Langsung ke konten utama

Urgensi Teologi Al-Ma'un


Oleh: Immawan Abdullah Khoiru Rofiq
Perlu diketahui, teologi al-Ma’un ialah sebuah identitas dalam ber-Muhammadiyah, yakni dengan mentadabburi spirit surat al-Ma’un. Adapun spritit al-Ma’un didapatkan para murid Ahmad Dahlan dari pengajiannya yang membahas tentang tafsir Surah al-Ma’un Dalam penafsirannya, Dahlan tidak hanya menekankan pada pemahaman kajian tafsir tersebut, melainkan juga penekanan untuk diimplementasikan dalam bentuk tindakan. Karenanya, selama tiga bulan pengajaran Dahlan tidak terlepas dari metode tikrar (pengulangan) terhadap materi tafsir surat al-Ma’un. Dahlan ingin mewujudkan penerapan amal yang ilmiah, dan ilmu yang amaliyah. Menurut kacamata Dahlan, akan terjadi kepincangan terhadap amalan ataupun ibadah yang tidak dibarengi dengan sosial action.[1]
Ketika menyampaikan pengajian, Dahlan memberikan pertanyaan yang bermaksud sebagai penekanan pada jama’ahnya: Apakah kita ini mengaku orang yang beragama? Sudahkah kita ingat kepada Allah dan mengerjakan Shalat?. Kemudian ia pun menjelaskan kandungan dari surat al-Ma’un ayat 1-7:
“Ayat tersebut menjelaskan orang yang belum diakui beriman dan menjalankan agama, bahkan  dianggap mendustakan agama jika masih mencintai kebiasaan cinta kepada harta benda dan tidak memiliki simpati kepada nasib anak yatim serta tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Adapun shalat yang kita lakukan dalam sehari-hari hanyalah sekedar menggerakan bibir, membaca dan menggerakkan anggota badan, sedangkan hati memilih kehidupan dunia dan mencintaiharta benda maka shalat orang yang seperti tidaklah diterima, sedangkan jika kita melaksanakan sholat dengan riya’ maka kita akan mendapatkan siksaan neraka wail, sholat yang tidak karena Allah tidak akan menimbulkan kesucian hati”.[2]
Dikarenakan KH. Ahmad Dahlan menyampaikan pengajiannya secara berulang-ulang dengan materi yang sama, maka seorang muridnya ada yang merasa bosan dan menanyakan mengapa yang disampaikan hanyalah surat al-Ma’un saja?, Maka Dahlan pun bertanya kembali apakah muridnya sudah memahami ayat tersebut dengan betul?, maka muridnya pun menjawab bahwa mereka sudah memahami maksud dan juga sudah hafal diluar kepala, maka Dahlan pun menanyakan kembali apakah sudah mengamalkan?. Muridnya pun menjawab apanya yang diamalkan? Bukannya surat al-Ma’un sudah berulangkali dibaca ketika shalat?, Maka Dahlan pun menjelaskan maksud dari mengamalkan adalah mempratekkan dan mengerjakan. maka Dahlan pun menyatakan bahwa murid-muridnya belum mengamalkannya, kemudian ia pun mengajak para muridnya untuk mencari orang miskin, kalau sudah menemukan maka ajak kerumah dan mandikan dengan sabun, beri mereka pakaian yang bersih, berilah makan dan minum, kemudian berilah tempat tidur di rumah.[3]
Teologi al-Ma’un ini adalah hasil dari respon atas banyaknya kemiskinan yang ditemukan di daerah Kauman. Dalam penyampaian pengajiannya Ahmad Dahlan menekankan kepada para muridnya untuk mengabdikan jiwa dan harta kepada Allah yaitu dengan menyalurkan dan membantu kepada orang-orang yang membutuhkan. Maka dengan itu Kiai Soedja’ mewujudkan apa yang disampaikan oleh Dahlan dalan pengajiannya dengan membentuk amal usaha Muhammadiyah guna membantu para mustad’afin.[4] Teologi al-Ma’un dalam Muhammadiyah membawa kepada umat Islam secara umum dan anggota Muhammadiyah secara khusus memberikan semangat dan gigih dalam gerakan untuk membebaskan umat yang menderita karena kemiskinan dan ketidak mampuan (mustad’afin) dari ketertindasan. Menurut Deliar Noer dan Achmad Jaenuri dengan semangat tersebut Muhammadiyah dapat mewujudkan bentuk konkret dari pembebasan ketertindasan dengan berbagai bentuk amal usaha seperti panti asuhan, rumah sakit dan lembaga pendidikan.[5]
Menurut Haedar Nashir teologi al-Ma’un merupakan teologi pembebasan karena dalam spiritnya teologi al-Ma’un mengajak setiap orang yang mengaku beragama apalagi bagi mereka yang memiliki kelebihan dalam rizeki, kekuasaan dan anugrah Tuhan yang lainnya maka harus peduli dan terlibat secara langsung dalam membebaskan kaum mustad’afin dari kemiskinan, nasib yang malang dan terselisih dalam kehidupannya. Adapun bagi mereka yang tidak memiliki kepedulian terhadap orang-orang yang lemah (mustad’afin), maka ia termasuk golongan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, kehilangan obligasi moral keagamaan hingga bisa disebut sebagai orang yang mendustakan Agama Islam.[6]
