Bagi kalangan awam tentang sejarah, banyak yang bertanya-tanya, selama ini Muhammadiyah ngapain aja sih? Atau Muhammadiyah sudah melahirkan karya apa saja sih? Atau tokoh-tokoh Muhammadiyah siapa saja sih? etc.
Ya. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu sangat lumrah ditujukan bagi Persyarikatan Muhammadiyah, yang prinsipnya adalah bekerja tanpa publikasi dan tanpa tepuk tangan. Kuntowijoyo membahasakan warga Muhammadiyah sebagai orang-orang yang bekerja dalam diam. Mungkin sebagian langsung tidak terima dengan pernyataan itu, mengingat Kuntowijoyo adalah kader dan bagian dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Karena bagian dari Muhammadiyah maka pernyataan Kuntowijoyo dianggap subjektif. Tapi sosok Kuntowijoyo sendiri menguatkan alasan itu. Beliau sebagai intelektual yang berpengaruh besar di Indonesia jarang disebut2 sebagai bagian dari Muhammadiyah. Tidak dibangga-banggakan namanya sebagai Muhammadiyah. Sama dengan tidak dibangga2kannya sosok2 intelektual Azumardi Azra, Suyatno, Suyanto, Taufik Abdullah, Dwikora Karnawati, Arsyad Linkoln, Iskandar Zulkarnain, Didik J. Rachbini, Dawam Raharjo, Imam Suprayogo, Amin Abdullah, Munir Mulkhan, Mukti Ali, Syamsul Anwar, Dewi Fortuna, Siti Zuhro, Siti Chamamah Soeratno, Anis Baswedan, Mochtar Pabotingi, Bachtiar Effendy, Bambang Sudibyo, Rizal Sukma, Chusnul Mar'iyah, Jimly Asshiddiqie, Zulkifli Hasan, Irman Gusman, Sri Edi Swasono, Mutia Hatta, Ryaas Rasyid, Hendri Saparini, Sofian Effendi, Komaruddin Hidayat, Marwah Daud, Akhmaloka, dan masih banyak lagi.
Juga semisal sosok ulama seperti Buya Hamka dan T.M. Hasbi Ash-Shiddiqi yang melahirkan kitab Tafsir berpengaruh. Bahkan sosok ulama-budayawan Emha Ainun Najib juga jarang sekali disebut2 bagian dari Muhammadiyah.
Demikian halnya dengan sosok2 abdi negara. Semenjak dahulu, jarang sekali ada yang menulis bahwa Soekarno, Agus Salim, Juanda, Jenderal Sudirman, Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Sigodimejo, Kahar Muzakkir, etc itu sebagai kader Muhammadiyah yang tercatat secara resmi dalam dokumen keanggotaan Muhammadiyah.
Nasib yang tidak jauh berbeda terjadi di ranah media hiburan. Film-film semisal Laskar Pelangi, Soekarno, Jenderal Sudirman, 99 Cahaya di Langit Eropa, Tenggelamnya Kapal Vander Wijk, Di Bawah Lindungan Ka'bah, Mata Tertutup, Si Anak Kampung, ect adalah di antara film yang asli karya Muhammadiyah, namun tetap menjaga netralitas dan menghilangkan identitas mengaku-ngaku sebagai Muhammadiyah.
