Oleh
Haedar Nashir
PENDAHULUAN
Islam hadir
di kepulauan Indonesia secara kesejarahan dalam suatu matarantai yang panjang,
berwarna-warna, dan tidak sekali jadi dengan melibatkan banyak sekali pelaku
dakwah dan penyebar Islam yang tak berbilang. Islam di negeri Nusantara
tidaklah tunggal dan linier, dia tumbuh-berkembang sarat dinamika persambungan
dan perubahan yang mengalami pembentukan terus menerus sejak abad ketujuh atau
ketigabelas hingga saat ini. Hingga kapanpun Islam dalam kehidupan pemeluknya
akan terus mengalami perkembangan pasang-surut sesuai hukum perubahan yang
sepenuhnya bercorak kesejarahan.
Para ahli
mencermati keragaman proses dan pelaku Islamisasi di negeri ini secara
dialektik. Islam masuk ke Indonesia berhadapan dengan kebudayaan masyarakat
Indonesia yang bertumpu pada stratum masayarakat petani yang banyak dipengaruhi
oleh kepercayaan animisme (Dobbin, 2008: 185). Islam masuk ke Nusantara ketika
agama Hindu telah mengakar kuat dalam masyarakat setempat, jadi telah
berlangsung terutama di pulau Jawa
proses “Hinduisasi” atau lebih tepat “Indianisasi” yang tembus secara mendalam dan meninggalkan
bekas lama sekali (Benda, 1974: 36).
Islamisasi di kepulauan Nusantara merupakan bentuk penyebaran Islam melalui
proses sosial-kultural dan sosial-ekonomi yang dilakukan para penyebar dan
saudagar Muslim di kepulauan Nusantara (Kartodirjo,
1993: 7).
Islam di
Indonesia mengalami dinamika penghadapan
antara ajaran dan sejarah, antara keyakinan doktrin agama dengan realitas zaman
yang selalu berubah, sehingga Islamisasi mengalami persambungan dan perubahan
sekaligus jawaban terhadap zamannya. Islamisasi bukan sekadar berarti
penerimaan ajaran secara doktrinal tetapi sekaligus pengorbanan untuk akomodasi
terhadap perubahan dan tuntutan zaman dalam proses akulturasi yang normal tanpa
kehilangan esensi dan prinsip ajaran. Di sinilah Islamisasi bukan sekadar
proses internalisasi ajaran sebagaimana doktrin ortodoksi Islam, tetapi
sekaligus penghadapan Islam dengan sejarah dan kebudayaan di mana Islam itu
hadir, tumbuh, dan berkembang. Dalam proses Islamisasi yang diwarnai
persambungan dan perubahan itulah gerak pemurnian Islam yang berpijak pada
ortodoksi Islam berjalan dinamik dengan pembaruan sebagai jawaban atas tantangan
zaman, yang melahirkan corak Islam yang pusparagam di kepulauan Nusantara. Islamisasi menunjukkan proses yang
berlapis-lapis dengan penyebaran yang
menimbulkan akibat-akibat tertentu serta memunculkan realitas-realitas baru
dari pergumulan Islam dan masyarakat dalam pantulan sejarah Indonesia (Taufik
Abdullah, 1974: 1-8, 34).
Kehadiran
organisasi-organisasi Islam di awal abad ke-20 merupakan matarantai dari
sejarah Islam yang panjang, meluas, dan berlapis-lapis dalam banyak ragam itu,
yang coraknya lebih modern dan teorganisasi. Sebutlah kelahiran dan kehadiran organisasi-organisasi Islam seperti
Jami'atul Khair (1905), Sarikat Dagang Islam (1905), Sarekat Islam (1911),
Muhammadiyah (1912), Al-Irsyad (1914), Persatuan Islam (1923), dan Nahdlatul
Ulama (1926), serta organisasi Islam lannya yang tersebar di seluruh kepulauan
Indonesia. Kongres Wanita pertama tahun 1928, di mana ‘Aisyiyah
sebagai organisasi perempuan Muhammadiyah menjadi salah satu pemrakarsa dan
penyelenggara, merupakan titik awal kebangkitan perempuan Indonesia dan menjadi
bagian integral dari pergerakan nasional. Semuanya memberi saham bagi
pembentukan perkembangan dan kemajuan umat Islam maupun bangsa Indonesia yang
bersambung dengan kehadiran gerakan-gerakan Islam sesudahnya hingga saat ini.
SPIRIT
AWAL MUHAMMADIYAH
Muhammadiyah
bersama gerakan Islam lain dengan karakternya satu sama lain yang khas, yang
lahir pada 8 Dzulhijjah 1330 H / 18 November 1912 hadir untuk menyambung
matarantai Islam khususnya yang berorientasi pada kemajuan. Muhammadiyah hadir
untuk melakukan pembaruan atau pencerahan dari kondisi umat Islam dan bangsa
Indonesia yang kala itu tejajah sekaligus tertinggal dalam banyak aspek
kehidupan. Inilah spirit awal dari Muhammadiyah dalam menggagas dan mewujudkan
Islam sebagai agama berkemajuan.
Spirit Islam berkemajuan secara
faktual melekat dengan kelahiran dan langkah-langkah Muhammadiyah dalam
perjalanan sejarahnya. Dalam tulisan Solichin Salam (1962: 15) disebutkan,
bahwa yang dilakukan Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah generasi awal ialah melawan
kekolotan (konservatisme), taklid (fanatisme),
dan mengerjakan apa saja apa yang
dipusakainya dari nenek moyangnya meskipun itu sudah terang bukan dari ajaran
Islam (tradisionalisme). Secara umum
kondisi umat Islam ketika Muhammadiyah lahir dicirikan oleh hal-hal berikut: :
(a) Umat Islam tidak memegang teguh tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi, sehingga
menyebabkan merajalelanya syirik, bid’ah, dan
khurafat, yang mengakibatkan umat Islam tidak merupakan golongan yang terhormat
dalam masyarakat, demikian pula agama Islam
tidak memancarkan sinar kemurniannya lagi; (b) Ketiadaan persatuan dan
kesatuan di antara umat Islam, akibat dari tidak tegaknya ukhuwah Islamiyah
serta ketiadaan suatu organisasi yang kuat; (c) Kegagalan dari sebagian
lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam memprodusir kader-kader Islam, karena
tidak lagi dapat memenuhi tuntutan zaman; (d) Umat Islam kebanyakan hidup dalam
alam fanatisme yang sempit, bertaklid buta serta berpikir secara dogmatis, berada
dalam konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme; (e) Karena keinsyafan
akan bahaya yang mengancam kehidupan dan pengaruh agama Islam, serta berhubung dengan kegiatan misi dan
zending Kristen di Indonesia yang
semakin menanamkan pengaruhnya di kalangan rakyat; (f) Adanya tantangan dan
sikap acuh tak acuh (onverschillig)
atau rasa kebencian di kalangan intelegensia kita terhadap agama Islam, yang oleh mereka dianggap sudah kolot
dan tidak up to date lagi; (g) Ingin
membentuk suatu masyarakat, di mana di dalamnya benar-benar berlaku segala ajaran dan hukum-hukum Islam (Salam, 1962: 35).
