Suara
Muhammadiyah, [Senin, 20 Pebruari 2006]
Oleh: Farid Setiawan
Membaca tulisan Abdul Munir Mulkhan (Pak Munir) di
majalah Suara Muhammadiyah dengan judul "Sendang Ayu; Pergulatan
Muhammadiyah di Kaki Bukit Barisan (edisi SM. No. 0l/th ke 91 Januari 2006)
menarik untuk dicermati. Dalam tulisannya, Pak Munir, memberi gambaran tentang
sebuah kondisi pergulatan Muhammadiyah di suatu dusun yang bernama Sendang Ayu,
daerah Purwodadi, Lampung Tengah. Dimana, di daerah itu mulai masuk para "mubaligh tamu" dengan membawa pesan
terhadap salah satu partai politik tertentu. Pesan-pesan itu disampaikan para mubaligh tersebut melalui media
pengajian rutin. Sebagai salah satu basis utama cabang Muhammadiyah Purwodadi
sesuai perjalanan waktu mulai mengalami pergeseran dan bahkan pembelotan
terhadap ideologi Muhammadiyah.
Uraian yang disampaikan oleh Pak Munir tersebut
merupakan suatu fenomena yang secara tidak langsung telah menampar wajah para
pemegang kendali Muhammadiyah saat ini. Bagaimana tidak, Muhammadiyah yang
selalu di "elu-elukan" oleh warga persyarikatan maupun banyak orang
diluar persyarikatan sebagai ormas terkaya dalam bidang amal usaha, gerakan
Islam modernis, dan ormas terbesar nomor dua di Indonesia setelah Nahdlatul
Ulama, ternyata memiliki krisis legitimasi dari para pengikutnnya. Hal ini
ditunjukkan dengan polarisasi keyakinan dan bahkan pembangkangan terhadap manhaj Muhammadiyah ditingkat basis,
seperti cabang dan ranting. Hal serupa juga tidak menutup kemungkinan dengan
munculnya kecenderungan yang sama dan para pimpinan diberbagai tempat yang saat
sekarang duduk sebagai pejabat teras di Pimpinan Daerah sampai Pusat.
Sayangnya, dalam tulisan itu, Pak Munir baru sebatas menguak sebuah kondisi kronis dan dinamika salah satu basis Muhammadjah. Seperti para tokoh Muhammadiyah lainnya, Pak Munir hanya mengurai dan menunjukkan virus serta bisul-bisul penyakit yang sudah masuk pada kategori stadium empat. Sehingga gagasan-gagasan tersebut menjadi bahan opini publik dengan (sedikit) mengesampingkan bagaimana meramu serum anti virus yang ampuh dan efisien. Pendek kata, sejauh ini para pimpinan sebatas himbauan dan menekankan model gerakan dakwah bil-lissan.
Lepas dari itu semua, paling tidak, dalam hal ini Pak Munir telah memberikan kontribusi yang luar biasa tentang carut marutnya kondisi internal Muhammadiyah saat sekarang. Sebuah kondisi dimana wabah penyakit telah hinggap dan menggerogoti tubuh Muhammadiyah sampai ke akar-akarnya.
Layaknya bakteri atau virus yang begitu cepat menyebar dan tidak pandang bulu untuk menyerang paradigma pengurus Muhammadiyah saja, melainkan para aktivis mudanya pun telah tertular kegenitan virus politik berlambang padi itu. Disinilah, bentuk-bentuk penjarahan anggota dan kader muda Muhamnaadiyah secara besar-besaran terjadi.
Mereka yang di "gadang gadang" sebagai resources dan pelopor baru Muhammadiyah ternyata juga mengalami pembangkangan terhadap organisasi induknya. Tidak sedikit dinamika lapangan mengungkap suatu fenomena baru dengan beredarnya proposal dikalangan Muhammadiyah yang berasal dari salah satu ortom, dimana dana yang diperoleh tersebut tidak digunakan untuk kepentingan dan kegiatan ortom. Dan, yang paling tragis adalah munculnya dualisme kepemimpinan dari para pimpinan ortom. Di satu sisi, sang kader menjabat sebagai ketua salah satu ortom, dan disisi lain, masuk sebagai pekerja politik bernafas Islam yang baru saja melejit di pemilu 2004 kemarin.
Menurut hemat penulis, porak porandanya sistem maupun kondisi internal ini dikarenakan belum maksimalnya para pimpinan Muhammadiyah untuk menjawab kebutuhan - moral maupun spiritual - kadernya. Segala bentuk gagasan bertema purifikasi dan pembaharuan yang melangit dalam segala bidang selalu dikedepankan. Hal ini menjadikan para pimpinan terjebak dan bahkan tercerabut dari akar permasalahan. Peran mubaligh Muhammadiyah dengan sendirinya telah tergeser dengan munculnya para intelektual (meminjam istilah Kuntowijoyo) muslim tanpa masjid.
