Langsung ke konten utama

Strategi Dakwah Ala Rasulullah

Oleh: Immawati Afifatur Rasyidah
Islam merupakan agama perdamaian yang dianugrahkan oleh Allah swt dan perlu dijaga eksistensinya. Sebagai kader umat dan pewaris tampuk pimpinan umat kelak, sejatinya dewasa ini para generasi muda dilatih agar dapat menghadapi tantangan dan menjaga agama Islam ini. Berbagai kontroversi terjadi, agama dimonsterisasi, ulama didiskriminalisasi, umat dicurigai, dakwah dianggap provokasi, bahkan kebaikan pun dianggap radikalisasi. Salah satu  maqashidu syariah dalam agama Islam ialah hifdzu al-din (menjaga agama). Penjagaan terhadap agama dapat diimplementasikan dengan berbagai hal, salah satunya adalah dengan dakwah. Penyebaran dakwah tentu tak terlepas dengan metode atau manhaj atau thariqah. At-Thariqat Ahammu Min Al-Maddah, metode itu jauh lebih penting daripada materi. Ia merupakan sebuah seni (estetika) dalam proses penyampaian dakwah. Secara leksikal, metode ialah the way of doing. Sebaik-baik kualitas materi yang disampaikan dalam pembelajaran, namun tidak memiliki metode yang berkualitas, maka tak akan tercapai maksud dan tujuan dari pembelajaran tersebut. Tak terkecuali dalam penyebaran dakwah Islam. Tersebarnya dakwah Islam tak terlepas dari sepak terjang dan campur tangan Rasulullah saw, sebagai khatimul anbiya’, yaitu penutup para nabi dan rasul. Rasulullah hadir dan memberikan beragam implikasi, mengokohkan umat islam di tengah jiwa yang runtuh, politik yang mengguncang, dan penawar atas kehausan kasih sayang.
Dakwah merupakan tugas mulia setiap individu dalam rangka menegakkan amar ma’ruf nahi munkar menuju masyarakat Islami yang diridhoi Allah swt. Sejak masa penyebaran Islam, dakwah yang dilakukan secara rutin, terorganisir, dan sistematis telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Dakwah ialah komitmen bagi seluruh muslim terhadap agama Islam. Dalam rangka menegakkan amar ma’ruf nahi munkar tersebut, setiap individu tentu sangatlah dianjurkan untuk memperdalam dan memperluas wawasan ajaran Islam. Makna dakwah tak hanya sebatas penyampaian pesan-pesan agama secara normatif dan teoritis keagamaan saja (transmitif), karena agama Islam juga bersifat faktual dan praktis. Maka dari itu dakwah pun perlu bersifat progresif, yakni adanya usaha-usaha perbaikan sosial dalam segala aspek kehidupan demi membangun peradaban masyarakat Islam yang lebih baik.[1]
Salah satu landasan yang dijadikan metode dakwah dalam agama Islam ialah terdapat dalam Surat An-Nahl ayat 125, yang artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik (mau’idzah hasanah) dan bantahlah mereka dengan cara yang baik (debat atau diskusi). Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. Menurut Imam al-Syaukani, ayat tersebut menjelaskan bahwa dasar-dasar metode dakwah adalah dengan hikmah (ucapan yang benar), ma’uidlah hasanah (nasihat yang baik yang dapat bermanfaat bagi orang yang mendengarkannya), dan jidal (diskusi dengan cara yang baik). Disamping ketiga metode dasar tersebut, terdapat beberapa strategi dakwah Rasulullah, diantaranya adalah dengan melakukan pendekatan dalam beberapa aspek, yaitu pendekatan personal, pendekatan pendidikan, pendekatan penawaran, pendekatan misi, pendekatan korespondensi, dan pendekatan mujadalah.
a.    Pendekatan Personal (Manjahu al-Sirri)
Pendekatan personal ialah dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah secara sembunyi-sembunyi, yakni dari mulut ke mulut. Cara ini dilakukan bukan karena Rasulullah takut kepada bangsa Quraisy, namun bertujuan sebagai suatu pelajaran bagi umatnya, khususnya para da'i yang akan mewarisi tugas beliau. Hal ini dikarenakan terjadi secara tatap muka (wajhan bi wajhin) antara pendakwah (da’i) dan orang yang diberi dakwah (mad’u), sehingga akan lebih memberikan pengaruh tersendiri dibandingkan dengan dakwah secara umum. Dengan pendekatan personal, Rasulullah telah menggabungkan antara sebuah upaya dan kepasrahan kepada Allah, yaitu ikhtiar dan tawakkal. [2]
b.    Pendekatan Pendidikan (Manhaju al-Ta’lim)