Menurut Mukti Ali, background
atau latarbelakang berdirinya Muhammadiyah dapat disimpulkan dalam empat segi:
(1) ketidakbersihan dan campuraduknya kehidupan agama Islam di Indonesia,
(2) ketidakefektifannya lembaga-lembaga
pendidikan agama, (3) aktivitet dari misi-misi Katholik dan Protestan, dan (4)
sikap acuh tak acuh, malah kadang-kadang merendahkan dari golongan intelegensia
terhadap Islam. Dengan latarbelakang sosiologis yang
demikian maka kelahiran Muhammadiyah menurut Mukti Ali memiliki misi gerakan
dan orientasi amaliah sebagai berikut: (1) Membersihkan Islam di Indonesia dari
pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam; (2) Reformulasi doktrin Islam dengan
pandangan alam pikiran modern; (3) Reformulasi ajaran dan pendidikan Islam; dan
(4) Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan luar (Ali,
1958: 20).
Dari latar
belakang dan misi Muhammadiyah awal itu maka gerakan Islam ini melakukan
langkah-langkah di bidang pemahaman dan pembinaan keagamaan, pendidikan,
kesehatan, pelayanan sosial, dan amal usaha yang terus berkembang hingga saat
ini, yang semuanya berbasis pada pandangan Islam yang berkemajuan. Karena itu
masyarakat luas menilai dan menjuluki Muhammadiyah sebagai gerakan Islam
reformis, modernis, dan istilah sejenis lainnya yang mengandung esensi Islam
berkemajuan.
Spirit dan
jiwa yang berkemajuan juga tampak kuat dalam usaha-usaha Muhammadiyah, yang
diformulasikan dalam Anggaran Rumah Tangga, tetapi sesungguhnya merupakan
pantulan dari apa yang selama ini dilakukan gerakan Islam ini. Usaha yang
dilakukan Muhammadiyah ialah sebagai berikut: (1) Menanamkan keyakinan, memperdalam dan memperluas
pemahaman, meningkatkan pengamalan, serta menyebarluaskan ajaran Islam dalam
berbagai aspek kehidupan; (2) Memperdalam dan mengembangkan pengkajian ajaran
Islam dalam berbagai aspek kehidupan untuk mendapatkan kemurnian dan
kebenarannya; (3) Meningkatkan semangat ibadah, jihad, zakat, infak, wakaf,
shadaqah, hibah, dan amal shalih lainnya; (4) Meningkatkan harkat, martabat,
dan kualitas sumberdaya manusia agar berkemampuan tinggi serta berakhlaq mulia;
(5) Memajukan dan memperbaharui pendidikan dan kebudayaan,
mengembangkan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni, serta meningkatkan penelitian; (6) Memajukan perekonomian
dan kewirausahaan ke arah perbaikan hidup yang berkualitas; (7) Meningkatkan
kualitas kesehatan dan kesejahteraan masyarakat; (8) Memelihara, mengembangkan,
dan mendayagunakan sumberdaya alam dan lingkungan untuk kesejahteraan; (9)
Mengembangkan komunikasi, ukhuwah, dan kerjasama dalam berbagai bidang dan
kalangan masyarakat dalam dan luar negeri; (10) Memelihara keutuhan bangsa
serta berperan aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; (11) Membina dan
meningkatkan kualitas serta kuantitas anggota sebagai pelaku gerakan; (12)
Mengembangkan sarana, prasarana, dan sumber dana untuk mensukseskan gerakan;
(13) Mengupayakan penegakan hukum, keadilan, dan kebenaran serta meningkatkan
pembelaan terhadap masyarakat; dan (14) Usaha-usaha lain yang sesuai dengan
maksud dan tujuan Muhammadiyah (AD dan ART Muhammadiyah, 2000).
Muhammadiyah
dalam Muktamar ke-46 tahun 2010 di Yogyakarta merumuskan pandangan tentang
"Islam berkemajuan". Konsep, istilah, dan pandangan Islam berkemajuan
tersebut merupakan bagian dari substansi "Pernyataan Pikiran Muhammadiyah
Abad Kedua"' yang di dalamnya terkandung pula pandangan tentang
kebangsaan, kosmopolitanisme Islam, dan
gerakan pencerahan.
Pandangan
Islam yang berkemajuan sebagaimana dideklarasikan Muhammadiyah merupakan
ikhtiar untuk menggali kembali api pemikiran Islam yang digagas dan
diaktualisasikan oleh pendiri Muhammadiyah, Kyai Haji Ahmad Dahlan seratus
tahun yang silam. Selain itu, pandangan tersebut sekaligus menjadi bingkai
pemikiran bagi Muhammadiyah dalam memasuki abad kedua, sehingga spirit
pembaruan tetap berkesinambungan dalam gerakan Muhammadiyah dan seluruh
komponen organisasinya.
Perumusan
pandangan Islam berkemajuan bukanlah langkah yang tiba-tiba dan bersifat slogan
utopia. Langkah tersebut diambil sebagai pemikiran dan jalan strategis yang
memiliki fondasi dan orientasi yang kokoh dari kelahiran Muhammadiyah dalam
bingkai gagasan dasar pendirinya, Kyai Haji Ahmad Dahlan, menuju perjalanan ke
depan yang sarat tantangan. Muhammadiyah lahir tahun 1912 sebagai jalan
pembaruan yang mendobrak keterbelakangan dan kejumudan menuju kemajuan hidup
"sepanjang ajaran Islam". Dalam Statuten
Muhammadiyah 1912 disebutkan tujuan Muhammadiyah ialah
"menyebarluaskan" dan "memajukan" hal ihwal ajaran Islam
kepada pemeluk-pemeluknya di seluruh Hindia Belanda. Secara praksis apa yang
dilakukan Muhammadiyah di bidang pemikiran, pendidikan, kesehatan, pelayanan
sosial, dan lain-lain selama satu abad menunjukkan usaha-usaha mewujudkan Islam
berkemajuan.
