Oleh: Hendriyan Rayhan
-Kader PK IMM Ushuluddin UIN SUKA-
Toleransi berasal dari kata “toleran” (Inggris: tolerance; Arab: tasamuh) yang berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Secara etimologi, toleransi adalah kesabaran, ketahanan emosional, dan kelapangan dada. Dapat dipahami bahwa toleransi adalah bersifat atau bersikap tenggang --menghargai, membiarkan, membolehkan-- terhadap pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan atau kebiasaan yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendirian pribadi.
Menghadapai masyarakat modern yang plural, toleransi mutlak dibutuhkan untuk menjaga kenyamanan sosial. Dalam hal beragama misalnya, toleransi tidak hanya dibutuhkan terhadap mereka yang berbeda agama, karena terkadang ada satu agama dengan interpretasi berbeda diantara pemeluknya. Toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan tentang adanya agama-agama lain selain agama yang diyakini dengan segala bentuk sistem, dan tata cara peribadatannya serta memberikan ruang kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing.
Meyakini Islam sebagai agama yang paling benar memang menjadi kewajiban bagi pemeluknya. Namun bukan berarti hal ini menjadikan seorang Muslim bersikap intoleran terhadap keyakinan lain. Bukan pula dengan menganggap semua keyakinan memiliki nilai kebenaran yang sama, karena hal demikian lebih condong pada kebimbangan iman.
Al-Qur’an menegaskan bahwa Islam adalah agama yang datang dari Allah (Lih. Q.S. Ali Imran: 83) dan agama yang diridhai oleh-Nya (Lih. Q.S. Ali Imran:19). Dua ayat ini yang sering dianggap sebagai penyebab adanya ‘truth claim’ dalam beragama. Menjadi Muslim karena meyakini kebenarannya amatlah penting, bahkan sebagai kebenaran mutlak. Secara rasional, ‘truth claim’ justru menjadi hal yang wajar dan bahkan wajib. Perjuangan Rasulullah menyebarkan ajaran Islam tentu didasari keyakinan terhadap kebenarannya dan menafikan kebenaran selainnya. Jika saja tidak demikian, tentu Beliau akan tenang-tenang saja tanpa perlu mengambil resiko berhadapan dengan kaumnya yang menentang. Dengan demikian, peniadaan konsep ‘truth claim’ akan berujung pada kebimbangan-kebimbangan dalam beragama.
Nabi Muhammad dan para sahabatnya telah membuktikan bahwa meyakini Islam sebagai agama yang ‘paling benar’ dapat berjalan berbarengan dengan toleransi terhadap agama lain. Ketika Nabi memimpin pemerintahan di Madinah, orang-orang Yahudi dapat hidup berdampingan dengan damai. Ketika terjadi pengkhianatan terhadap perjanjian yang telah disepakati, barulah mereka diusir. Dalam sejarah perjalanan umat Muslim begitu banyak bukti-bukti semacam ini.
Seiring perjalanan waktu, problematika hubungan sosial terus terjadi baik terhadap eksternal maupun internal Muslim sendiri. Era modern dengan kemudahan akses komunikasi dan informasi mempengaruhi cara bersikap setiap individu, termasuk dalam hal beragama. Kemudahan akses itu menjadikan semakin maraknya adu domba serta provokasi antar kelompok. Di kalangan internal Muslim sendiri muncul tokoh-tokoh yang menolak ‘klaim kebenaran’ karena dianggap sebagai penyebab konflik. Mereka begitu gencar mempropagandakan perdamaian dan toleransi terhadap non-Muslim. Namun yang begitu menyedihkan, pada saat yang bersamaan justru mereka belum siap terhadap ragam interpretasi yang ada dalam internal Muslim sendiri.
Fenomena tersebut yang menimbulkan kerancuan. Di satu sisi konsepnya adalah ‘tidak boleh merasa paling benar’. Namun di sisi lain mereka justru mendiskrediktkan saudara Muslimnya hanya karena perbedaan pandangan. Kepada non-Muslim selalu ditegakkan prinsip husnu dzan serta tabayyun. Namun kepada sesama Muslim seolah tidak berlaku sikap demikian. Konsepnya adalah menghapuskan ‘truth claim’, namun secara tak sadar mereka juga menafikan pandangan lain serta merasa lebih benar. Dalam prakteknya beberapa kelompok Muslim dianggap lebih berbahaya dari pada yang bukan Muslim.
Beberapa kejadian seringkali menimbulkan keanehan. Ketika ada seorang yang bukan Muslim diberitakan berbuat pelanggaran. Maka mereka yang ‘anti truth claim’ senantiasa melontarkan seruan toleransi, klarifikasi, dan hal-hal bijak lainnya. Akan tetapi ketika ada pihak Muslim yang berbeda interpretasi dikabarkan melakukan pelanggaran, mereka bungkam. Nampaknya pemahaman prioritas telah gagal dalam hal ini. Seorang Muslim harusnya memprioritaskan berbaik sangka kepada saudara Muslim lainnya. Sekalipun ekspresi keagamaan saudaranya itu keluar dari maqasid syari’at, maka hendaknya ditempuh dengan jalan yang baik dan benar.
Problematika internal semacam inilah yang justru banyak melahirkan konflik. Maka generasi muda perlu membuka pikiran lebih luas, jujur dalam bersikap dan adil dalam toleransi. Sebagai penutup, penulis mengajak kepada pembaca yang tidak sependapat dengan tulisan ini untuk mengutarakan argumen yang lebih rasional serta faktual.
