Langsung ke konten utama

Identitas Agama (Review Makna Hadis Tentang Tasyabbuh)




Tasyabbuh (التشبه) secara bahasa adalah شبه الشيء الشيء: ماثله   yang berarti “menyerupai” sesuatu terhadap sesuatu atau saling menyerupai. Kata-kata تشبه بقوم  berarti menyerupai suatu kaum atau serupa dan selaras dengan kaum tersebut dalam hal atau perbuatan yang menyimpang. التشبه “perumpamaan”, sebagian ulama mengartikan kata tersebut sebagai “bertemunya satu perkara dengan perkara lain karena sifat yang mempunyai bagian antar keduanya”. Seperti menyerupainya seorang laki-laki dengan macan dalam hal keberanian. Kata tasyabbuh sendiri adalah mashdar dari kata kerja tasyabbaha (تشبه) yang bermakna salah satu asal yang menunjukkan penyerupaan sesuatu, kesamaan, warna, dan sifat. Tasyabbuh memiliki arti menyerupai atau mencontoh. Adapun secara terminologi, kata tasyabbuh menurut Imam Muhammad al-Ghazi al-Syafii didefinisikan sebagai sebuah usaha seseorang untuk meniru sosok yang dikaguminya baik itu dari tingkah lakunya, penampilannya, atau bahkan hingga sifat-sifatnya. Usaha tersebut merupakan sebuah praktek yang benar-benar disengaja untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat beragam hadis yang berbicara tentang hal ihwal tasyabbuh dalam beragam aspek, salah satunya ialah hadis riwayat Abu Dawud yang artinya "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa bertasyabuh dengan suatu kaum, maka ia bagian dari mereka."
Dewasa ini, tepatnya pada era revolusi industry 4.0, masyarakat telah mengalami modernisasi. Tren kekinian serta kecanggihan teknologi telah merubah gaya hidup masyarakat. Akses komunikasi pada saat ini sudah semakin mudah dengan adanya gadget dan internet. Dengan whatsapp dan aplikasi lainnya, manusia sudah bisa saling berkomunikasi dari belahan dunia yang berjauhan. Majunya peradaban juga merubah mode penampilan yang semakin praktis dan efisien. Jika mengimplementasikan hadis tasyabuh dalam konteks kekinian, maka akan sangat sulit dengan segala perubahan peradaban yang sangat berbeda. Ajaran Islam juga sudah menyebar ke penjuru dunia yang memiliki tradisi dan budaya masing-masing. Maka nilai-nilai tasyabbuh dari mode berpakaian serta penanda umat islam sudah semakin sulit, karena pada saat ini sebagian besar orang dari berbagai agama menggunakan gaya berpakaian yang hampir sama. Hampir sulit membedakan label agama pada personal kecuali diselidiki secara langsung. Mode tren berpakaian serta kecanggihan teknologi merupakan buah hasil ilmu pengetahuan yang semuanya berasal dari Allah swt. Maka salah satu label keimanan yang melekat adalah berdasarkan ceremonial serta ritus-ritus keagamaan tertentu. Umat islam dapat dibedakan dengan umat lainnya berdasarkan shalatnya, melaksanakan hari raya idul fitri, dan lain sebagainya, begitu juga agama lain. Jika label agama difokuskan pada cara berpakaian bangsa arab dengan menggunakan gamis, maka bagi masyarakat saat ini dengan mata pencaharian serta aktivitas yang berbeda akan kesulitan, seperti petani, nelayan, ataupun pekerjaan yang membutuhkan efisiensi serta fleksibilitas dalam aktivitasnya, tentu ini akan memberatkan. Oleh karenanya, penyerupaan dapat diyakini pada saat ini dalam ranah ritual dan seremonial, seorang muslim dilarang untuk mengamini keyakinan agama lain, namun bukan berarti menghilangkan penghormatan serta hak mereka sebagai manusia serta warga negara. Seorang muslim meski berlandaskan pada aqidahnya tanpa memasukan keyakinan asing (agama) dalam keimanannyaa, terlebih lagi melakukan sinkretisasi keyakinan. Maka diluar ranah aqidah seperti mode berpakaian, ilmu pengetahuan, serta hal lainnya tidak termasuk dalam kategori tasyabbuh ini.