Dalam
konteks kebangsaan kehidupan bangsa kala itu selain terjajah, pada saat yang
sama tertinggal dalam banyak aspek kehidupan dan menurut Sutan Takdir
Alisjahbana berada dalam kebudayaan "prae-Indonesia". Karenanya Islam
harus hadir bukan sekadar merawat nilai-nilai dan kondisi kehidupan yang
posititif yang telah ada dalam kehidupan umat dan bangsa kala itu, tetapi melakukan muhasabah terhadap kondisi yang
buruk dan tertingga, sekaligus menawarkan jalan kemajuan menuju kehidupan yang lebih
baik.
Baik umat
Islam maupun bangsa Indonesia dulu, kini, dan ke depan semestinya harus
tumbuh-kembang menjadi Khayr al-Ummah (QS Ali Imran: 110) yakni sebagai umat atau
bangsa yang unggul sehingga dirinya mampu
menjadi penyebar sekaligus mewujudkan
misi Ramatan lil-'Alamin (QS Al-Anbiya:
107) di muka bumi ini. Apalah artinya berislam manakala tidak mampu menjadikan
dan membuktikan para pemeluknya sebagai umat terbaik dan pelaku rahmatan
lil-'alamin. Sebaliknya mana mungkin umat ini menjadi golongan terbaik dan
mampu memuwudkan Islam yang rahmatan lil-'alamin manakala masih banyak masalah
dan dirinya sendiri sering bermasalah, tertinggal, kumuh, dhu'afa-mustadh'afin,
dan menjadi "maf'ul bih" dalam kehidupan sehari-harinya.
ISLAM
AGAMA BERKEMAJUAN
Islam
sejatinya merupakan agama yang berkemajuan (Din
al-Hadlarah). Islam memerintahkan umatnya untuk iqra (QS Al-'Alaq: 1-5),
yang menjadi ayat dan surat perama diturunkannya Al-Quran dan Wahyu kepada Nabi
akhir zaman, Muhammad s.a.w.. Islam mengandung pesan imperatif untuk membangun
tatanan kehidupan yang adil (QS Al-Araf: 29), makmur (Qs Hud: 61), sejahtera
(QS An-Nisa: 19), persaudaraan (QS Al-Hujarat: 10), saling tolong menolong (QS
Al-Maidah: 2), kebaikan (QS Al-Qashas: 77), terbangunnya hubungan baik pemimpin
dan warga (An-Nisa: 57-58), terjaminnya keselamatan umum (QS At-Taubah: 128),
Hidup berdampingan dengan baik dan damai (Al-Imran: 101, 104; dan Al-Qashas:
77), tidak adanya kezaliman (Al-Furqan: 19), tidak ada kerusakan atau fasad fi al-ardl (QS Al-Baqarah: 11),
dan tercipyanya umat terbaik atau khaira ummah
(QS Ali Imran: 110), sehingga secara keseluruhan terwujud “baldatun
thayyibatun wa Rabbun ghafur” (QS Saba:
15).
Islam
mengajarkan agar manusia mengurus dunia dan menjadikannya sebagai “majra’at
al-akhirat” atau
ladang akhirat. Islam memerintahkan
umatnya untuk merencanakan masa depan sebagai bagian tidak terpisahkan
dari bertaqwa (QS Al-Hasyr: 18), bahkan umat diperintahkan untuk melakukan
perubahan nasib dengan ikhtiar sebab “Allah
tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya”
(QS Ar-Ra’d: 11).
Muslim tidak boleh melupakan dunia, sebaliknya mengurus untuk meraih
kebahagiaan abadi di akhirat dengan melakukan perbuatan ihsan dan tidak oleh
merusak di muka bumi (QS Al-Qashash:
77).
Dengan
kekuatan yang dimilikinya maka umat Islam harus menjadi umat yang benar-benar
bertaqwa (QS Ali Imran: 102), bersatu dan tidak terpecah-belah (QS Ali Imran:
103), menjadi pelaku dakwah yad'u ila al-khayr, al-'amr bi al-ma'ruf wa nahy
'an al-munkar (QS Ali Imran 104), menjadi umat yang terbaik (QS Ali Imran:
110), membangun habluminallah dan habluminannas yang baik (QS Ali Imran. 112),
berfastabiq al-khairat atau mampu bersaing dengan golongan manapun (QS Al
Imran: 115), menjadi Khalifat fi Al-Ardl (QS Al-Baqarah: 30), dan menjadi
rahmatan lil-'alamin (QS Al-Anbiya: 107), sehingga mampu hidup
selamat-sejahtera di dunia dan akhirat (QS Al-Baqarah: ).
Nabi
Muhammad bersama kaum muslim berhasil mewujudkan kemajuan peradaban, sehingga
terbangun Al-Madinah Al-Mhnawwarah, suatu Kota Peradaban yang
Cerah-Mencerahkan. Nabi berhasil membangun fondasi peradaban Islam selama 23
tahun dengan penuh dinamika perubahan dan kemajuan, yang dilanjutkan oleh empat khalifah utama.
Setelah itu peradaban Islam meluas dan Islam menjadi agama peradaban dunia
selama sekitar lima abad lamanya. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan mencapai
puncaknya ketika Barat saat itu tertidur lelap. Terbentuknya peradaban Islam
yang utama itu tidak lepas dari spirit ijtihad
dan tajdid yang menyatu dalam kehidupan umat Islam, yang spirit utamanya
"Islam Berkemajuan".
Nabi
sendiri melalui sebuah hadis memberikan perspektif, bahwa pada setiap kehadiran
abad baru datang mujadid yang akan memperbarui paham agama. Maknanya bahwa pada
setiap babakan sejarah yang penting dan krusial selalui dibutuhkan pembaruan,
sehingga Islam mampu menjawab tantangan zaman. Islam dan umat Islam tidak boleh
jumud atau statis, sebaliknya harus dinamis dan progresif. Itulah spirit dan
pandangan Islam yang berkemajuan sebagai tonggak peradaban.
Dari
sejumlah ayat Al-Quran dan Sunnah Nabi yang dipaparkan tersebut tampak jelas hakikat Islam sebagai agama yang
menanamkan nilai-nilai kemajuan bagi umat manusia. Karenanya menjadi muslim dan
umat Islam semestinya mempunyai spirit, etos, pemikiran, sikap, dan tindakan
yang berwawasan kemajuan. Dengan Islam yang berkemajuan maka umat Islam akan
melahirkan peradaban yang menyinari dan menjadi rahmat bagi semesta alam.