Para cendekiawan muslim Muhammadiyah ini terlahir dari rahim forum-forum ilmiah keagamaan, buku-buku ke-Islaman dan berbagai media yang menunjang dalam memenuhi kebutuhan masyarakat kontemporer. Tak pelak - jika terkadang – para cendekiawan produk Muhammadiyah ini gagap dalam menjawab masalah-masalah fundamental persyarikatan. Logikanya, seseorang ingin makan nasi tapi diberi roti. Meskipun sama-sama kenyang, tapi roti tersebut belum menjadi representasi dari keinginan awal orang tersebut. Karenanya muncul disharmoni di Muhammadiyah dalam mengembangkan gagasan ke Islaman dengan mengatasi kebutuhan riil kader dari anggotanya.
Bentuk kesenjangan ilmiah yang perlu dijadikan refleksi kritis para pimpinan Muhammadiyah kedepan. Pejabat Muhammadiyah tidak dapat dengan serta merta menyalahkan, memvonis maupun menghakimi para anggota dan kadernya yang melakukan pembangkangan terhadap matan dan keyakinan hidup Muhammadiyah (MKCH). Pengurus Muhammadiyah pun juga tidak layak untuk "kebakaran jenggot" dengan adanya fenomena ini. Karena, semua adalah kekurangan dari Muhammadiyah saat sekarang. Muhammadiyah yang cenderung giat dengan aktivitas politik, terjebak dengan rutinitas birokrasi dan masalah-masalah kontemporer kemasyarakatan sehingga "lupa" memberi "makan" kader dan anggota sesuai dengan keinginannya.
Melihat wajah buram saat sekarang, menurut penulis terdapat beberapa agenda yang masih menjadi tantangan Muhammadiyah kedepan. Pertama, seyogyanya Muhammadiyah sedikit merubah pola gerak dengan gencar mengedepankan dan melakukan reproduksi besar-besaran terhadap para mabaligh ala Muhammadiyah yang ditampung dalam bank da'i. Produk ini tidak sebatas tampil disaat bulan Ramadhan dengan agenda rutinan yang berupa mubaligh hijrah-nya, melainkan juga selalu stand by dalam setiap kesempatan untuk memberikan pengajian dari masjid ke masjid, kampus ke kampus dan berbagai tempat yang strategis dan potensial untuk mengembangkan dakwah.
Kedua, Muhammadiyah juga perlu untuk melakukan pembenahan sistem pengkaderan yang selama ini tidak tertransformasikan sampai di tingkat basis, karena itu, perlu untuk membangunkan kembali program pengkaderan yang dinilai (sedang) mati suri ini. Pola perkaderan Muhammadiyah tidak hanya berjalan secara monoton dan dilakukan usai penerimaan karyawan maupun dosen dalam amal usaha. Program pengkaderan seluruh pimpinan kedepan difokuskan dalam membentuk militansi, ideologisasi, loyalitas dan karakter pimpinan yang berangkat dari kader dan anggota Muhammadiyah.
Ketiga, adalah pemberdayaan kader secara maksimal keseluruh amal usaha sesuai dengan bakat dan talenta masing masing kader. Hal ini disamping berfungsi untuk membuat para kader merasa at home dan enjoy dalam naungan Muhammadiyah, juga sebagai upaya untuk mengikat kader agar tidak lari hanya karena tuntutan hidup yang tidak terpenuhi. Sehingga motto yang melekat dalam sanubari kader sebagai pelopor, pelangsung dan penyempurna amal usaha dapat terealisasi dengan baik.
Keempat, dibutuhkan sikap tegas Muhammadiyah dalam melakukan pembersihan terhadap seluruh jajaran pimpinan yang 'disinyalir' menjadi penggerak manhaj lain. Meskipun hal ini tidak dapat diukur sejauh mana pandangan itu diambil, namun yang jelas, berkembangnya manhaj lain di Muhammadiyah juga dikarenakan dorongan dan para elit pimpinan Muhammadiyah sendiri di masing masing level.
Kelima, mengedepankan paradigma baru dalam melakukan gerakan dakwah Muhammadiyah. Yaitu dengan memperluas gerakan dakwah yang selama ini lebih mengedepankan aspek bil-lissan (aspek bicara) menuju gerakan dakwah yang mengarah pada aspek bil hal, bil hikmah yang mengandung nilai-nilai action (aksi) yang kongkrit dan nyata dirasakan oleh kader, anggota dan masyarakat secara langsung. Sehingga dakwah tidak selalu dimaknai sebagai bentuk "ngomong" semata. Melainkan diikuti dengan keteladanan para pemimpin dan tokoh-tokoh Muhammadiyah.
