Langsung ke konten utama

Muhammad Abduh dan Muhammadiyah


Muhammad Abduh lahir di Mahallat Nasr pada tahun 1266 H/1849 M. Ayahnya yang bernama Abduh Khairullah berasal dari Desa Mahallatu Nashr, sedangkan ibunya berasal dari Desa Hashat Syabsir di al-Gharibiah. Abduh lahir pada masa perkembangan kebudayaan dan politik di Mesir, yakni pada masa gerakan pembaruan yang dipelopori oleh Muhammad Ali. Gerakan tersebut dilatarbelakangi oleh datangnya Napoleon Bonaparte dari Prancis dalam usahanya menyaingi kegiatan ekspansi Inggris ke dunia Timur. Disamping memiliki tujuan untuk kepentingan militer, tetapi juga untuk kepentingan ilmiah dan kebudayaan. Ekspedisi yang dilakukan Napoleon tersebut dilengkapi dengan dua set peralatan percetakan, dengan huruf Latin, Arab, dan Yunani. Kebudayaan yang dibawakan Napoleon itu menimbulkan kesadaran mereka bahwa umat Islam sudah jauh ketinggalan dari Eropa. Salah seorang ulama Al-Azhar, Abdul ar-Rahman al-Jabarti telah melakukan kunjungan ke Laboraturium di Perancis dan mengatakan bahwa di Laboraturium tersebut ia melihat benda-benda dan percobaan ganjil yang sulit dimengerti oleh akalnya. Hal tersebutlah yang menimbulkan kesadaran akan kemunduran dan keterbelakangan umat Islam, serta membangun hasrat umat Islam untuk bangkit kembali seperti masa silam.
Abduh dibesarkan dalam lingkungan keluarga dengan mata pencaharian petani. Ia mengawali pendidikannya di rumah bersama ayahnya. Ia membaca, menulis, dan menghafal al-Qur’an di rumah, sehingga hanya dengan waktu dua tahun Abduh telah menjadi hafidz al-Qur’an. Disamping mempelajari al-Qur’an, Abduh juga belajar fiqih dan bahasa Arab. Pada tahun 1282 H/1866 M, Abduh menikah dan berumah tangga. Tetapi, empat puluh hari setelah pernikannya ia dipaksa ayahnya, Abduh Khairullah untuk kembali melanjutkan pelajarannya di Tantha. Dikarenakan perjalanan panjang dan panas matahari yang menyengat, Abduh berkunjung ke Desa Kanisah Urin, dan bertemu dengan pamannya Syaikh Darwisy Khadr yang kuat akan wawasan keilmuwan yang dimilikinya dan didapat dari perjalanan tholabul ‘lminya ke luar Mesir.
Kepuasan Muhammad Abduh ialah ketika berguru dengan Jamaluddin Al-Afhghani yang datang ke Mesir pada akhir tahun 1870 M, yakni Abduh mempelajari matematika, etika, politik, dan filsafat. Dalam perjalanan thalabul ‘ilminya, tak jarang Abduh mendapat tantangan keras dari para ulama, salah satunya yaitu ketika ia dipanggil untuk menghadap Syaikh ‘Alaisy karena ketertarikannya terhadap teologi Mu’tazilah. Ketika ia ditanya, apakah benar ia telah condong memilih aliran Mu’tazilah dan meninggalkan aliran Asy’ariyah, ia dengan tegas menjawab, “Jika saya tidak bertaklid pada Asy’ari, mengapa saya mesti bertaklid kepada Mu’tazilah. Saya tidak mau bertaklid kepada siapapun. Yang saya utamakan adalah argumentasi yang kuat”. Meski statusnya yang ketika itu masih mahasiswa, sikap kritisnya sudah mulai terlihat. Muhammad Husein Adz-Dzahabi mengemukakan bahwa sekian banyak ciri penafsiran Muhammad Abduh yang bercorak adabi ijtima’i.  Kemudian dilengkapi oleh Abdullah Mahmud Syahatah bahwa penafsiran Abduh menurutnya mencapai prinsip-prinsip pokok. Meski demikian, apa yang dikemukakan oleh kedua tokoh mufassir tersebut, tidak semuanya merupakan prinsip atau ciri khas penafsiran Muhammad Abduh, adapula yang dianggap mereka prinsip tetapi diabaikan oleh Muhammad Abduh apabila dinilai penerapannya pada penafsiran suatu ayat tidak mendukung ide-ide yang dicapainya.