IDEOLOGI
KEMAJUAN
Muhammadiyah
adalah Gerakan Islam, Da’wah Amar Ma’ruf
Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber pada Al-Qur`an dan As-Sunnah. Muhammadiyah
berasas Islam. Dengan karakter tersebut Muhammadiyah menegaskan dirinya sebagai
Gerakan Islam yang melaksanakan misi dakwah dan tajdid. Sedangkan maksud dan
tujuan Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga
terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Sebagai gerakan Islam,
Muhammadiyah sejak awal berkomitmen dan berkiprah untuk memajukan kehidupan
umat, bangsa, dan kemanusiaan universal. Karenanya, Muhammadiyah sejak
kelahirannya memiliki watak yang berkemajuan.
Istilah “kemajuan”, “maju”,
“memajukan”,
dan “berkemajuan”
telah melekat dalam pergerakan Muhammadiyah sejak awal berdiri hingga dalam
perjalanan berikutnya. Dalam Statuten pertama kali tahun 1912, tercantum kata “memajukan”
dalam frasa tujuan Muhammadiyah, yaitu “...b.
Memajoekan
hal Igama kepada anggauta-anggautanja”.
Kyai Dahlan, seringkali mengungkapkan pentingnya berkemajuan. Menjadi kyai,
jadilah kyai yang maju, ujar Kyai.
Pikiran-pikiran dasar dan langkah-langkah awal Kyai Dahlan sejak
meluruskan arah kiblat sampai mendirikan lembaga pendidikan Islam, mengajarkan
dan mempraktikkan Al-Ma’un, dan membentuk pranata-pranata amaliah sosial
Islam yang bersifat modern, semuanya menunjukkan pada watak Islam yang
berkemajuan.
Dalam
tulisan utuh Kyai Dahlan dalam bahasa Jawa tahun 1921 dan menurut informasi
sebagai satu-satunya tulisan lengkap yang diwariskan pendiri Muhammadiyah ini,
yang berjudul “Tali
Pengikat Hidup Manusia”
(terjemahan Syukriyanto AE & A. Munir Mulkhan) istilah “kemajuan”
juga sempat diulas. Kyai mengulas
tentang pentingnya para pemimpin umat bersatu hati, dan di frasa itu menunjuk
apa yang disebut “... pemimpin
kemajuan Islam...”. Dalam
tulisan itu, selain mengupas tentang persatuan
pemimpin dan manusia sebagai makhluk
Allah, yang menarik hampir lebih separuh dari tulisan itu menguraikan tentang akal, pendidikan akal, kesempurnaan akal, kebutuhan
manusia, orang yang mempunyai akal,
dan perbedaan antara pintar dengan bodoh”
(Syukriyanto & Mulkhan, 1985: 1-9).
Kyai Dahlan
menulis, kenapa orang mengabaikan atau menolak kebenaran, hal itu karena lima
sebab yaitu: (1) Bodoh, ini yang banyak
sekali, (2) Tidak setuju kepada orang yang ketempatan (membawa) kebenaran, (3)
Sudah mempunyai kebiasaan sendiri dari nenek moyangnya, (4) Khawatir
tercerai dengan sanak-saudara dan
teman-temannya, dan (5) Khawatir kalau berkurang atau kehilangan kemuliaan, pangkat,
kebesaran, kesenangannya, dan seagainya. Karenanya Kyai mengingatkan agar
menjadi pemikiran seputar lima hal yaitu; (1) Orang itu perlu dan harus
beragama, (2) Agama itu pada mulanya
bercahaya, berkilau-kilauan, akan tetapi makin lama makin suram, padahal yang
suram bukan agamanya, akan tetapi manusianya yang memakai agama, (3) Orang itu harus menurut aturan dari
syarat yang sah dan yang sudah sesuai dengan pikiran yang suci, jangan sampai
membuat keputusan sendiri, (4) Orang itu harus dan wajib mencari tambahan
pengetahuan, jangan sekali-kali merasa cukup dengan pengetahuannya sendiri,
apalagi menolak pengetahuan orang lain, dan (5) Orang itu perlu dan wajib
menjalankan pengetahuannya yang utama, jangan sampai hanya tinggal pengetahuan
saja. (Syukriyanto & Mulkhan, 1985 : 4).
Dalam
pejaran keempat sebagaimana dinukil Kyai Hadjid, Kyai Dahlan menyatakan, “Manusia perlu digolongkan
menjadi satu dalam kebenaran, harus bersama-sama menggunakan akal
fikirannya, untuk memikir, bagaimana
sebenarnya hakikat dan tujuan manusia hidup di dunia. Apakah perlunya? Hidup di
dunia harus mengerjakan apa? Dan mencari apa? Dan apa yang dituju? Manusia
harus menggunakan fikirannya untuk mengoreksi soal i’tikad dan keyakinannya, tujuan hidup dan tingkahlakunya,
mencari kebenaran yang sejati. Karena kalau hidup di dunia hanya sekali ini
sampai sesat, akibatnya akan celaka, dan sengsara selamanya”. Pendapat tersebut
dikaitkan dengan ayat ke-44 Surat Al-Furqan, yang artinya: “Apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar
atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)”.
Pada
pelajaran kelima, Kyai Dahlan menyatakan,
bahwa “Setelah manusia mendengarkan pelajaran-pelajaran fatwa yang
bermacam-macam, memikir-mikir,menimbang-nimbang, membanding-banding
kesana-kemari, barulah mereka itu
mendapat keputusan, memperoleh barang
benar yang sesungguhnya. Dengan akal-fikirannya sendiri dapat mengetahui dan menetapkan, inilah perbuatan
yang benar.”. Dilanjutkan, bahwa “Sekarang, kebiasaan manusia
tidak berani memegang teguh pendirian dan perbuatan yang benar karena
khawatir, kalau menetapi barang yang
benar, akan terpisah dari apa-apa yang
sudah menjadi kesenangannya, khawatir
akan terpisah dengan teman-temannya. Pendek kata banyak kekhawatiran itu yang
akhirnya tidak berani mengerjakan barang yang benar, kemudian hidupnya seperti
makhluk yang tak berakal, hidup asal
hidup, tidak menepati kebenaran.”
(Hadjid, t.t.: 15).
Dalam
Majalah Suara Muhammadiyah tahun 1922,
ditulis dalam bahasa Jawa, tentang pentingnya Islam sebagai “agami
nalar”, artinya
agama yang berkemajuan dalam pemikiran umatnya. Pak Djarnawi Hadikusuma dalam
buku Matahari-Matahari Muhammadiyah, ketika menjelaskan penisbahan Muhammadiyah
dengan nama Nabi Muhammad memberikan uraian sebagai berikut: ”Dengan
nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah
umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan
melaksanakan agama Islam sebagai yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh
Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang
kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat
memberi napas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.”.