Dari penelitian yang dilakukan oleh Geertz terhadap agama Islam yang ada di Jawa dengan klasifikasi yang diakibatkan oleh penafsiran terhadap agama karena adanya kebiasaan yang dalam kehidupan masyarakat. Maka dalam penulisan ini Penulis mencoba mengamati bagaimana perkembangan teologi al-Ma’un dalam Muhammadiyah hingga sekarang, dalam penafsiran pertamanya oleh Ahmad Dahlan, surat al-Ma’un digunkan untuk membebaskan kaum tertindas dengan memberikan fasilitas gratis dalam bidang kesehatan, sekolah dan Panti asuhan. Yang terjadi saat ini jika kita belajar atau periksa di sekolah dan rumah sakit Muhammadiyah akan dikenakan tarif atau berbayar. Maka dapat dikatakan terdapat penafsiran yang berbeda dalam teologi al-Ma’un jika dibandingkan dari masa KH. Ahmad Dahlan dengan masa sekarang ini.
Penafsiran yang terjadi dalam surat al-Ma’un pada masa Dahlan adalah untuk membantu para mustad’afin dalam kehidupan mereka. Adapun pada masa saat itu banyak terdapat orang-orang miskin di sekitar Kauman yang tidak mampu untuk belajar, berobat dan bahkan hanya sekedar makan, karena pada masa itu masih terjadi penjajahan oleh Belanda. Maka dengan adanya teologi al-Ma’un mendorong untuk memberikan bantuan kepada mereka untuk bidang keilmusn, kesehatan dan kemiskinan (kehidupan sehari-hari) dengan mendirikan sekolah, rumah sakit dan panti asuhan.
Adapun pada masa sekarang jika kita melihat bahwa maksud dari ayat tersebut adalah menolong mustad’afin, coba kita melihat kepada realitas di lapangan khususnya di kota Yogyakarta, kita akan menemukan banyak orang-orang yang sudah hidup dalam berkecukupan sekolah dan berobat di rumah sakit dan sekolah Muhammadiyah. Maka orang-orang tersebut bukanlah termasuk dalam orang-orang yang miskin (Mustad’afin), sehingga jika mereka dikenakan tarif dalam memanfaatkan fasilitas yang ada tidaklah salah, karena mereka mendapatkan fasilitas dan pelayanan yang diberikan.
al-Ma’un yang masih ada dalam kedua amal usaha tersebut adalah dengan memberikan beberapa konpensasi terhadap orang yang dianggap kurang mampu dengan memberikan sedikit keringanan jumlah yang harus dibayarkan bagi yang sekolah, sedangkan bagi yang berobat bisa diberikan keringanan dengan syarat meminta surat tidak mampu dari Pimpinan Cabang, yang memberikan sedikit keringanan kepada masyarakat yang kurang mampu. Kemudian uang yang terkumpul dari pembayaran sekolah dan rumah sakit digunakan untuk pembayaran guru yang mengajar dan karyawan yang kerja di rumah sakit, serta yang paling penting dalam perawatan dan pembelian alat-alat kesehatan tidaklah dibayar dengan harga yang murah, maka dari pembayaran itulah pembayaran guru dan karyawan, serta perwatan alat-alat kesehatan.
Menurut M. Nurul Yamin pegamalan spirit al-Ma’un untuk saat ini, ia menafsirkan ayat ketiga wa la yahdhu ‘ala to’am al-miskin,bukanlah hanya membahas tentang penyantunan terhadap orang miskin saja, tetapi dalam menghadapi prediksi tahun 2025 Indonesia mengalami krisis pangan, maka Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) memberikan bimbingan kepada para petani miskin yang lemah menjadi petani yang kuat. Ada dua strategi yang diberikan yaitu penguatan kapasitas dalam bertani dengan memberikan bimbingan agar menjadi petani yang sukses dan memberikan akses pasar yang baik. Tidak hanya itu semangat pembebasan mustad’afin juga dilakukan oleh MPM seperti melakukan pemberdayaan dengan membangun budaya inklusi difabel, pendampingan komunitas pemulung, pemberdayaan terhadap nelayan, pemberdayaan buruh dan pemberdayaan terhadap masyarakat terpencil seperti suku Kokoda di Papua, Suku Dayak Baturajang Berau, Desa Tliu Amunban timur NTT.[7] Adapun untuk panti asuhan hingga saat ini masih menjadi tanggung jawab penuh bagi Muhammadiyah, untuk merawat dan membiayai sekolah bagi anak-anak yatim-piatu.