Rasionalitas penafsiran Muhammad Abduh dalam bidang ibadah, salah satunya ialah tentang sholat. Menurut Abduh, ibadah mempunyai bentuk bermacam-macam dalam setiap agama. Baginya, sholat tidak berguna bagi pelakunya, jika ia tidak membuahkan moral yang baik. Dalam Surat Al-Ankabut ayat 45 menyatakan bahwa sholat itu mencegah dari perbuatan jahat dan tidak baik. Abduh menafsirkan bahwa dalam dialog dengan Tuhan (sholat), seseorang meminta supaya ruh dan jiwanya disucikan, sehingga ia cenderung pada perbuatan-perbuatan baik, dan hasil bentukan sholatlah (kekhusyukan) yang mencegah seseorang dari perbuatan jahat. Ada sebuah pepatah yang mengatakan, “as-sholatu syai’un, wal khusyu’ syai’un akhor”.
Berbeda dengan penafsiran mufassir klasik yang bermuara pada analisis bahasa. Tak berhenti pada tafsir, pengungkapan makna Al-Qur’an juga diperlukan adanya ta’wil, yakni memikirkan, memperkirakan, dan menafsirkan. Menurut Abduh, penafsiran Al-Qur’an dengan diikuti pemikiran yang rasional akan dapat lebih mudah dipahami akal dan logika. Di dalam Al-Qur’an terdapat nilai-nilai yang tentu memberikan hikmah, petunjuk, nasihat yang bijak, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, penafsiran Al-Qur’an sejatinya tak terlepas dari aspek akal. Perkembangan peradaban manusia sangat tergantung pada perkembangan pengetahuan dan pemikiran suatu masyarakat. Abduh sering mengkritisi produk tafsir yang sudah ada. Ia memiliki pertimbangan lain dengan telaah budaya, konteks, serta pertimbangan lainnya. Produk penafsiran tentu tak jauh dari orientasi keilmuwan para mufassir terhadap penafsirannya pada suatu ayat Al-Qur’an. Misalnya, para ahli bahasa tentu akan memfokuskan perhatiannya pada sistematika dan gramatika Al-Qur’an, para ahli fiqih tentu fokus pada kajian hukum, dan para ahli hadis akan terfokus pada atsar dan historisitas penafsiran tersebut. Kepentingan individu mufassir menjadikan hasil produk tafsir tersebut terlepas dari nilai-nilai yang komprehensif
Pemikiran rasional Muhammad Abduh sangat berpengaruh terhadap mufassir lainnya dan masyarakat. Salah seorang mufassir era kontemporer ini yang banyak mengutip pemikiran Muhammad Abduh ialah Quraish Shihab. Dalam karyanya, Quraish Shihab tak sedikit mengutip dan terinspirasi dari pemikiran Muhammad Abduh (Lihat Tafsir Al-Misbah). Selain Quraish Shihab, adapula organisasi pergerakan Islam yang terinsiprasi dari pemikiran Muhammad Abduh, yaitu Muhammadiyah. Pada abad ke-16, umat Islam berhasil membangun kekuatannya kembali di bidang politik, namun mereka tak mampu mengangkat kejatuhannya di bidang intelektual. Lembaga Islam tampak tidak mampu mengembangkan cara berfikir yang dinamis. Ketika kebudayaan Barat masuk dunia Islam, umat Islam dihadapkan oleh tantangan kemunduran intelektual dan sikap fatalistis dari pihak lain. Keadaan dan tantangan tersebut disadari oleh para tokoh Islam, salah seorang dari mereka ialah Ahmad Dahlan dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya. Seiring dengannya, di Mesir terdapat tokoh yang telah tampil terdahulu di bidang agama, sosial, dan politik, yaitu Muhammad Abduh. Pemikiran Ahmad Dahlan banyak terinspirasi dari Muhammad Abduh. Melalui hal tersebut paham dan pemikiran Muhammad Abduh masuk ke organisasi Muhammadiyah.
Meski demikian, tidak seluruh pemikiran Muhammadiyah berasal dari Muhammad Abduh. Jika diikiti jalan pemikiran Muhammad Abduh agaknya dapat dikatakan, bahwa dalam mencari kebenaran Abduh bertolak dari pendapat akalnya. Artinya, ia lebih dulu mencari kebenaran dengan akalnya, baru kembali kepada nash. Akan tetapi, walau bagaimanapun Muhammad Abduh tidak meninggalkan nash. Hanya saja Abduh menakwilkannya jika ayat-ayat tersebut menurut pendapatnya mengandung makna lain dari yang ditunjukkan oleh lahir ayat. Sedangkan Muhammadiyah meletakkan akal dibelakang nash. Peranan akal tersebutlah yang membedakan Muhammadiyah dan Muhammad Abduh dalam memahami masalah-masalah teologis.
                                                                     