Dalam
pidato iftitah HB Muhammadiyah tahun
1927, 1928, dan 1929, berturut-turut diangkat tema dan ulasan tentang “Pandangan
tentang Kemajuan Islam dan Pergerakan Muhammadiyah”,
“Pandangan tentang Agama Islam
dan Pergerakan Muhammadiyah”, serta “Pandangan
tentang Kemajuan Agama Islam dan Pergerakan Muhammadiyah Hindia Timur”,
yang mengupas berbagai pandangan Islam, kemajuan umat Islam di tanah air dan
belahan dunia, serta berbagai masalah yang dihadapi Muhammadiyah dan umat
Islam. Dari berbagai khutbah iftitah atau
“Khutabtul
Arsy” dari tahun 1921 hingga tahun 1971, tergambar
betapa luas pandangan para tokoh Muhammadiyah dalam memahami ajaran Islam dan
menghadapi kompleksitas kehidupan, yang berpijak pada fondasi Al-Quran dan
As-Sunnah yang maqbulah dengan mengembangankan pemikiran yang berkemajuan.
Kyai Mas
Mansur dalam Khutbatul Arsy pada Kongres Muhammadiyah Seperempat Abad di Betawi
tahun 1937, menyatakan antara lain: “...Dalam tiap-tiap perjalanan atau pekerjaan
yang telah dikerjakan, Muhammadiyah senantiasa pula menghitung-hitung akan laba
dan ruginya, terutama tentang usahanya memajukan dan mempropagandakan Islam di
Indonesia ini. Kemajuan Agama Islam dan
ketinggian derajat pemeluknya, adalah menjadi pengharapan Muhammadiyah yang
sangat terutama, sebaliknya pula kemunduran dan kerusakannya itulah yang
menjadikan renungan dan rundingan di dalamnya. Sehingga tidak luput pula
Muhammadiyah memanjangkan pandangan dan pendengarannya tentang propaganda Islam
di seluruh dunia Islam”
(Syukriyanto & Mulkhan, 1985: 162).
Kyai Mas
Mansur ketika menulis tentang “Sebab-sebab
Kemunnduran Ummat Islam” dalam Adil Nomor 52/IX tahun 1941 seperti
dikutip Air Hamzah W, menunjuk empat faktor.
Keempat sebab itu ialah iman umat
yang tipis, umat yang tidak cerdas, pimpinan yang hanya pandai
gembar-gembor, dan syi’ar
agama yang kurang. Ketika menjelaskan
ciri kedua, yakni umat yang tidak cerdas, Ketua PB Muhammadiyah tersebut
menulis sebagai berikut: “Ummat kita
tiada mempunyai kecerdasan. Rata-rata ummat Islam di Indonesia berada dalam
kebodohan, mereka tidak tahu hakikat
agama. Agamanya mengajak mereka pada kemajuan, tetapi lantaran kekebalannya,
mereka sebaliknya malah mundur. Agamanya diserang oleh orang lain tidak
diinsyafinya.”. Dalam ciri kedua Dua Belas Langkah Muhammadiyah tahun 1938-1942, bahkan disebutkan
tentang pentingnya “Memperluaskan Faham Agama”
dinyatakan sebagai berikut: “Hendaklah faham agama yang
sesungguhnya itu dibentangkan dengan
arti yang sesluas-luasnya, boleh
diujikan dan diperbandingkan, sehingga
kita sekutu-sekutu Muhammadiyah mengerti perluasan Agama Islam, itulah
yang paling benar, ringan dan berguna, maka mendahulukanlah pekerjaan keagamaan
itu” (PB
Muhammadiyah Madjlis Taman Poestaka, 1939: 51).
Istilah “berkemajuan”
juga diperkenalkan dalam memberikan ciri tentang masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya. Dalam Muktamar ke-37 tahun 1968 dikupas tentang karakter
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Di antara sembilan ciri masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya, salah satu cirinya ialah “Masyarakat berkemajuan”, yang ditandai oleh: “(a) Masyarakat
Islam ialah masyarakat yang maju dan dinamis, serta dapat menjadi contoh; (b)
Masyarakat Islam membina semua sektor
kehidupan secara serempak dan teratur/terkoorrdinir; (c) Dalam pelaksanaannya
masyarakat itu mengenal pentahapan dan pembagian pekerjaan”. Dari
ciri masyarakat Islam yang berkemajuan itu jelas sekali bagaimana tujuan
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan tajdid untuk membentuk masyarakat yang dicita-citakan.
Makin kuat rujukan tentang ikon pandangan dan cita-cita Islam yang berkemajuan
Dari rujukan-rujukan tertulis maupun berdasarkan fakta langkah-langkah
Muhammadiyah yang melakukan tajdid atau pembaruan, maka dapat disimpulkan bahwa
Muhammadiyah itu memiliki paham dan mendakwahkan Islam berkemajuan.
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang melaksanakan fungsi utama dakwah dan
tajdid dapat dikatakan sebagai Gerakan
Islam Berkemajuan. Dengan demikian, jika
ditanyakan karakter ideologi Muhammadiyah, maka ideologi Muhammadiyah itu tidak
lain sebagai ideologi berkemajuan. Dalam terminologi studi Islam kontemporer
pandangan Islam yang berkemajuan disepadankan dengan “Islam
progresif”, yang
berbeda dengan pandangan Islam yang “konservatif”
maupun yang “sekuler-liberal”.
Islam yang berkemajuan mwmiliki posisi jalan-tengah (wasathiyyah) dari berbagai idelogi pemikiran dan gerakan Islam yang
serba esktrem. Jalan tengah bukankah tanpa prinsip dan kejelasan sikap, tetapi
untuk menunjukkan pandangan dan sikap keagamaan yang mendalam, luas,
menyeluruh, dan tidak terperangkap pada
ekstrimitas. Dalam pandangan keislamannya, Muhammadiyah menyeimbangkan antara
pemurnian atau peneguhan dan pengembangan atau pembaruan, sehingga berusaha
mengembangkan harmoni dan dinamika yang disertai pengayaan dalam orientasi nilai Islam berkemajuan.
