aku kamu dan Dia
Oleh : Joko
Riyanto
Aku hidup di dalam suka
dan duka
Ingin bahagia tapi tak tau
seperti apa
Ketika Dia melemparku
ketempat yang berbeda
Aku kamu berjumpa pada
kibaran merah merona
Namun, sebelum aku
mengenalmu
Aku harus tau siapa diriku
Agar aku dapat bercinta
dengan kamu
Agar aku dan kamu
telanjang dalam berkendak Dia
Aku dapat berfikir,
merasa, dan bersolidaritas jua
Apakah kamu seperti itu?
Mari kita bersatu untuk
memanifestasikan Dia
Agar menjadi aku dan kamu
seutuhnya
Aku
dalam puisi diatas dapat kita manaknai sebagi ego dalam terminologinya Muhammad
Iqbal (1887-1938). Pernahkah dalam hidup kita bertanya mengenai siapa diriku?
Jika pertanyaan filosofis tersebut dilontarkan kepada para priyai dikampung
halaman, maka jawaban yang diperoleh bersifat religius dan tektual. Namun,
tidak semua agama menjawab secara normatif itu tergantung kaca mata apa yag
dipakai para priyai (penafsir). Seperti apa jawaban normatif agama Islam? Di
dalam Islam kita kenal bahwa aku (manusia) ketika diciptakan dan ditanya oleh
para malaikat, maka Dia (Tuhan=Allah) menjawab “Aku ciptakan manusia untuk
menjadi khalifah”.[1]
Khalifah
secara etimologis adalah pemipin, jadi kita bersifat menguasai, mengatur, dan
menjaga apa saja yang ada di bumi ini. Dari sini maka kita akan merefleksikan
siapakah diri aku kamu (individu ataupun kelompok). Kata iqbal filusuf abad 20
di dalam diri manusia memiliki ego dengan gerak kreaktifitasnya. Dengan
memelihara ke egoannya maka kita akan sadar dan tahu bahwa dunia diluar darinya
bukanlah ilusi atapun fani.
Al
ghazali (1058-1111 M), kontribusi pemikiran beliau yang komprehensif tentang
manusia memiliki kedudukan dalam filsafat, filsfat Islam, filsfat barat, dan
Islam khususnya. beliau memberikan pembagian unsur di dalam diri manusia,
sebagai berikut: pertama, akal
(intelek) yang berfungsi untuk memahami realitas dan berfikir filosofis
dialektis; kedua, hati (intuisi) dengan hati kita dapat hidup dengan kebenaran,
dengan pengecualin hati yang bersih tanpa ada noda, seperti kertas putih tanpa
setitik tinta, seperti kaca tanpa debu; ketiga, nafsu : subtansi yang berdiri
sendiri tidak bertempat; keempat, ruh : panas alam (al-ghararat alghariyyat)
yang mengalir pada pembuluh-pembuluh nadi; kelima, jiwa : sebagai esensi
manusia yang berhubungan dengan badan, hubungan bagaikan kuda dengan penunggang
kuda.
Tidak
hanya sebatas itu, seperti halnya Ibnu Khaldun yang lahir di Tunis (1332 M).
Dalam refleksi beliau mengenai hakekat manusia, beliau memandang manusia dari
perspektif empiris. Karena pemikirannya lebih antropormis, sosiologis, historis
dan politis. Manusia manurut ibnu khaldun adalah makhuk sosial (madariyyun bit thab’i) seperti halnya
aristoteles dalam statmentnya bahwa manusia adalah zoon politikon. Manusia pada
kodratnya adalah makhluk sosial.
Manusia
dala persepektif pemikirannya ibnu khaldun dibagi menjadi dua unsur yaitu
pertama unsur hewani dan unsur manusiawi. Unsur hewani yang mana akan membawa
manusia kepada hasyat-hasrat (keinginan, the will of power istilah Nietzsche).
Sedangkan unsur manusiawi menurut ibnu khaldun miliki khas yang membedaakan
dari lainnya yaitu akal budi. Pada hakekatnya manusia bertindak dengan hasyat
dan ketika akal tidak dapat mengkontrol unsur hewani, maka ia akan menjadi
hewan namun sebaliknya, ketika akal mampu menjadi kontrol dari unsur hewani ia
akan menjadi manusia yang seutuhnya dan manusia yang meiliki solidaritas (áshabiyah[2]).
Sekarang
agar tidak menjadi hanya sekedar teoritis, maka penulis mengajak agar hal ini
terimplikasi pada kehidupan mahasiswa, mahasiswa yang kita kenal adalah seorang
yang menduduki terpenting dalam sebuah pendidikan formal. Aku kamu bertemu
krena sebuah solidaritas yang dikaruniai Dia (Tuhan=Allah) untuk berfikir,
bergerak menjadi dengan telanjang tanpa ada pembalut yang menjadikan buta.
Kita
bertemu dalam subuah perkumpulan dengan lambang merah dan kita berjuang demi
kepentingan bersama, bersama sama dalam kekuasaan politi untuk bergerak membawa
pikiran kritis, relovutiif, dan solutif. Ada relevansinya dengan pemikiran Ibnu
khaldun menganai bagaimana individu bergerak dalam koektifitas hidup ini? Maka
kita membutuhkan solidaritas (‘ashabiyyah) untuk bergerak, karena tidak mungkin seorang aku taupun kamu hidup tanpa
ada saling membutuhkan.
Komentar
Posting Komentar