Oleh : Prof. Dr. Syamsul Anwar MA.
Saya sudah sering menyampaikan bahwa penyatuan kalender Hijriah adalah
suatu kemestian. Yang perlu dipikirkan adalah dasar filisofi penyatuan
itu. Dasar penyatuan tersebut dapat dirujukkan kepada fungsi kalender
Hijriah, yaitu (1) fungsi sivil, dan (2) fungsi relijius.
Fungsi sivil sudah hampir seluruhnya diambil alih oleh kalender Masehi
yang terlihat dalam kenyataan bahwa kita dalam kehidupan sehari-hari
menggunakan kalender Masehi untuk berbagai tujuan: menjadwal kegiatan,
membuat rencana, mencatat kelahiran anak atau cucu, kesanggupan membayar
hutang, dan sebagainya. Sekarang tinggal fungsi relijiusnya, yaitu menata waktu-waktu ibadah.
Salah satu bentuk ibadah Islam adalah suatu ibadah yang dilaksanakan di
suatu tempat tertentu di muka bumi (seperti di Indonesia), tetapi
waktunya terkait dengan peristiwa di tempat lain. Ibadah itu adalah
puasa Arafah yang dikerjakan di mana pun di dunia termasuk di Indonesia,
tetapi waktunya adalah pada hari terjadinya wukuf di Arafah, Mekah.
Oleh karena itu penyatuan kalender Islam harus berlandaskan dasar
pemikiran menyatukan jatuhnya hari Arafah antara berbagai tempat
(termasuk Indonesia) dengan Mekah. Ini berarti kriteria kalender itu
harus bersifat lintas kawasan. Dengan kata lain kita harus merumuskan
suatu kalender Hijriah yang bersifat global (internasional).
Kita harus meluaskan wawasan kita dan berfikir secara global karena
Islam telah berabad-abad menjalani proses globalisasi dengan umatnya
tersebar di seluruh pelosok muka bumi bahkan sampai di pulau-pulau
terpencil di Samudera Pasifik. Hindari berfikir sempit yang hanya
berfikir merumuskan kalender berdasarkan kriteria yang bertitik tolak
dari titik yang amat terbatas di tempat tertentu.
Itu adalah cara berfikir 1401 tahun lalu, ketika Kuraib dan Ibnu Abbas
pada tahun 35 H berdebat tentang apakah penetapan awal bulan itu satu
untuk semua atau bersifat lokal, masing-masing tempat membuat penetapan
sendiri. Ibnu Abbas menetapkan masing-masing tempat sesuai dengan
rukyatnya.
Kita di zaman modern dapat memahami fatwa Ibnu Abbas itu karena mereka
hidup di lingkungan yang belum mengenal bagaimana gerak peredaran
benda-benda langit, bagaimana tampakan kurve rukyat di atas muka bumi
pada visibilitas pertama, bagaimana menghitung pergerakan bulan itu
sendiri, bagaimana peluang muka bumi untuk dapat merukyat, dan banyak
lagi aspek lain.
Mari cara berfikir ini kita tinggalkan dan mari kita berfikir secara
lebih luas dengan dasar pertimbangan utama bagaimana menyatukan jatuhnya
hari-hari ibadah kita tepat pada momen seharusnya seperti jatuhnya hari
Arafah. Jangan kita membuatkan untuk masyarakat penetapan kalender yang
menyebabkan ibadah kita tidak dapat dilaksanakan tepat pada momen
seharusnya seperti puasa hari Arafah yang jatuh berbeda dengan Mekah.
Di Indonesia belum ada satu kalender pun yang dasar perumusannya
mempertimbangkan kriteria yang bersifat lintas kawasan (bersifat
global). Oleh karena itu sering terjadi perbedaan dalam jatuhnya hari
Arafah. Termasuk kalender Muhammadiyah yang masih bersifat lokal. Namun
kalender ini adalah kalender yang ada di Indonesia yang paling mendekati
kriteria bersifat global dan karenanya kalender ini lebih banyak sesuai
jatuhnya hari Arafah dengan Mekah seperti tahun lalu dan mungkin tahun
ini juga. Muhammadiyah tampaknya menyadari ini, oleh karena itu dalam
Muktamar 47 baru lalu, telah diputuskan bergerak ke arah perwujudan
kalender Hijriah global.