Ya. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu sangat lumrah ditujukan bagi Persyarikatan Muhammadiyah, yang prinsipnya adalah bekerja tanpa publikasi dan tanpa tepuk tangan. Kuntowijoyo membahasakan warga Muhammadiyah sebagai orang-orang yang bekerja dalam diam. Mungkin sebagian langsung tidak terima dengan pernyataan itu, mengingat Kuntowijoyo adalah kader dan bagian dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Karena bagian dari Muhammadiyah maka pernyataan Kuntowijoyo dianggap subjektif. Tapi sosok Kuntowijoyo sendiri menguatkan alasan itu. Beliau sebagai intelektual yang berpengaruh besar di Indonesia jarang disebut2 sebagai bagian dari Muhammadiyah. Tidak dibangga-banggakan namanya sebagai Muhammadiyah. Sama dengan tidak dibangga2kannya sosok2 intelektual Azumardi Azra, Suyatno, Suyanto, Taufik Abdullah, Dwikora Karnawati, Arsyad Linkoln, Iskandar Zulkarnain, Didik J. Rachbini, Dawam Raharjo, Imam Suprayogo, Amin Abdullah, Munir Mulkhan, Mukti Ali, Syamsul Anwar, Dewi Fortuna, Siti Zuhro, Siti Chamamah Soeratno, Anis Baswedan, Mochtar Pabotingi, Bachtiar Effendy, Bambang Sudibyo, Rizal Sukma, Chusnul Mar'iyah, Jimly Asshiddiqie, Zulkifli Hasan, Irman Gusman, Sri Edi Swasono, Mutia Hatta, Ryaas Rasyid, Hendri Saparini, Sofian Effendi, Komaruddin Hidayat, Marwah Daud, Akhmaloka, dan masih banyak lagi.
Juga semisal sosok ulama seperti Buya Hamka dan T.M. Hasbi Ash-Shiddiqi yang melahirkan kitab Tafsir berpengaruh. Bahkan sosok ulama-budayawan Emha Ainun Najib juga jarang sekali disebut2 bagian dari Muhammadiyah.
Demikian halnya dengan sosok2 abdi negara. Semenjak dahulu, jarang sekali ada yang menulis bahwa Soekarno, Agus Salim, Juanda, Jenderal Sudirman, Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Sigodimejo, Kahar Muzakkir, etc itu sebagai kader Muhammadiyah yang tercatat secara resmi dalam dokumen keanggotaan Muhammadiyah.
Nasib yang tidak jauh berbeda terjadi di ranah media hiburan. Film-film semisal Laskar Pelangi, Soekarno, Jenderal Sudirman, 99 Cahaya di Langit Eropa, Tenggelamnya Kapal Vander Wijk, Di Bawah Lindungan Ka'bah, Mata Tertutup, Si Anak Kampung, ect adalah di antara film yang asli karya Muhammadiyah, namun tetap menjaga netralitas dan menghilangkan identitas mengaku-ngaku sebagai Muhammadiyah.
Dari sini, bagi para intelektual (Muhammadiyah) mempunyai prinsip bahwa kaum intelektual adalah kalangan merdeka. Sebagai orang merdeka mereka hanya mengabdikan diri untuk kebenaran dan ilmu pengetahuan, untuk kemanfaatan universal, bukan untuk golongan (Muhammadiyah) saja.
Bagi kalangan abdi negara (Muhammadiyah) mempunyai prinsip bahwa sebagai abdi negara mereka harus bisa menjadi payung besar bagi semua kalangan. Sebaga rumah besar untuk semua element Indonesia. Guna mencipta keadilan hakiki dengan tidak memberikan hak lebih bagi golongan (Muhammadiyah) saja.
Bagi kalangan abdi negara (Muhammadiyah) mempunyai prinsip bahwa sebagai abdi negara mereka harus bisa menjadi payung besar bagi semua kalangan. Sebaga rumah besar untuk semua element Indonesia. Guna mencipta keadilan hakiki dengan tidak memberikan hak lebih bagi golongan (Muhammadiyah) saja.
So, bagi kader muda Muhammadiyah, yang masih bersemangat tinggi dan suka dengan embel-embel, maka ada baiknya belajar pada kebesaran hati para pemuka Muhammadiyah yang tawadhu, terus bekerja tanpa harus mendaku sebagai Muhammadiyah. Muhammadiyah sudah terlalu besar (di dalam dan luar negeri) untuk hanya dibangga-banggakan tanpa kerja nyata. Kerja dalam diam untuk keabadian. Menjadi Muhammadiyah adalah menjadi sosok pegabdi dan pelopor tanpa riuh tepuk tangan. []
Komentar
Posting Komentar