Ada beberapa tempat baik di Makkah maupun di Madinah yang pernah dijadikan sebagai tempat dakwah Rasulullah, yaitu Dar al-Aqram (rumah Arqam), Rumah Rasulullah saw, al-Shuffah, Dar al-Qurra’, Kuttab, Masjid, dan Rumah Para Sahabat. Metode pendekatan pendidikan tersebut sekurang-kurangnya ada sepuluh, yaitu graduasi (al-Tadarruj), yakni metode penahapan dalam membina masyarakat, baik dalam melenyapkan kepercayaan dalam tradisi jahiliyah maupun yang lain. Kedua, metode levelasi (mura’at al-mustawayat), yakni penyampaian sesuai dengan kemampuan kecerdasan yang dimiliki. Ketiga, variasi (al-tanwi’ wa al-taghyir). Variasi yang dituturkan oleh Abdullah bin Mas’ud dalam dakwah Rasululullah adalah hanya dalam hal waktu saja. Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang memiliki variasi, maka pendidikan yang diajarkan oleh Rasulullah juga variatif. Keempat, keteladan (al-Uswah al-Qudwah), yakni metode pemberian contoh lebih dahulu bagaimana melakukan perbuatan itu. Kelima, aplikatif (al-Tatbiqi wa al-A’mali). Abdullah bin Mas’ud menuturkan bahwa “Apabila para Sahabat mempelajari sepuluh ayat al-Qur’an, mereka tidak akan pindah ke ayat lain sebelum mengetahui maksud ayat tersebut serta mengamalkannya.
Berikutnya, mengulang-ulang (al-Takrir wa al-Muraja’ah), Rasulullah saw dalam memberikan ajaran-ajaran kepada para sahabat juga sering mengulang-ulang, khususnya dalam hal yang dianggap penting. Ketujuh, evaluasi (al-Taqyim). Kepada para sahabat, Rasulullah tak hanya memberikan pelajaran semata, melainkan juga memonitor dan mengevaluasi mereka. Kedelapan, dialog (al-Hiwar), yakni metode tanya jawab. Kesembilan, analogi (al-Qiyas), dan Kesepuluh adalah cerita (al-Qishah).[3]
c.    Pendekatan Penawaran (Manhaju al-‘Ardh)
Rasulullah sangat mengenal tabiat lingkungan kekabilahan (sukuisme) yang senantiasa diwarnai persaingan antar suku dan pemimpin-pemimpinnya, sehingga menyulitkan seseorang (khususnya bangsawan). Dalam kacamata jahiliyah, kepemimpinan sosial adalah hak para pembesar dan orang-orang kaya, bukan milik kaum lemah atau anak-anak yang usianya masih sangat muda (belia). Meski demikian, Rasulullah sangat memahami keadaan tersebut. Oleh karena itu, dalam praktiknya Rasulullah memulai dakwahnya dengan menawarkan kepada orang-orang tertentu dari kalangan keluarga dekatnya yang dimungkinkan merespon dakwahnya tanpa keraguan.[4]
d.   Pendekatan Misi (Manhaju Bi’tsah)
Pendekatan misi adalah pengiriman tenaga da’i ke daerah-daerah di luar tempat tinggal Rasulullah untuk mengajarkan agama Islam. Pendekatan ini memiliki keterkaitan dengan pendekatan pendidikan (dalam hal metode). Namun, hal yang menjadi sorotan dalam pendekatan ini adalah pengiriman da’i itu sendiri, bukan metode pengajaran mereka. Contohnya adalah misi dakwah di Yastrib yang dilakukan oleh Mush’ab bin Umair.[5]
e.    Pendekatan Korespondensi (Manhaj al-Mukatabah)
Dalam korespomdensi ini, Rasulullah menunjuk beberapa orang sahabat yang berpengetahuan lagi berpengalaman untuk membawa surat kepada para raja. Diantara surat yang Rasulullah tulis adalah Surat kepada An-Najasyi (Raja Habasyah), Surat kepada Muqauqis (Raja Mesir), Surat kepada Kisra (Raja Persi), dan lain sebagainya.[6]
f.     Pendekatan  Diskusi (Manhaj Mujadalah)
Sejak tahun 5 Hijriyah, setelah beliau tinggal di Madinah, banyak tamu secara berombongan untuk menghadap Rasulullah. Mereka pada umumnya berasal dari kabilah-kabilah yang berasal dari Jazirah Arab. Tamu-tamu tersebut ada yang muslim dan ada yang bukan muslim. Mereka ingin memperdalam agama langsung dari Rasulullah. Beberapa diskusi yang dilakukan oleh Rasulullah adalah Diskusi Rasulullah dengan kaum musyrikin Makkah, dan Diskusi Rasulullah dengan orang-orang Yahudi, dan Diskusi Rasulullah dengan orang-orang Nashrani.[7]
Disamping berdakwah, dalam personal akhlak (moral), Rasulullah pun dapat menjadi teladan karena beliau memiliki keistimewaan tersendiri, yaitu ‘iffah (menjaga muruah), saja’ah (berani), ‘adl (adil), dan hikmah (bijaksana).[8] Akhlak merupakan periode pertama dalam pembentukan karakter da’i dan pejuang pergerakan Islam. Tujuan dakwah tidak akan tercapai kecuali dengan memisahkan diri dan melangkahi hawa nafsu. Rasulullah sangatlah sempurna akhlaknya, bahkan dalam sebuah hadis yang diriwatkan ‘Aisyah dikatakan “Akhlaq beliau (Rasulullah) adalah Al-Qur’an)”. Dengan kesempurnaan akhlak yang dimilikinya, Rasulullah dapat mencapai tahap keberhasilan dalam penyampaian dakwahnya.[9] Berbagai perubahan terjadi setelah keberhasilan Rasulullah, yakni tidak ada lagi perhambaan, perbudakan, pengrusakan, dan penyimpangan. Dakwah Rasulullah sangatlah istimewa, karena berasal dari Allah, komprehensif, serta universal. Metode dakwah ala Rasulullah tersebut diharapkan dapat dijadikan referensi dakwah bagi para kader umat serta penerus generasi masa depan.