Oleh karena itu, Muhammadiyah harus dengan cepat mengambil tindakan untuk mengamputasi virus kanker yang masuk kategori stadium empat ini. Manhaj lain telah menabuh genderang perang. Apabila dengan adanya fenomena ini Muhammadiyah masih saja "diam", maka dengan adanya penjarahan kader tersebut, tidak tertutup kemungkinan kedepan Muhammadiyah hanya memiliki usia sesuai dengan umur para pimpinannya sekarang. Dan juga tidak tertutup kemungkinan jika Alm. K.H. Ahmad Dahlan dapat bangkit dari liang kubur akan terseok dan menangis meratapi kondisi yang telah menimpa kader dan anggota Muhammadiyah. Wallahu a'lam
Penulis adalah Ketua Umum Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPD IMM) DIY.
Sayangnya, dalam tulisan itu, Pak Munir baru sebatas menguak sebuah kondisi kronis dan dinamika salah satu basis Muhammadjah. Seperti para tokoh Muhammadiyah lainnya, Pak Munir hanya mengurai dan menunjukkan virus serta bisul-bisul penyakit yang sudah masuk pada kategori stadium empat. Sehingga gagasan-gagasan tersebut menjadi bahan opini publik dengan (sedikit) mengesampingkan bagaimana meramu serum anti virus yang ampuh dan efisien. Pendek kata, sejauh ini para pimpinan sebatas himbauan dan menekankan model gerakan dakwah bil-lissan.
Lepas dari itu semua, paling tidak, dalam hal ini Pak Munir telah memberikan kontribusi yang luar biasa tentang carut marutnya kondisi internal Muhammadiyah saat sekarang. Sebuah kondisi dimana wabah penyakit telah hinggap dan menggerogoti tubuh Muhammadiyah sampai ke akar-akarnya.
Layaknya bakteri atau virus yang begitu cepat menyebar dan tidak pandang bulu untuk menyerang paradigma pengurus Muhammadiyah saja, melainkan para aktivis mudanya pun telah tertular kegenitan virus politik berlambang padi itu. Disinilah, bentuk-bentuk penjarahan anggota dan kader muda Muhamnaadiyah secara besar-besaran terjadi.
Mereka yang di "gadang gadang" sebagai resources dan pelopor baru Muhammadiyah ternyata juga mengalami pembangkangan terhadap organisasi induknya. Tidak sedikit dinamika lapangan mengungkap suatu fenomena baru dengan beredarnya proposal dikalangan Muhammadiyah yang berasal dari salah satu ortom, dimana dana yang diperoleh tersebut tidak digunakan untuk kepentingan dan kegiatan ortom. Dan, yang paling tragis adalah munculnya dualisme kepemimpinan dari para pimpinan ortom. Di satu sisi, sang kader menjabat sebagai ketua salah satu ortom, dan disisi lain, masuk sebagai pekerja politik bernafas Islam yang baru saja melejit di pemilu 2004 kemarin.
Menurut hemat penulis, porak porandanya sistem maupun kondisi internal ini dikarenakan belum maksimalnya para pimpinan Muhammadiyah untuk menjawab kebutuhan - moral maupun spiritual - kadernya. Segala bentuk gagasan bertema purifikasi dan pembaharuan yang melangit dalam segala bidang selalu dikedepankan. Hal ini menjadikan para pimpinan terjebak dan bahkan tercerabut dari akar permasalahan. Peran mubaligh Muhammadiyah dengan sendirinya telah tergeser dengan munculnya para intelektual (meminjam istilah Kuntowijoyo) muslim tanpa masjid.
Para cendekiawan muslim Muhammadiyah ini terlahir dari rahim forum-forum ilmiah keagamaan, buku-buku ke-Islaman dan berbagai media yang menunjang dalam memenuhi kebutuhan masyarakat kontemporer. Tak pelak - jika terkadang – para cendekiawan produk Muhammadiyah ini gagap dalam menjawab masalah-masalah fundamental persyarikatan. Logikanya, seseorang ingin makan nasi tapi diberi roti. Meskipun sama-sama kenyang, tapi roti tersebut belum menjadi representasi dari keinginan awal orang tersebut. Karenanya muncul disharmoni di Muhammadiyah dalam mengembangkan gagasan ke Islaman dengan mengatasi kebutuhan riil kader dari anggotanya.
