Dalam sejarah perkembangan keagamaan dunia, setidaknya ada 3 (tiga) agama monoteisme (kepercayaan pada satu Tuhan) yang tumbuh dan berkembang sampai saat ini. Ketiga agama tersebut adalah Yahudi, Nashrani (Kristen), dan Islam. Ketiga agama ini pada dasarnya merujuk kepada panutan yang sama, yaitu Nabi Ibrahim as. yang dikenal sebagai “bapak monoteisme”, fakta ini tertera dalam masing-masing kitab suci mereka, Yahudi dengan Tauratnya, Nashrani dengan Injilnya, serta Islam dengan Al-Qur’annya.
Fokus pembahasan kita kali ini adalah tentang agama Yahudi. Meskipun terdapat berbagai perbedaan pendapat tentang asal-usul kaum ini, tetapi sejarawan dan mayoritas tokoh Yahudi berpendapat bahwa istilah Israil bermula dari anak keturunan Nabi Ibrahim melalui jalur Nabi Ishak, yang kemudian melahirkan Nabi Ya’kub yang nantinya akrab dengan nama Israil. Jika data ini benar, maka sebenarnya kita perlu lebih bijak dalam menyebut kata Israil. Terlebih, mencemooh kata “Israil” adalah suatu hal yang kurang tepat, sebab penyebutan kata tersebut merujuk pada Nabi Ya’kub as. Sedangkan untuk penyebutan kata Yahudi, ditujukan kepada anak Ya’kub bernama Yahuda. Disamping Yahuda, Ya’kub memiliki 11 anak lainnya yang salah satunya bernama Yusuf a.s. Oleh sebab itu, agama yahudi dinisbatkan dengan nama Bani Israel (keturunan Israel).
Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, Nabi Ya’kub mempunyai 12 anak yang salah satunya bernama Yusuf yang kelak menjabat sebagai Menteri di Mesir. Dengan adanya Nabi Yusuf dan peran pentingnya di mesir inilah kemudian keluarga Nabi Ya’kub pindah ke Mesir sampai pada masa Nabi Musa. Keturunan Bani Israil tetap tinggal di Mesir sampai kurang lebih 300 tahun. Hanya saja, ketika mesir berada dalam kekuasaan pemimpin dhalim bernama Fir’aun, mereka mengalami penderitaan yang luar biasa. Belum ada data historis yang valid yang menyebutkan alasan kenapa pada masa kepemimpinan Fir’aun Bani Israel diperlakukan sebagai budak, tapi kemungkinan besar alasannya adalah karena mereka bukan penduduk asli mesir, ditambah lagi dengan kabar yang sampai pada Fir’aun bahwa kelak yang akan menggulingkan singgasananya adalah Bani Israel.
Bani Israil –terlebih pada masa Nabi Musa, pasca terlepas dari belenggu Fir’aun- merupakan kaum yang sungguh beruntung. Mereka diberi rizqi berupa makanan yang enak lagi banyak (manna dan salwa), sementara ketika mereka mengalami kehausan yang berat, mereka meminta Nabi Musa untuk memohon kepada Allah agar diberikan air. Permohonan Nabi Musa ini segera dikabulkan Allah dengan munculnya mukjizat Nabi Musa yang berupa pancaran dua belas mata air setelah Nabi Musa memukulkan tongkatnya di batu (QS. Al-Baqarah: 57-60). Mendapatkan makanan (manna dan salwa) serta sumber air yang begitu mudah ternyata belum mendatangkan kepuasan kepada mereka (Bani Israil), mereka menginginkan makanan lain yang lebih bervariasi (QS. Al-Baqarah:61). Ketidakpuasan serta ketidaktaatan menjadi boomerang bagi mereka. Bagaimana tidak, pada awalnya mereka adalah kaum yang dimuliakan, tetapi kemudian menjadi kaum yang dihinakan. Allah Swt. berfirman:
“Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang orang yang merugi. Mereka berkata: “Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar daripadanya, jika mereka keluar daripadanya, pasti kami akan memasukinya.” Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: “serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah-lah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” Mereka berkata: “Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada didalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, Sesungguhnya kami hanya duduk menanti disini saja.” Berkata Musa:”Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku, sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu.” Allah SWT berfirman: “(jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu.”” (QS. Al-Maidah: 21-26)
Setelah ketidakjelasan nasib mereka dan pasca wafatnya Nabi Musa, tongkat kepemimpinan berada di tangan Nabi Ilyas, lalu berlanjut kepada Nabi Yasa’, Nabi Daud, dan Nabi Sulaiman. Bani Israil dibawah pimpinan Daud as bisa memasuki tanah Palestina dan Sinai, kemudian menguasai Yerussalem kira-kira pada tahun 2000 SM. Hanya saja mereka belum bisa menguasai wilayah palestina sepenuhnya. Sementara Nabi Sulaiman juga membawa banyak perubahan pada kaum Yahudi. Beliau mendirikan masjid yang hingga kini cukup terkenal di seluruh pelosok dunia, yaitu Masjidil Aqsa. Kaum keturunan Israil itu hidup penuh kedamaian disana (Palestina). Kerajaan purba inilah yang dijadikan alasan historis untuk mengklaim “sah-nya” negara Yahudi di Palestina saat ini.