Kita memang harus menyadari bahwa negeri kita Indonesia ini termasuk
kawasan yang terletak jauh di zona waktu timur di mana peluang rukyat
semakin kecil. Sehingga menuntut terjadinya rukyat fikliah di sini akan
membawa kepada kekacauan waktu ibadah. Semakin titik acu digeser ke
timur semakin peluang terjadinya perbedaan hari Arafah membesar. Begitu
pula semakin tinggi parameter irtifak (ketinggian) bulan yang dituntut
untuk mencapai imkanu rukyat, semakin terbuka lebar peluang berbedanya
hari Arafah.
Kalender Muhammadiyah yang nol derajat saja, meskipun merupakan
kalender yang paling dekat dengan kriteria global, masih saja akan
menyisakan kemungkinan perbedaan itu walaupun akan lebih sedikit.
Apalagi kriteria 2 derajat, dan jangan tanya kriteria 4 atau 6 derajat
dan seterusnya. Perbedaannya akan semakin menganga.
Ada yang berfikir “kenapa susah-susah mau membuat kalender global, pada
hal menyatukan dalam negeri saja yang ada di bawah batang hidung belum
mampu; jangan berfikir yang muluk-muluk.” Dalam kata pengantar saya
terhadap buku Kalender Kamariah Islam Unifikatif, saya menegaskan ini
cara berfikir yang tidak tepat.
Pembuatan kalender global itu pelaksanaannya tidak tergantung kepada
otoritas bangsa lain. Kalau kita sendiri bangsa Indonesia menerimanya
secara keseluruhan, maka kita akan bersatu dalam penetapan jatuhnya
hari-hari ibadah kita dalam negeri, seperti yang semua kita
menginginkannya. Sama dengan kalender 0, 2, 4, atau 6 derajat, apabila
kita semua menerimanya kita bersatu dalam negeri kita.
Tetapi ada dua keunggulan lain kalender global yang tidak dimiliki oleh
kalender lokal. Pertama, dengan kalender global kita bergerak dalam
arah penyatuan hari Arafah yang merupakan hari ibadah. Kedua, kita
mempunyai tawaran yang bisa diajukan ke masyarakat dunia dan kalau
konsep kita meyakinkan tentu ada peluang untuk diterima.
Sementara kalender lokal apabila kita terima kita bersatu, sama seperti
kalender global apabila kita terima kita bersatu. Tetapi kalender lokal
tidak punya peluang menyatukan jatuhnya hari Arafah pada tahun-tahun
tertentu, dan tidak punya bahan untuk ditawarkan ke dunia luar. Dan
karenanya tidak punya kontribusi terhadap peradaban Islam yang mengalami
kepiluan hati karena tidak adanya kalender unifikatif karena umatnya
berfikir parsial dan lokal.
Kita juga harus mempertimbangkan pendapat para pakar astronomi dan
syariah kontemporer yang menegaskan bahwa kita tidak mungkin lagi
mempertahankan rukyat untuk penentuan sistem waktu Islam. Karena rukyat
itu terbatas tampakannya di muka bumi dan tidak mengkaver seluruh
kawasan dunia yang menyebabkan terjadinya perbedaan tanggal. Raibnya
kalender unifikatif Islam selama 14 abad hingga kini adalah karena umat
Islam begitu kokoh mempertahankan rukyat. Kenyataan ini mamang berat dan
pahit untuk diterima. Tetapi kita harus berani melakukan revolusi
mental untuk bergerak ke cara lain yang mampu mewujudkan kalender Islam
unifikatif dan menjatuhkan hari Arafah sama dengan Mekah.
Ada sejumlah kalender hijriah yang sudah dirumuskan kaidahnya dan kita
dapat memilih salah satu setelah dikaji. Atau bisa membuat alternatif
lain. Yang penting syarat validitas kalender Islam dipenuhi. Kalender
yang ada itu meskipun kaidahnya (kriterianya) berbeda, namun apabila
diterapkan hasilnya relatif sama. Perbedaannya dalam penerapan amat
kecil. Asasnya dapat dipilih yang paling memenuhi validitas kalender
Islam dan yang kriterianya paling simpel.
*tulisan ini pernah dimuat di web.muhammadiyah.or.id dengan judul Dasar Pijak Penyatuan Kalender Hijriah
Komentar
Posting Komentar