-Kader PK IMM Ushuluddin UIN SUKA-
Toleransi berasal dari kata “toleran” (Inggris: tolerance; Arab: tasamuh) yang berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Secara etimologi, toleransi adalah kesabaran, ketahanan emosional, dan kelapangan dada. Dapat dipahami bahwa toleransi adalah bersifat atau bersikap tenggang --menghargai, membiarkan, membolehkan-- terhadap pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan atau kebiasaan yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendirian pribadi.
Menghadapai masyarakat modern yang plural, toleransi mutlak dibutuhkan untuk menjaga kenyamanan sosial. Dalam hal beragama misalnya, toleransi tidak hanya dibutuhkan terhadap mereka yang berbeda agama, karena terkadang ada satu agama dengan interpretasi berbeda diantara pemeluknya. Toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan tentang adanya agama-agama lain selain agama yang diyakini dengan segala bentuk sistem, dan tata cara peribadatannya serta memberikan ruang kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing.
Meyakini Islam sebagai agama yang paling benar memang menjadi kewajiban bagi pemeluknya. Namun bukan berarti hal ini menjadikan seorang Muslim bersikap intoleran terhadap keyakinan lain. Bukan pula dengan menganggap semua keyakinan memiliki nilai kebenaran yang sama, karena hal demikian lebih condong pada kebimbangan iman.
Al-Qur’an menegaskan bahwa Islam adalah agama yang datang dari Allah (Lih. Q.S. Ali Imran: 83) dan agama yang diridhai oleh-Nya (Lih. Q.S. Ali Imran:19). Dua ayat ini yang sering dianggap sebagai penyebab adanya ‘truth claim’ dalam beragama. Menjadi Muslim karena meyakini kebenarannya amatlah penting, bahkan sebagai kebenaran mutlak. Secara rasional, ‘truth claim’ justru menjadi hal yang wajar dan bahkan wajib. Perjuangan Rasulullah menyebarkan ajaran Islam tentu didasari keyakinan terhadap kebenarannya dan menafikan kebenaran selainnya. Jika saja tidak demikian, tentu Beliau akan tenang-tenang saja tanpa perlu mengambil resiko berhadapan dengan kaumnya yang menentang. Dengan demikian, peniadaan konsep ‘truth claim’ akan berujung pada kebimbangan-kebimbangan dalam beragama.
Nabi Muhammad dan para sahabatnya telah membuktikan bahwa meyakini Islam sebagai agama yang ‘paling benar’ dapat berjalan berbarengan dengan toleransi terhadap agama lain. Ketika Nabi memimpin pemerintahan di Madinah, orang-orang Yahudi dapat hidup berdampingan dengan damai. Ketika terjadi pengkhianatan terhadap perjanjian yang telah disepakati, barulah mereka diusir. Dalam sejarah perjalanan umat Muslim begitu banyak bukti-bukti semacam ini.
Seiring perjalanan waktu, problematika hubungan sosial terus terjadi baik terhadap eksternal maupun internal Muslim sendiri. Era modern dengan kemudahan akses komunikasi dan informasi mempengaruhi cara bersikap setiap individu, termasuk dalam hal beragama. Kemudahan akses itu menjadikan semakin maraknya adu domba serta provokasi antar kelompok. Di kalangan internal Muslim sendiri muncul tokoh-tokoh yang menolak ‘klaim kebenaran’ karena dianggap sebagai penyebab konflik. Mereka begitu gencar mempropagandakan perdamaian dan toleransi terhadap non-Muslim. Namun yang begitu menyedihkan, pada saat yang bersamaan justru mereka belum siap terhadap ragam interpretasi yang ada dalam internal Muslim sendiri.
Fenomena tersebut yang menimbulkan kerancuan. Di satu sisi konsepnya adalah ‘tidak boleh merasa paling benar’. Namun di sisi lain mereka justru mendiskrediktkan saudara Muslimnya hanya karena perbedaan pandangan. Kepada non-Muslim selalu ditegakkan prinsip husnu dzan serta tabayyun. Namun kepada sesama Muslim seolah tidak berlaku sikap demikian. Konsepnya adalah menghapuskan ‘truth claim’, namun secara tak sadar mereka juga menafikan pandangan lain serta merasa lebih benar. Dalam prakteknya beberapa kelompok Muslim dianggap lebih berbahaya dari pada yang bukan Muslim.
Beberapa kejadian seringkali menimbulkan keanehan. Ketika ada seorang yang bukan Muslim diberitakan berbuat pelanggaran. Maka mereka yang ‘anti truth claim’ senantiasa melontarkan seruan toleransi, klarifikasi, dan hal-hal bijak lainnya. Akan tetapi ketika ada pihak Muslim yang berbeda interpretasi dikabarkan melakukan pelanggaran, mereka bungkam. Nampaknya pemahaman prioritas telah gagal dalam hal ini. Seorang Muslim harusnya memprioritaskan berbaik sangka kepada saudara Muslim lainnya. Sekalipun ekspresi keagamaan saudaranya itu keluar dari maqasid syari’at, maka hendaknya ditempuh dengan jalan yang baik dan benar.
Problematika internal semacam inilah yang justru banyak melahirkan konflik. Maka generasi muda perlu membuka pikiran lebih luas, jujur dalam bersikap dan adil dalam toleransi. Sebagai penutup, penulis mengajak kepada pembaca yang tidak sependapat dengan tulisan ini untuk mengutarakan argumen yang lebih rasional serta faktual.
Komentar
Posting Komentar