Ketika Nabi sulaiman wafat, terpecahlah kerajaan mereka menjadi dua, yaitu kerajaan Israil dan Yahudi. Ibukota kerajaan Israil adalah Samaria. Sedangkan ibu kota dari Yahudi adalah Darussalam. Selain dua kerajaan besar tersebut juga terdapat banyak kerajaan-kerajaan kecil yang muncul pasca wafatnya Nabi Sulaiman. Anehnya, mereka menganggap pemimpin yang menguasai wilayah kecil tersebut sebagai “raja”, sehingga mereka terlihat seperti kaum yang superior yang tak tertandingi. Pasca wafatnya Nabi Sulaiman, kaum Yahudi tidak memiliki tanah air dan selalu berdiaspora ke berbagai daerah dan menemui ketidakjelasan nasib. Namun, klaim kaum terpilih tetap mereka pegang, dimana hal itulah yang selalu menjadi alasan kaum Yahudi hingga kini untuk merebut Palestina dengan berbagai cara. Padahal mayoritas ulama berpendapat bahwa janji ini (QS. Al-Maidah: 21) diberikan kepada mereka ketika mereka masih taat kepada Allah, dan bukan untuk selamanya.
Catatan: Terdapat banyak versi mengenai sejarah dan perkembangan kaum Yahudi, adapun ketidakjelasan serta ketidakcocokan bisa disampaikan pada kolom komentar. Terima kasih.
*Kompilasi dua referensi, (William G. Carr, Yahudi Menggenggam Dunia dan Najamuddin Muhammad, Sejarah Konflik & Peperangan Kaum Yahudi)
Fokus pembahasan kita kali ini adalah tentang agama Yahudi. Meskipun terdapat berbagai perbedaan pendapat tentang asal-usul kaum ini, tetapi sejarawan dan mayoritas tokoh Yahudi berpendapat bahwa istilah Israil bermula dari anak keturunan Nabi Ibrahim melalui jalur Nabi Ishak, yang kemudian melahirkan Nabi Ya’kub yang nantinya akrab dengan nama Israil. Jika data ini benar, maka sebenarnya kita perlu lebih bijak dalam menyebut kata Israil. Terlebih, mencemooh kata “Israil” adalah suatu hal yang kurang tepat, sebab penyebutan kata tersebut merujuk pada Nabi Ya’kub as. Sedangkan untuk penyebutan kata Yahudi, ditujukan kepada anak Ya’kub bernama Yahuda. Disamping Yahuda, Ya’kub memiliki 11 anak lainnya yang salah satunya bernama Yusuf a.s. Oleh sebab itu, agama yahudi dinisbatkan dengan nama Bani Israel (keturunan Israel).
Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, Nabi Ya’kub mempunyai 12 anak yang salah satunya bernama Yusuf yang kelak menjabat sebagai Menteri di Mesir. Dengan adanya Nabi Yusuf dan peran pentingnya di mesir inilah kemudian keluarga Nabi Ya’kub pindah ke Mesir sampai pada masa Nabi Musa. Keturunan Bani Israil tetap tinggal di Mesir sampai kurang lebih 300 tahun. Hanya saja, ketika mesir berada dalam kekuasaan pemimpin dhalim bernama Fir’aun, mereka mengalami penderitaan yang luar biasa. Belum ada data historis yang valid yang menyebutkan alasan kenapa pada masa kepemimpinan Fir’aun Bani Israel diperlakukan sebagai budak, tapi kemungkinan besar alasannya adalah karena mereka bukan penduduk asli mesir, ditambah lagi dengan kabar yang sampai pada Fir’aun bahwa kelak yang akan menggulingkan singgasananya adalah Bani Israel.