Bentuk kesenjangan ilmiah yang perlu dijadikan refleksi kritis para pimpinan Muhammadiyah kedepan. Pejabat Muhammadiyah tidak dapat dengan serta merta menyalahkan, memvonis maupun menghakimi para anggota dan kadernya yang melakukan pembangkangan terhadap matan dan keyakinan hidup Muhammadiyah (MKCH). Pengurus Muhammadiyah pun juga tidak layak untuk "kebakaran jenggot" dengan adanya fenomena ini. Karena, semua adalah kekurangan dari Muhammadiyah saat sekarang. Muhammadiyah yang cenderung giat dengan aktivitas politik, terjebak dengan rutinitas birokrasi dan masalah-masalah kontemporer kemasyarakatan sehingga "lupa" memberi "makan" kader dan anggota sesuai dengan keinginannya.
Melihat wajah buram saat sekarang, menurut penulis terdapat beberapa agenda yang masih menjadi tantangan Muhammadiyah kedepan. Pertama, seyogyanya Muhammadiyah sedikit merubah pola gerak dengan gencar mengedepankan dan melakukan reproduksi besar-besaran terhadap para mabaligh ala Muhammadiyah yang ditampung dalam bank da'i. Produk ini tidak sebatas tampil disaat bulan Ramadhan dengan agenda rutinan yang berupa mubaligh hijrah-nya, melainkan juga selalu stand by dalam setiap kesempatan untuk memberikan pengajian dari masjid ke masjid, kampus ke kampus dan berbagai tempat yang strategis dan potensial untuk mengembangkan dakwah.
Kedua, Muhammadiyah juga perlu untuk melakukan pembenahan sistem pengkaderan yang selama ini tidak tertransformasikan sampai di tingkat basis, karena itu, perlu untuk membangunkan kembali program pengkaderan yang dinilai (sedang) mati suri ini. Pola perkaderan Muhammadiyah tidak hanya berjalan secara monoton dan dilakukan usai penerimaan karyawan maupun dosen dalam amal usaha. Program pengkaderan seluruh pimpinan kedepan difokuskan dalam membentuk militansi, ideologisasi, loyalitas dan karakter pimpinan yang berangkat dari kader dan anggota Muhammadiyah.
Ketiga, adalah pemberdayaan kader secara maksimal keseluruh amal usaha sesuai dengan bakat dan talenta masing masing kader. Hal ini disamping berfungsi untuk membuat para kader merasa at home dan enjoy dalam naungan Muhammadiyah, juga sebagai upaya untuk mengikat kader agar tidak lari hanya karena tuntutan hidup yang tidak terpenuhi. Sehingga motto yang melekat dalam sanubari kader sebagai pelopor, pelangsung dan penyempurna amal usaha dapat terealisasi dengan baik.
Keempat, dibutuhkan sikap tegas Muhammadiyah dalam melakukan pembersihan terhadap seluruh jajaran pimpinan yang 'disinyalir' menjadi penggerak manhaj lain. Meskipun hal ini tidak dapat diukur sejauh mana pandangan itu diambil, namun yang jelas, berkembangnya manhaj lain di Muhammadiyah juga dikarenakan dorongan dan para elit pimpinan Muhammadiyah sendiri di masing masing level.
Kelima, mengedepankan paradigma baru dalam melakukan gerakan dakwah Muhammadiyah. Yaitu dengan memperluas gerakan dakwah yang selama ini lebih mengedepankan aspek bil-lissan (aspek bicara) menuju gerakan dakwah yang mengarah pada aspek bil hal, bil hikmah yang mengandung nilai-nilai action (aksi) yang kongkrit dan nyata dirasakan oleh kader, anggota dan masyarakat secara langsung. Sehingga dakwah tidak selalu dimaknai sebagai bentuk "ngomong" semata. Melainkan diikuti dengan keteladanan para pemimpin dan tokoh-tokoh Muhammadiyah.
Oleh karena itu, Muhammadiyah harus dengan cepat mengambil tindakan untuk mengamputasi virus kanker yang masuk kategori stadium empat ini. Manhaj lain telah menabuh genderang perang. Apabila dengan adanya fenomena ini Muhammadiyah masih saja "diam", maka dengan adanya penjarahan kader tersebut, tidak tertutup kemungkinan kedepan Muhammadiyah hanya memiliki usia sesuai dengan umur para pimpinannya sekarang. Dan juga tidak tertutup kemungkinan jika Alm. K.H. Ahmad Dahlan dapat bangkit dari liang kubur akan terseok dan menangis meratapi kondisi yang telah menimpa kader dan anggota Muhammadiyah. Wallahu a'lam
Penulis adalah Ketua Umum Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPD IMM) DIY.
Komentar
Posting Komentar