PANDANGAN
KEISLAMAN
Dalam Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua hasil Muktamar ke-46
(Muktamar Satu Abad) tahun 2010 di Yogyakarta
dinyatakan secara tegas tentang “Pandangan
Islam yang Berkemajuan”. Pada bagian Agenda Abad Kedua
dinyatakan Muhammadiyah memandang bahwa Islam merupakan agama yang mengandung
nilai-nilai ajaran tentang kemajuan untuk mewujudkan peradaban umat manusia
yang utama. Kemajuan dalam pandangan Islam melekat dengan misi kekhalifahan
manusia yang sejalan dengan sunatulah kehidupan, karena itu setiap muslim baik
individual maupun kolektif berkewajiban menjadikan Islam sebagai agama kemajuan
(din al-hadlarah) dan umat Islam
sebagi pembawa misi kemajuan yang membawa rahmat bagi kehidupan.
Kemajuan
dalam pandangan Islam bersifat multiaspek baik dalam kehidupan keagamaan maupun
dalam seluruh dimensi kehidupan, yang melahirkan peradaban utama sebagai
bentuk peradaban alternatif yang unggul
secara lahiriah dan ruhaniah. Adapun da’wah
Islam sebagai upaya mewujudkan Islam dalam kehidupan diproyeksikan sebagai
jalan perubahan (transformasi) ke arah terciptanya kemajuan, kebaikan,
keadilan, kemakmuran, dan kemaslahatan
hidup umat manusia tanpa membeda-bedakan ras, suku, golongan, agama, dan
sekat-sekat sosial lainnya. Islam yang berkemajuan menghadirkan Islam dan
dakwah Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin
dimuka bumi.
Bahwa
Muhammadiyah memandang Islam merupakan agama yang mengandung nilai-nilai
kemajuan untuk mewujudkan kehidupan umat manusia yang tercerahkan. Kemajuan
dalam pandangan Islam adalah kebaikan yang serba utama, yang melahirkan
keunggulan hidup lahiriah dan ruhaniah. Adapun da’wah
dan tajdid bagi Muhammadiyah merupakan jalan perubahan untuk mewujudkan Islam
sebagai agama bagi kemajuan hidup umat manusia sepanjang zaman. Dalam perspektif Muhammadiyah, Islam
merupakan agama yang berkemajuan (din
al-hadlarah), yang kehadirannya membawa rahmat bagi semesta kehidupan.
Bahwa Islam
yang berkemajuan memancarkan pencerahan bagi kehidupan. Islam yang berkemajuan
dan melahirkan pencerahan secara teologis merupakan refleksi dari nilai-nilai
transendensi, liberasi, emansipasi, dan humanisasi yang terkandung dalam pesan
Al-Quran Surat Ali Imran 104 dan 110 yang menjadi inspirasi kelahiran
Muhammadiyah. Secara ideologis Islam yang berkemajuan untuk pencerahan
merupakan bentuk transformasi Al-Ma’un
untuk menghadirkan dakwah dan tajdid secara aktual dalam pergulatan hidup
keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal. Transformasi Islam bercorak
kemajuan dan pencerahan itu merupakan wujud dari ikhtiar meneguhkan dan
memperluas pandangan keagamaan yang bersumber pada Al-Quran dan As-Sunnah dengan mengembangkan ijtihad di tengah tantangan
kehidupan modern abad ke-21 yang sangat kompleks.
Islam
yang berkemajuan menyemaikan benih-benih kebenaran, kebaikan, kedamaian,
keadilan, kemaslahatan, kemakmuran, dan keutamaan hidup secara dinamis bagi
seluruh umat manusia. Islam yang menjunjungtinggi kemuliaan manusia baik
laki-laki maupun perempuan tanpa diksriminasi. Islam yang mengelorakan misi
antiperang, antiterorisme, antikekerasan, antipenindasan, antiketerbelakangan,
dan anti terhadap segala bentuk pengrusakan di muka bumi seperti korupsi,
penyalahgunaan kekuasaan, kejahatan kemanusiaan, eksploitasi alam, serta
berbagai kemunkaran yang menghancurkan kehidupan. Islam yang secara positif
melahirkan keutamaan yang memayungi kemajemukan suku bangsa, ras, golongan, dan
kebudayaan umat manusia di muka bumi.
Muhammadiyah
berkomitmen untuk terus mengembangkan pandangan dan misi Islam yang berkemajuan
sebagaimana spirit awal kelahirannya tahun 1912. Pandangan Islam yang
berkemajuan yang diperkenalkan oleh pendiri Muhammadiyah telah melahirkan
ideologi kemajuan, yang dikenal luas sebagai ideologi reformisme dan modernisme
Islam, yang muaranya melahirkan pencerahan bagi kehidupan. Pencerahan (tanwir) sebagai wujud dari Islam yang berkemajuan adalah jalan
Islam yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan dari segala
bentuk keterbelakangan, ketertindasan, kejumudan, dan ketidakadilan hidup umat
manusia.
Dengan
pandangan Islam yang berkemajuan dan menyebarluaskan pencerahan, maka
Muhammadiyah tidak hanya berhasil melakukan peneguhan dan pengayaan makna
tentang ajaran akidah, ibadah, dan akhlak kaum muslimin, tetapi sekaligus
melakukan pembaruan dalam mu’amalat
dunyawiyah yang membawa perkembangan hidup sepanjang kemauan ajaran Islam.
Paham Islam yang berkemajuan semakin meneguhkan perspektif tentang tajdid yang
mengandung makna pemurnian (purifikasi) dan pengembangan (dinamisasi) dalam
gerakan Muhammadiyah, yang seluruhnya berpangkal dari gerakan kembali kepada
Al-Quran dan As-Sunnah (al-ruju’ ila al-Quran wa al-Sunnah)
untuk menghadapi perkembangan zaman.
WAWASAN
KEBANGSAAN
Dalam kehidupan kebangsaan Muhammadiyah sejak awal berjuang
untuk pengintegrasian keislaman dan keindonesiaan. Bahwa Muhammadiyah dan umat
Islam merupakan bagian integral dari bangsa dan telah berkiprah dalam membangun
Indonesia sejak pergerakan kebangkitan nasional hingga era kemerdekaan.
Muhammadiyah terlibat aktif dalam peletakan dan penentuan fondasi negara-bangsa
yang berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Muhammadiyah
berkonstribusi dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa serta memelihara politik
Islam yang berwawasan kebangsaaan di tengah pertarungan berbagai ideologi
dunia. Sejak awal Muhammadiyah memiliki wawasan kebangsaan yang jelas bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945
merupakan konsensus nasional yang final dan mengikat seluruh komponen bangsa
dengan menjadikan Muhammadiyah sebagai perekat dan pemersatu bangsa, sesuai
dengan ayat Al Qur’an Surat Al
Hujurat ayat 13.