[1] Andri Gunawan, “Teologi Surat al-Maun dan Praksis Sosial dalam Kehidupan Warga Muhammadiyah”, dalam Salam, Vol. 5, NO. 2 (2018), hlm.162-163.
[2] Ari Susanto, Membumikan Gerakan Sosial Islam Progresif, (Yogyakarta: Semesta Ilmu, 2017), hlm.  89.
[3] Tafsir Surat al-Ma’un, dalam Suara Muhammadiyah, (31 Januari 2016).
[4] Ari Susanto, Membumikan Gerakan Sosial Islam Progresif, hlm.  90
[5] Sokhi Huda, “Teologi Mustad’afin di Indonesia: Kajian atas Teologi Muhammadiyah”, dalam jurnal Tsaqafah, Vol. 7 ], No. 2, (Oktober 2011), hlm. 347.
[6] Haedar Nashir, “Al-MA’un Sebagai Din al-Amal”, dalam Suara Muhammadiyah, (19 September 2018)
[7] Muhammad M Nurul Yamin, Rekonstekstualisasi Spirit al-Ma’un Kekinian, dalam Suara Muhammadiyah, (12 Mei 2019).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjaga Keturunan Sebagai Upaya Perlindungan (Hifdzu Nasl)

Oleh: Immawan Muhammad Asro Al Aziz Keturunan ( nasl ) merupakan serangkaian karakteristik seseorang yang diwariskan orang tua kepada anak, atau segala potensi, baik fisik maupun psikis yang dimiliki seseorang dari orang tua melalui gen-gen. Keturunan juga merupakan faktor utama yang mempengaruhi perkembangan individu. Perhatian Islam terhadap keturunan dapat dilihat dari sejarahnya yang membuktikan bahwa merupakan hal yang sangat penting dalam, sehingga terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang secara spesifik berbicara tentang penjagaan keturunan. Misalnya pada QS. al-Ahzab: 4-5 yang memberi tuntunan tentang proses pemberian nasab terhadap anak kandung dan anak angkat. Karena, perhatian terhadap keturunan juga berimplikasi terhadap hak pemberian nafkah, pewarisan harta, pengharaman nikah, dan lain-lain. Islam memberikan perhatian yang besar terhadap keturunan untuk mengukuhkan aturan dalam keluarga yang bertujuan untuk mengayominya melalui perbaikan serta menjamin kehidupannya

Implementasi Strategi Inovasi Produk Perspektif Al-Qur'an

A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk individual juga sebagai makhluk ekonomi. Banyak kebutuhan yang di perlukan oleh setiap manusia menjadikan ekonomi sebagai suatu ilmu untuk memenuhi keberlangsungan hidup seseorang. Hal bisa itu terjadi karena perubahan lingkungan yang fundamental merupakan daya dorong (driving forces) perubahan perekonomian dan bisnis. Perubahan dalam semua aspek kehidupan harus direspons sesuai dengan tingkat kebutuhan dan kemanfaatan bisnis. Di sisi lain, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan perusahaan beroperasi di tingkat lokal, regional dan global, tanpa harus membangun system bisnis di tempat perusahaan tersebut beroperasi. Proses informasi dan komunikasi memperluas kemungkinan operasi jaringan perusahaan.  Disebutkan bahwa Koperasi di Jawa Tengah mengalami perkembangan jumlah koperasi aktif 22.674 (81,37%), tetapi tidak disertai dengan berkurangnya jumlah koperasi tidak aktif di Jawa Tengah dengan jumlah 5.19

Strategi Dakwah Ala Rasulullah

Oleh: Immawati Afifatur Rasyidah Islam merupakan agama perdamaian yang dianugrahkan oleh Allah swt dan perlu dijaga eksistensinya. Sebagai kader umat dan pewaris tampuk pimpinan umat kelak, sejatinya dewasa ini para generasi muda dilatih agar dapat menghadapi tantangan dan menjaga agama Islam ini. Berbagai kontroversi terjadi, agama dimonsterisasi, ulama didiskriminalisasi, umat dicurigai, dakwah dianggap provokasi, bahkan kebaikan pun dianggap radikalisasi. Salah satu   maqashidu syariah dalam agama Islam ialah hifdzu al-din (menjaga agama). Penjagaan terhadap agama dapat diimplementasikan dengan berbagai hal, salah satunya adalah dengan dakwah. Penyebaran dakwah tentu tak terlepas dengan metode atau manhaj atau thariqah. At-Thariqat Ahammu Min Al-Maddah, metode itu jauh lebih penting daripada materi. Ia merupakan sebuah seni (estetika) dalam proses penyampaian dakwah. Secara leksikal, metode ialah the way of doing. Sebaik-baik kualitas materi yang disampaikan dalam pembelajaran