Bani Israil –terlebih pada masa Nabi Musa, pasca terlepas dari belenggu Fir’aun- merupakan kaum yang sungguh beruntung. Mereka diberi rizqi berupa makanan yang enak lagi banyak (manna dan salwa), sementara ketika mereka mengalami kehausan yang berat, mereka meminta Nabi Musa untuk memohon kepada Allah agar diberikan air. Permohonan Nabi Musa ini segera dikabulkan Allah dengan munculnya mukjizat Nabi Musa yang berupa pancaran dua belas mata air setelah Nabi Musa memukulkan tongkatnya di batu (QS. Al-Baqarah: 57-60). Mendapatkan makanan (manna dan salwa) serta sumber air yang begitu mudah ternyata belum mendatangkan kepuasan kepada mereka (Bani Israil), mereka menginginkan makanan lain yang lebih bervariasi (QS. Al-Baqarah:61). Ketidakpuasan serta ketidaktaatan menjadi boomerang bagi mereka. Bagaimana tidak, pada awalnya mereka adalah kaum yang dimuliakan, tetapi kemudian menjadi kaum yang dihinakan. Allah Swt. berfirman:
“Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang orang yang merugi. Mereka berkata: “Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar daripadanya, jika mereka keluar daripadanya, pasti kami akan memasukinya.” Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: “serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah-lah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” Mereka berkata: “Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada didalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, Sesungguhnya kami hanya duduk menanti disini saja.” Berkata Musa:”Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku, sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu.” Allah SWT berfirman: “(jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu.”” (QS. Al-Maidah: 21-26)
Setelah ketidakjelasan nasib mereka dan pasca wafatnya Nabi Musa, tongkat kepemimpinan berada di tangan Nabi Ilyas, lalu berlanjut kepada Nabi Yasa’, Nabi Daud, dan Nabi Sulaiman. Bani Israil dibawah pimpinan Daud as bisa memasuki tanah Palestina dan Sinai, kemudian menguasai Yerussalem kira-kira pada tahun 2000 SM. Hanya saja mereka belum bisa menguasai wilayah palestina sepenuhnya. Sementara Nabi Sulaiman juga membawa banyak perubahan pada kaum Yahudi. Beliau mendirikan masjid yang hingga kini cukup terkenal di seluruh pelosok dunia, yaitu Masjidil Aqsa. Kaum keturunan Israil itu hidup penuh kedamaian disana (Palestina). Kerajaan purba inilah yang dijadikan alasan historis untuk mengklaim “sah-nya” negara Yahudi di Palestina saat ini.
Ketika Nabi sulaiman wafat, terpecahlah kerajaan mereka menjadi dua, yaitu kerajaan Israil dan Yahudi. Ibukota kerajaan Israil adalah Samaria. Sedangkan ibu kota dari Yahudi adalah Darussalam. Selain dua kerajaan besar tersebut juga terdapat banyak kerajaan-kerajaan kecil yang muncul pasca wafatnya Nabi Sulaiman. Anehnya, mereka menganggap pemimpin yang menguasai wilayah kecil tersebut sebagai “raja”, sehingga mereka terlihat seperti kaum yang superior yang tak tertandingi. Pasca wafatnya Nabi Sulaiman, kaum Yahudi tidak memiliki tanah air dan selalu berdiaspora ke berbagai daerah dan menemui ketidakjelasan nasib. Namun, klaim kaum terpilih tetap mereka pegang, dimana hal itulah yang selalu menjadi alasan kaum Yahudi hingga kini untuk merebut Palestina dengan berbagai cara. Padahal mayoritas ulama berpendapat bahwa janji ini (QS. Al-Maidah: 21) diberikan kepada mereka ketika mereka masih taat kepada Allah, dan bukan untuk selamanya.
Catatan: Terdapat banyak versi mengenai sejarah dan perkembangan kaum Yahudi, adapun ketidakjelasan serta ketidakcocokan bisa disampaikan pada kolom komentar. Terima kasih.
*Kompilasi dua referensi, (William G. Carr, Yahudi Menggenggam Dunia dan Najamuddin Muhammad, Sejarah Konflik & Peperangan Kaum Yahudi)
Komentar
Posting Komentar