Muhammadiyah memandang bahwa proklamasi 1945 merupakan fase
baru bagi Indonesia menjadi bangsa merdeka. Dengan kemerdekaan itu bangsa
Indonesia secara berdaulat menentukan nasib dan masa depannya sendiri yang
dimanifestasikan dalam rumusan cita-cita nasional sebagaimana termaktub dalam
Pembukaan UUD 1945, yaitu terwujudnya (1) Negara Indonesia yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil, dan makmur; (2) Perikehidupan kebangsaan yang bebas;
dan (3) Pemerintahan Negara Indonesia untuk melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Cita-cita
nasional yang luhur itu merupakan pengejawantahan semangat kebangsaan dan
kemerdekaan, sekaligus sebagai nilai dan arah utama perjalanan bangsa dan
negara.
Pembentukan Negara Indonesia selain menentukan cita-cita
nasional juga untuk menegaskan kepribadian bangsa sebagaimana tercermin dalam
Pancasila. Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan perjanjian luhur dan
konsensus nasional yang mengikat seluruh bangsa. Dalam falsafah dan ideologi
negara terkandung ciri keindonesiaan yang memadukan nilai-nilai ketuhanan dan
kemanusiaan (humanisme religius). Nilai-nilai tersebut tercermin dalam hubungan
individu dan masyarakat, kerakyatan dan permusyawaratan, serta keadilan dan
kemakmuran.
Cita-cita nasional dan falsafah bangsa yang ideal itu perlu
ditransformasikan ke dalam seluruh sistem kehidupan nasional sehingga terwujud
Indonesia sebagai bangsa dan negara yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan
bermartabat di hadapan bangsa-bangsa lain. Paham nasionalisme serta segala
bentuk pemikiran dan usaha yang dikembangkan dalam membangun Indonesia haruslah
berada dalam kerangka negara-bangsa dan diproyeksikan secara dinamis untuk
terwujudnya cita-cita nasional yang luhur itu. Nasionalisme bukanlah doktrin
mati sebatas slogan cinta tanah air tetapi harus dimaknai dan difungsikan
sebagai energi positif untuk membangun Indonesia secara dinamis dan
transformasif dalam mewujudkan cita-cita nasional di tengah badai masalah dan
tantangan zaman.
Bahwa segala bentuk separatisme yang ingin memisahkan diri
dari Indonesia dan mencita-citakan bentuk negara yang lain sesungguhnya
bertentangan dengan komitmen nasional dan cita-cita proklamasi kemerdekaan.
Demikian pula setiap bentuk penyelewengan dalam mengurus negara, korupsi,
kolusi, nepotisme, penjualan aset-aset negara, pengrusakan sumberdaya alam dan
lingkungan, penindasan terhadap rakyat, otoritanisme, pelanggaran hak asasi
manusia, tunduk pada kekuasaan asing, serta berbagai tindakan yang merugikan
hajat hidup bangsa dan negara merupakan penghianatan terhadap cita-cita
kemerdekaan.
Bangsa Indonesia sesungguhnya memiliki nilai-nilai
keutamaan yang mengkristal menjadi modal sosial dan budaya penting. Di antara
nilai-nilai itu adalah daya juang, tahan menderita, mengutamakan harmoni, dan
gotong royong. Nilai-nilai keutamaan tersebut masih relevan, namun memerlukan
penyesuaian dan pengembangan sejalan dengan dinamika dan tantangan zaman.
Tantangan globalisasi yang meniscayakan orientasi kepada kualitas, persaingan
dan daya saing menuntut bangsa Indonesia memiliki karakter yang bersifat
kompetitif, dinamis, berkemajuan, dan berkeunggulan disertai ketangguhan dalam
menunjukkan jatidiri bangsa.
AGENDA STRATEGIS
Dalam buku "Indonesia Berkemajuan" (2014)
ditegaskan, bahwa Muhammadiyah
sebagai kekuatan nasional sejak awal berdirinya pada tahun 1912 telah berjuang
dalam pergerakan kemerdekaan dan melalui para tokohnya terlibat aktif mendirikan
Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Muhammadiyah memiliki komitmen dan tanggungjawab tinggi untuk memajukan
kehidupan bangsa dan negara sebagaimana dicita-citakan para pendiri bangsa.
Para tokoh Muhammadiyah seperti K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Mas Mansyur, Ki Bagus
Hadikusumo, Kahar Muzakkir, Kasman Singodimedjo, Panglima Besar Jenderal
Soedirman, Ir. Djuanda, dan pemimpin-pemimpin lainnya, telah turut-serta dalam
memperjuangkan kemerdekaan dan menjadi bagian penting yang berperan-aktif dalam
meletakkan fondasi Negara Republik Indonesia. Kiprah Muhammadiyah tersebut
melekat dengan nilai dan pandangan Islam yang berkemajuan. Pendiri Muhammadiyah
sejak awal pergerakannya senantiasa berorientasi pada sikap dan gagasan yang
berkemajuan. Sebab, Muhammadiyah sungguh-sungguh percaya bahwa Islam merupakan
agama yang mengandung nilai-nilai kemajuan. Islam adalah agama kemajuan (din al-hadlarah) yang diturunkan untuk
mewujudkan kehidupan umat manusia yang tercerahkan dan membawa rahmat bagi
semesta alam.
Muhammadiyah,
dengan pandangannya mengenai Islam sebagai agama kemajuan, senantiasa berusaha
untuk mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan. Oleh karena
itu, Muhammadiyah dan umat Islam merupakan bagian integral dari bangsa ini.
Dalam hal ini, tidak ada bukti yang lebih kuat daripada peran historis mereka
di dalam membangun Indonesia sejak periode pergerakan kebangkitan nasional
hingga masa kemerdekaan. Melalui keterlibatan tokohnya seperti Ki Bagus
Hadikusumo, Muhammadiyah mengambil peran sangat menentukan dalam perumusan
final sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Muhammadiyah telah
dan akan terus memberikan sumbangan besar di dalam upaya-upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa serta mengembangkan politik Islam yang berwawasan kebangsaaan
di tengah pertarungan berbagai ideologi dunia. Muhammadiyah memiliki wawasan
kebangsaan yang tegas, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara
Pancasila yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 merupakan konsensus
nasional (dar al-‘ahdi) yang mengikat seluruh komponen bangsa sekaligus bukti
sebagai kekuatan perekat, pemersatu, dan pembangun bangsa (dar al-syahadah). Pandangan dan sikap kebangsaan ini sejalan dengan wawasan kemanusiaan
universal sesuai dengan pesan Allah dalam Al Qur’an Surat Al-Hujarat/ 49: 13. Wawasan kebangsaan
dan kemanusiaan tersebut juga sejalan dengan misi dakwah Muhammadiyah
sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran Surat Ali Imran 104 yang menjadi salah
satu inspirasi lahirnya Muhammadiyah, yang artinya "Dan hendaklah ada di
antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
ma´ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang
yang beruntung." (QS Ali Imran/3:
104).