[1] Hamidah. Perspektif Al-Qur’an Tentang Dakwah Pendekatan Tematik dan Analisis Semantik. Dalam Jurnal Intizar Vol.19 No.1, 2013.hlm.4-5
[2] Ali Mustofa Ya’qub. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm.126-129.
[3] Ali Mustofa Ya’qub. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi., hlm.131-148.
[4] Muhammad Amahzun. Manhaju al-Nabi Fii Da’wah Min Khilali al-Sirah al-Shahihah Tahqiq Abdurrahman al-Najdi. (Mesir: Dar al-Salam, 2010).,hlm. 110-111.
[5] Ali Mustofa Ya’qub. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi., hlm.172-173.
[6] Shafiyyurrahman al- Mubarakfuri. Ar-Rahiq Al-Makhtum Sirah Nabawiyah Sejarah Hidup Rasulullah Dari Lahir Hingga Wafat. (Sukoharjo: Insan Kamil, 2016)., hlm.716.
[7] Ali Mustofa Ya’qub. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi., hlm 207.
[8] Amahzun, Muhammad. Manhaj Dakwah Rasulullah. (Jakarta: Qisthi Press, 2004), hlm 92-94.
[9] Ibnu Ibrahim. Strategi Dakwah Rasulullah. (Jakarta: Nuansa Press, 2004)., hlm.84-85.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjaga Keturunan Sebagai Upaya Perlindungan (Hifdzu Nasl)

Oleh: Immawan Muhammad Asro Al Aziz Keturunan ( nasl ) merupakan serangkaian karakteristik seseorang yang diwariskan orang tua kepada anak, atau segala potensi, baik fisik maupun psikis yang dimiliki seseorang dari orang tua melalui gen-gen. Keturunan juga merupakan faktor utama yang mempengaruhi perkembangan individu. Perhatian Islam terhadap keturunan dapat dilihat dari sejarahnya yang membuktikan bahwa merupakan hal yang sangat penting dalam, sehingga terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang secara spesifik berbicara tentang penjagaan keturunan. Misalnya pada QS. al-Ahzab: 4-5 yang memberi tuntunan tentang proses pemberian nasab terhadap anak kandung dan anak angkat. Karena, perhatian terhadap keturunan juga berimplikasi terhadap hak pemberian nafkah, pewarisan harta, pengharaman nikah, dan lain-lain. Islam memberikan perhatian yang besar terhadap keturunan untuk mengukuhkan aturan dalam keluarga yang bertujuan untuk mengayominya melalui perbaikan serta menjamin kehidupannya

Implementasi Strategi Inovasi Produk Perspektif Al-Qur'an

A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk individual juga sebagai makhluk ekonomi. Banyak kebutuhan yang di perlukan oleh setiap manusia menjadikan ekonomi sebagai suatu ilmu untuk memenuhi keberlangsungan hidup seseorang. Hal bisa itu terjadi karena perubahan lingkungan yang fundamental merupakan daya dorong (driving forces) perubahan perekonomian dan bisnis. Perubahan dalam semua aspek kehidupan harus direspons sesuai dengan tingkat kebutuhan dan kemanfaatan bisnis. Di sisi lain, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan perusahaan beroperasi di tingkat lokal, regional dan global, tanpa harus membangun system bisnis di tempat perusahaan tersebut beroperasi. Proses informasi dan komunikasi memperluas kemungkinan operasi jaringan perusahaan.  Disebutkan bahwa Koperasi di Jawa Tengah mengalami perkembangan jumlah koperasi aktif 22.674 (81,37%), tetapi tidak disertai dengan berkurangnya jumlah koperasi tidak aktif di Jawa Tengah dengan jumlah 5.19