Oleh: Immawati Afifatur Rasyidah                                                                                             

Referensi:
Lubis, Arbiyah. 1993. Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh. Jakarta: Bulan Bintang.
Nawawi, Rif’at Syauqi. 2002. Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Kajian Masalah Akidah dan Ibadat. Jakarta: Paramadina.
Saifullah. 2012. Nuansa Inklusif Dalam Tafsir Al-Manar. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama Republik Indonesia.
            Shihab, Quraish. 1994. Studi Kritis Tafsir Al-Manar. Bandung: Pustaka Hidayah.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjaga Keturunan Sebagai Upaya Perlindungan (Hifdzu Nasl)

Oleh: Immawan Muhammad Asro Al Aziz Keturunan ( nasl ) merupakan serangkaian karakteristik seseorang yang diwariskan orang tua kepada anak, atau segala potensi, baik fisik maupun psikis yang dimiliki seseorang dari orang tua melalui gen-gen. Keturunan juga merupakan faktor utama yang mempengaruhi perkembangan individu. Perhatian Islam terhadap keturunan dapat dilihat dari sejarahnya yang membuktikan bahwa merupakan hal yang sangat penting dalam, sehingga terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang secara spesifik berbicara tentang penjagaan keturunan. Misalnya pada QS. al-Ahzab: 4-5 yang memberi tuntunan tentang proses pemberian nasab terhadap anak kandung dan anak angkat. Karena, perhatian terhadap keturunan juga berimplikasi terhadap hak pemberian nafkah, pewarisan harta, pengharaman nikah, dan lain-lain. Islam memberikan perhatian yang besar terhadap keturunan untuk mengukuhkan aturan dalam keluarga yang bertujuan untuk mengayominya melalui perbaikan serta menjamin kehidupannya

Implementasi Strategi Inovasi Produk Perspektif Al-Qur'an

A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk individual juga sebagai makhluk ekonomi. Banyak kebutuhan yang di perlukan oleh setiap manusia menjadikan ekonomi sebagai suatu ilmu untuk memenuhi keberlangsungan hidup seseorang. Hal bisa itu terjadi karena perubahan lingkungan yang fundamental merupakan daya dorong (driving forces) perubahan perekonomian dan bisnis. Perubahan dalam semua aspek kehidupan harus direspons sesuai dengan tingkat kebutuhan dan kemanfaatan bisnis. Di sisi lain, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan perusahaan beroperasi di tingkat lokal, regional dan global, tanpa harus membangun system bisnis di tempat perusahaan tersebut beroperasi. Proses informasi dan komunikasi memperluas kemungkinan operasi jaringan perusahaan.  Disebutkan bahwa Koperasi di Jawa Tengah mengalami perkembangan jumlah koperasi aktif 22.674 (81,37%), tetapi tidak disertai dengan berkurangnya jumlah koperasi tidak aktif di Jawa Tengah dengan jumlah 5.19

Strategi Dakwah Ala Rasulullah

Oleh: Immawati Afifatur Rasyidah Islam merupakan agama perdamaian yang dianugrahkan oleh Allah swt dan perlu dijaga eksistensinya. Sebagai kader umat dan pewaris tampuk pimpinan umat kelak, sejatinya dewasa ini para generasi muda dilatih agar dapat menghadapi tantangan dan menjaga agama Islam ini. Berbagai kontroversi terjadi, agama dimonsterisasi, ulama didiskriminalisasi, umat dicurigai, dakwah dianggap provokasi, bahkan kebaikan pun dianggap radikalisasi. Salah satu   maqashidu syariah dalam agama Islam ialah hifdzu al-din (menjaga agama). Penjagaan terhadap agama dapat diimplementasikan dengan berbagai hal, salah satunya adalah dengan dakwah. Penyebaran dakwah tentu tak terlepas dengan metode atau manhaj atau thariqah. At-Thariqat Ahammu Min Al-Maddah, metode itu jauh lebih penting daripada materi. Ia merupakan sebuah seni (estetika) dalam proses penyampaian dakwah. Secara leksikal, metode ialah the way of doing. Sebaik-baik kualitas materi yang disampaikan dalam pembelajaran