Kelahiran Muhammadiyah bermula sebagai respon atas penjajahan dan keterbelakangan.
Atas kesadaran itu, Muhammadiyah tumbuh bersama kaum marjinal. Bergandengan tangan dengan kaum lemah. Berangkulan dengan orang-orang tertindas. Utamanya mereka yang mengalami ketertindasan dalam bidang sosial, ekonomi, dan agama.
Dengan begitu, Muhammadiyah merasa harus melakukan sesuatu demi memperbaiki keadaan. Muhammadiyah mulai mendobrak kondisi kemapanan, melakukan pembaharuan (tajdid).
Semisal, Kaum marjinal yang awalnya hanya mempercayai dukun (tabib) dan tidak mau berobat ke dokter yang ketika itu hanya ada RS Kristen, kemudian beralih. Dengan adanya RS PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem), rakyat tercerahkan. Satu tahun setelah berdiri, RS PKO mengalami kebangkrutan, karena ketika itu semua biaya perawatan digratiskan untuk semua kalangan, dengan tenaga dokter profesional yang sebagian besar adalah Kristen.
Demikian halnya dalam ranah pendidikan dan pengorganisasian ritual2 rutinan, Muhammadiyah melakukan pembaharuan (tajdid) modernisasi dan dinamisasi.
Dalam perspektif Muhammadiyah, tajdid memiliki dua sayap yang mengepak berbarengan: yaitu sayap purifikasi dan modernisasi.
Purifikasi berkaitan dengan ranah ibadah mahdlah. sementara modernisasi atau dinamisasi berkaitan dengan seluruh bidang sosial atau selain aspek ibadah mahdlah.
Api pembaharuan inilah yang harus selalu dijaga. MKCH sebagai produk ideologi perlu untuk diterjemahkan ulang dan direproduksi makna yang lebih konstektual.
Maka atas respon itu, di abad kedua lahirlah komunitas-komunitas yang bergerak untuk mengkostektualisasikan gerakan amar makruf nahi mungkar dan al-amr bi al-adl wa nahy bi an al-zulm.. Komunitas itu semisal GJDJ (Gerakan Jamaah Dakwah Jamaah), BMT (Baitul Mal wa Tanwil). Hal itu misalkan melalui MPM (Majelis Pemberdayaan Masyarakat), MPS (Majelis Pelayanan Sosial).
Sampai di sini, IMM berfungsi sebagai punggawa kum intelektual yang terus menggali peran-peran baru dan stategi baru serta pembaharuan baru. Karena dalam kolektivitas ide, selalu ada peran kaum intelektual. Sebagaimana dikatakan Gramsi bahwa tidak ada organisasi tanpa intelektual.
IMM yang mewakili diri sebagai kaum cendekiawan atau mahasiswa tentunya harus bisa terdepan dalam segala kerja-kerja intelektual. Tugas pembaharuan adalah tugas mulia yang diemban oleh para cendekia.
Untuk bisa melakukan pembaharuan, mutlak dibutuhkan syarat dan kapasitas para Immawan-Immawati yang lebih berkemajuan, berwawasan luas, dan menguasai banyak bidang, utamanya sosial-agama-budaya-ekonomi-politik.
Atas kesadaran itu, Muhammadiyah tumbuh bersama kaum marjinal. Bergandengan tangan dengan kaum lemah. Berangkulan dengan orang-orang tertindas. Utamanya mereka yang mengalami ketertindasan dalam bidang sosial, ekonomi, dan agama.
Dengan begitu, Muhammadiyah merasa harus melakukan sesuatu demi memperbaiki keadaan. Muhammadiyah mulai mendobrak kondisi kemapanan, melakukan pembaharuan (tajdid).
Semisal, Kaum marjinal yang awalnya hanya mempercayai dukun (tabib) dan tidak mau berobat ke dokter yang ketika itu hanya ada RS Kristen, kemudian beralih. Dengan adanya RS PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem), rakyat tercerahkan. Satu tahun setelah berdiri, RS PKO mengalami kebangkrutan, karena ketika itu semua biaya perawatan digratiskan untuk semua kalangan, dengan tenaga dokter profesional yang sebagian besar adalah Kristen.
Demikian halnya dalam ranah pendidikan dan pengorganisasian ritual2 rutinan, Muhammadiyah melakukan pembaharuan (tajdid) modernisasi dan dinamisasi.
Dalam perspektif Muhammadiyah, tajdid memiliki dua sayap yang mengepak berbarengan: yaitu sayap purifikasi dan modernisasi.
Purifikasi berkaitan dengan ranah ibadah mahdlah. sementara modernisasi atau dinamisasi berkaitan dengan seluruh bidang sosial atau selain aspek ibadah mahdlah.
Api pembaharuan inilah yang harus selalu dijaga. MKCH sebagai produk ideologi perlu untuk diterjemahkan ulang dan direproduksi makna yang lebih konstektual.
Maka atas respon itu, di abad kedua lahirlah komunitas-komunitas yang bergerak untuk mengkostektualisasikan gerakan amar makruf nahi mungkar dan al-amr bi al-adl wa nahy bi an al-zulm.. Komunitas itu semisal GJDJ (Gerakan Jamaah Dakwah Jamaah), BMT (Baitul Mal wa Tanwil). Hal itu misalkan melalui MPM (Majelis Pemberdayaan Masyarakat), MPS (Majelis Pelayanan Sosial).
Sampai di sini, IMM berfungsi sebagai punggawa kum intelektual yang terus menggali peran-peran baru dan stategi baru serta pembaharuan baru. Karena dalam kolektivitas ide, selalu ada peran kaum intelektual. Sebagaimana dikatakan Gramsi bahwa tidak ada organisasi tanpa intelektual.
IMM yang mewakili diri sebagai kaum cendekiawan atau mahasiswa tentunya harus bisa terdepan dalam segala kerja-kerja intelektual. Tugas pembaharuan adalah tugas mulia yang diemban oleh para cendekia.
Untuk bisa melakukan pembaharuan, mutlak dibutuhkan syarat dan kapasitas para Immawan-Immawati yang lebih berkemajuan, berwawasan luas, dan menguasai banyak bidang, utamanya sosial-agama-budaya-ekonomi-politik.
Refleksi DAD IMM UY di Panti Asuhan Muhammadiyah Abdul Alim Imogiri, 15-17 Januari 2016:
Dengan Narasumber Dr. Muhammad Amin, MA., Budi Asyhari Afwan, MA., Mutiullah Hamid, M.Hum., ect.
Dengan Narasumber Dr. Muhammad Amin, MA., Budi Asyhari Afwan, MA., Mutiullah Hamid, M.Hum., ect.
Komentar
Posting Komentar