupakan bentuk pemeliharaan terhadap kelestarian
manusia. Ajaran Islam juga memberikan bahasan mengenai hifdz an-nasl
demi pemeliharaan keturunan manusia, baik keharusan berketurunan atau sistem
berketurunan yang baik dalam membangun keluarga dan masyarakat. Cara-cara yang
diajarkan Islam yakni berupa perkawinan, merawat keturunan, menjaga
keharmonisan rumah tangga, menjaga harga diri, dan lain-lain. Cara-cara yang
diajarkan Islam tersebut merupakan tujuan syari’at (maqashidu syariah)
dalam pemeliharaan keturunan. Tulisan ini mengemukakan implementasi hifdz
an-nasl melalui aspek positif dan cara-cara protektif-preventif. Dalam hal
ini, aspek positif yang dimaksud adalah pendidikan terhadap anak, sedangkan
aspek preventifnya adalah larangan zina. Dalam kehidupan rumah tangga, orang
tua sering lupa akan nasihat kepada diri dan keluarganya, sehingga mereka
melakukan perbuatan yang tercela. Hal ini dijelaskan dalam QS. at-Tahrim: 6
yang memerintahkan orang tua untuk menjaga diri dan keluarganya dari api
neraka. Tujuannya adalah supaya diperoleh keturunan yang menjadi generasi
penerus yang baik dalam segala hal dan membanggakan orang tuanya, karena
keluarga merupakan tempat terbaik dalam mendapatkan nilai-nilai agama. Adapun
pengharaman zina ditinjau dari analisis maqashid akan berpengaruh besar
pada keturunan. Dari perbuatan tersebut akan muncul anak orang lain yang
menjadi anak sendiri dan sebagainya, sehingga muncul masalah dalam hal warisan
dan kerusakan nasab. Terlebih bagi pelaku zina yang mengidap penyakit HIV/AIDS
akan menurunkan penyakit kepada anaknya. Selain pengaruhnya terhadap keturunan,
perbuatan zina juga berpengaruh tehadap kerusakan nasab, terlantarnya
keturunan, merusak keperawanan perempuan, sulit mendapatkan pasangan. Apabila
pelaku sudah menikah, maka hubungan rumah tangganya akan rusak. Na’uzubillahi
min dzalik…
Referensi:
‘Ashur, Ibn.
Tanpa tahun. Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir. Tunisia: Dar Suhunun li Nash wa al-Tawzi’.
Baharuddin,
Ahmad Syukran, dkk. 2015. “Forensik Biologi dalam Penjagaan Nasab (Hifz Al-Nasab/Nasl)”,
dalam Umran, International Journal of Islamic and Civilizational Studies, vol.
2, no. 2, 2015.
Fachruddin,
Fuad Mohd. 1991. Masalah Anak dalam Hukum Islam Anak Kandung. Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya.
Fathurrohman,
Muhammad. 2016. “Pembawaan, Keturunan, dan Lingkungan dalam Perspektif Islam”
dalam Kabilah, Vol. 1 No. 2 Desember 2016.
Haq, Hamka.
2007. Ulama dan Cendekiawan Muslim as-Syathibi: Aspek Teologi Konsep Maslahah
dalam Kitab al-Muwafaqat. Jakarta: Erlangga.
Huda, Syamsul.
2015. “Zina dalam Perspektif Hukum Islam dan Kitab Undang Undang Hukum Pidana”,
dalam Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol. 12, No. 2, Desember 2015.
Ilyas, Ismardi.
2014. “Stratafikasi Maqashid Al-Syari’ah terhadap Kemaslahatan dan
Penerapannya”, dalam Hukum Islam, Vol. XIV, No. 1 Juni 2014.
Jauhar, Ahmad
al-Mursi Husain. 2010. Maqasid Syari’ah. Jakarta: Amzah.
Kasijan. 1982.
Tinjauan Psikologis Larangan Mendekati Zina dalam al-Qur’an. Surabaya: Bina
Ilmu.
Muhtarom, Ali.
2018. “Kedudukan Anak Hasil Hubungan Zina Menurut Hukum Islam dan Hukum
Positif”, dalam Jurnal Murabbi, Vol. 3, No. 2, 2018.
Shihab, M.
Quraish. 2002. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an.
Jakarta: Lentera Hati.
Subhan dkk. 2013.
Tafsir Maqashidi: Kajian Tematik Maqashid Syari’ah. Kediri: Libroyo Press.
Taubah,
Mufatihatut. 2015. “Pendidikan Anak dalam
Keluarga Perspektif Islam”, dalam Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. 03, No. 01, Mei 2015.
Wartini, Atik.
2014. “Konsepsi Maqashid Al-Syari'ah Dalam Pemikiran Al-Syathibi”, dalam
Isti’dal, Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2014.
al-Qurthubi,
Imam. 2008. Tafsir al-Qurthubi. Jakarta: Pustaka Azzam.
Komentar
Posting Komentar