Sementata itu, dalam "Pernyataan Pikiran Muhammadiyah
Abad Kedua" disebutkan, bahwa dalam kehidupan kebangsaan Muhammadiyah
mengagendakan revitalisasi visi dan karakter bangsa, serta semakin mendorong
gerakan mencerdaskan kehidupan bangsa yang lebih luas sebagaimana cita-cita kemerdekaan.
Dalam menghadapi berbagai persaingan peradaban yang tinggi dengan bangsa-bangsa
lain dan demi masa depan Indonesia yang lebih maju maka diperlukan transformasi
mentalitas bangsa ke arah pembentukan manusia Indonesia yang berkarakter kuat.
Manusia yang berkarakter kuat dicirikan oleh kapsitas mental yang membedakan
dari orang lain seperti keterpercayaan, ketulusan, kejujuran, keberanian,
ketegasan, ketegaran, kuat dalam memegang prinsip, dan sifat-sifat khusus
lainnya yang melekat dalam dirinya. Sementara nilai-nilai kebangsaan lainnya
yang harus terus dikembangkan adalah nilai-nilai spiritualitas, solidaritas,
kedisiplinan, kemandirian, kemajuan, dan keunggulan.
Muhammadiyah dalam mengaktualisasikan Islam untuk
mewujudkan Indonesia berkemajuan meniscayakan agenda relonstruksi kehidupan
kebangsaan menuju perikehidupan yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan
berdaulat sebagaiamana cita-cita kemerdekaan tahun 1945. Rekonstruksi kehidupan
kebangsaan yang lebih bermakna menuju Indonesia Berkemajuan mensyaratkan agama
yang menyatu dalam kehidupan dan kebudayaan bangsa Indonesia difungsikan
sebagai sumber nilai utama yang memberi inspirasi, motivasi, kreasi,
humanisasi, emansipasi, liberasi, dan transendensi dalam membangun keadaban
bangsa, yang melahirkan karakter kepribadian utama dan berbeda dengan
bangsa-bangsa lain. Dalam rekonstruksi nasional itu diperlukan proses
transformasi pendidikan sebagai strategi kebudayaan yang benar-benar
mencerdaskan kehidupan bangsa secara utuh dan menyeluruh disertai penciptan
lingkungan strategis yang berwujud kepemimpinan profetik, good governance, dan trust
atau kepercayaan sebagai modal ruhaniah menuju Indonesia Berkemajuan. Dengan
rekonstruksi kehidupan kebangsaan menuju Indonesia Berkemajuan maka bangsa ini
benar-benar memiliki rancang-bangun masa depan yang lahir dari kekuatan
ruhaniah dan kecerdasan diri yang utama sebagaimana pesan Allah SWT dalam Kitab
Suci Al-Quran, yang artinya: "Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan." (QS Al-Hasyr/59: 18).
PENUTUP
Muhammadiyah
dengan pandangan Islam yang berkemajuan telah dan teus berusaha berkiprah
mencerahkan umat dan bangsa. Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan
Presiden Nomor 657 tanggal 27 Desember
1961 menganugerahi Kyai Haji Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Nasional atas kiprah
yang bersejarah yakni: (1) KHA Dahlan telah memelopori kebangunan umat
Islam Indonesia untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih
harus belajar dan berbuat; (2) Dengan
organisasi Muhammadiyah yang didirikannya telah memberikan ajaran Islam yang
murni kepada bangsanya; Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan dan beramal
bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam; (3) Dengan organisasinya Muhammadiyah telah
memelopori amal-usaha sosial dan
pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangunan dan kemajuan bangsa, dengan
jiwa ajaran Islam; dan (4) Dengan
organisasinya Muhammadiyah bagian Wanita atau Aisyiyah telah memelopori
kebangunan wanita bangsa Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi
sosial, setingkat dengan kaum pria (Djarnawi,
t.t).
Penghargaan
pemerintah tersebut merupakan bentuk pengakuan yang objektif terhadap
usaha-usaha Muhammadiyah, yang sejak awal kelahirannya bekerja keras untuk
memajukan kehidupan umat dan bangsa tanpa pamrih. Karena itu kalau kemudian
pemerintah dari pusat sampai bawah memberikan penghargaan, membantu, dan
mendukung usaha-usaha Muhammadiyah maka semuanya itu merupakan hal yang wajar
dan semuanya akan kembali kepada umat dan bangsa, bukan untuk Muhammadiyah.
Pemerintah bahkan berkewajiban mendukung, membantu, dan berperan dalam memfasilitasi
gerakan-gerakan kemasyarakatan yang dilakukan Muhammadiyah dan kekuatan
masyarakat madani lainnya, karena sejatinya Muhammadiyah telah meringankan
beban pemerintah untuk sebesar-besarnya mencerdaskan, memajukan, dan
memakmurkan kehidupan bangsa sebagai kewajiban yang utama. Sebaliknya manakala
ada yang tidak mendukung atau menghambat langkah Muhammadiyah tentu karena
subjektivitas dan tidak paham sejarah dan kiprah Muhammadiyah.
Muhammadiyah
dengan pandangan Islam berkemajuan tidak akan pernah berhenti menyinari negeri
dan semesta kehidupan. Kemajuan senantiasa menyertai dan menjadi napas gerakan
Muhammadiyah sepanjang perjalanan gerakannya. Segenap anggota, kader, dan elite
pimpinan Muhammadiyah di seluruh tingkatan dan lingkungan berupaya secara kolektif
dan terorganisasi terus bekerja mewujudkan
pandangan Islam berkemajuan dalam seluruh usaha-usaha gerakan. Bersama
gerakan Islam lainnya tentu Muhammadiyah berazam agar umat Islam di negeri ini
makin tumbuh dan berkembang sebagai golongan yang unggul atau khayra ummah yang menjadi uswah hasanah
dalam membangun peradaban berkemajuan yang memancarkan rahmatan lil-'alamin
bagi lingkungan semesta di bawah naungan dan anugerah Allah SWT.
(Tulisan ini disampaikan dalam Seminar Nasional Fakultas Ushuluddin UIN dengan Tema "Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan untuk Indonesia" di CH UIN Sunan Kalijaga, pada 6 Oktober 2015)
Komentar
Posting Komentar