Terkait dengan hadis penyerupaan lawan jenis, hadis ini dikeluarkan dalam menanggapi kebiasaan beberapa orang Arab pra Islam, dimana status dan derajat perempuan sangat rendah sehingga seringkali terjadi ketidak adilan dan penindasan terhadap perempuan. Dikuburnya bayi perempuan hidup-hidup, tersisihkannya perempuan dalam rumah tangga, serta tradisi masyarakat arab pra-islam yang masih suka berperang dan kekerasan menuntut kehidupan yang keras bagi perempuan. Untuk bertahan hidup, perempuan ada kalanya menyamar jadi lelaki, begitu juga sebaliknya walaupun dengan konsekuensi jika ketahuan maka akan sangat dipermalukan. Setelah islam datang, derajat perempuan pun dinaikan. Hal ini menjadikan perempuan tidak perlu lagi diperlakukan tidak adil dan ditindas sehingga tidak perlu lagi menyamar jadi lawan jenis, karena dikhawatirkan melakukan maksiat. Seiring dengan dinamika perkembangan agama Islam, kini derajat lelaki dan perempuan sudah semakin setara. Lelaki dan perempuan memiliki hak untuk hidup, menerima pendidikan, serta pekerjaan yang sama. Ditambah lagi perlindungan pemerintah serta ham, maka penyerupaan lawan jenis sudah tidak diperlukan lagi. Permasalahan pada saat ini pada masyarakat adalah kelainan orientasi gender, dimana kelakuan laki-laki seperti perempuan, begitu juga sebaliknya. Maka hal ini perlu penjelasan dari cendekiawan muslim kontemporer mengenai hukumnya. Ditambah lagi sedang maraknya kelompok lgbt, dimana kelainan orientasi seksual serta suka sesama jenis tergabung didalamnya. Menurut kacamata Islam, baik dari al-Quran maupun hadis hal ini tentu saja menyalahi fitrah manusia, manusia sudah diciptakan saling berpasang-pasangan serta diberikan seksualitas yang dzahir. Maka menyalahi hal ini merupakan penyimpangan kodrat manusia, apalagi hingga berganti kelamin. Maka gaya hidup seperti ini yang dapat diimplementasikan dari larangan hadis yang dibahas.
Dalam tataran mode berpakaian, banyak sekali masyarakat bahkan dari kalangan muslim menggunakan mode berpakaian ala lawan jenis. Hal ini dapat dilihat dari para aktor yang seringkali menuntut mereka berperan sebagai lawan jenis, ataupun para pengamen jalanan yang menyamar sebagai perempuan guna mengundang daya tarik. Untuk menerapkan hadis tasyabuh dengan lawan jenis, maka perlu diperjelas seperti apa gaya hidup dan mode penampilan baik laki-laki dan perempuan, serta aspek mana sajakah yang dilarang dan dibolehkan serta dalam konteks apa hal tersebut dibolehkan atau dilarang. Ulama kontemporer belum mendapat kesepakatan dalam menghukumi hal ini. Namun bagi penyerupaan lawan jenis dalam maksud memikat daya tarik orang lain ataupun mengundang hal-hal maksiat, maka hal ini jelas dilarang. Ringkasnya, terdapat beberapa contoh dari tasyabbuh yang dilarang dalam Islam, diantaranya adalah: Pertama, tasyabbuh terhadap lawan jenis. Yakni penyerupaan laki-laki terhadap perempuan, ataupun sebaliknya. Penyerupaan itu bisa dalam bentuk bicara, gerakan, cara berjalan, pakaian, dan lain sebagainya. Kedua, tasyabbuh dalam hal pakaian. Yakni pakaian yang khusus bagi perempuan, tidak boleh dipakai oleh kaum laki-laki. Demikian juga pakaian yang khusus bagi laki-laki, maka tidak boleh dipakai oleh perempuan. Adapun jenis pakaian yang memang biasa digunakan untuk laki-laki dan perempuan, maka tidak mengapa mereka menggunakannya. Ketiga, terdapat hadis tentang mencukur kumis dan jenggot yang merupakan pesan Nabi Muhammad untuk menghindari tasyabbuh antara muslim dan non-muslim. Bisa jadi, dalam konteks kekinian hal tersebut dapat relevan ataupun tidak, sesuai dengan kondisi geografis, genetis (tidak seluruh laki-laki dapat tumbuh kumis dan jenggot), dan faktor-faktor lainnya. Karena kandungan petunjuk hadis ada yang bersifat universal, disamping ada juga yang bersifat temporal dan lokal. Jadi, makna implisit (goyah universal) dari hadis tersebut adalah sebagai identitas muslim terhadap non-muslim (ada perbedaan, dan tidak tasyabbuh). Sedangkan makna eksplisit (legal-formal) adalah jenggot dan kumis merupakan simbol agama.
Tasyabbuh dengan orang kafir dalam hal aqidah dan ibadah, serta tasyabbuh dengan lawan jenis (dalam hal-hal tertentu) ialah tidak diperbolehkan. Seorang muslim tentu memiliki identitas (landasan pada aqidahnya) tanpa memasukan keyakinan asing (agama) dalam keimanannya. Maka, di luar ranah yang mengarah kepada aqidah dan ibadah, tidak termasuk dalam kategori tasyabbuh yang dilarang. Seperti memakai pakaian untuk kenyamanan pekerja, teknologi, ilmu pengetahuan, serta beragam hal lainnya (sesuai syariat atau ketentuan yang diperbolehkan agama Islam). Wallahu a’lam bisshawab..
 Oleh: Arina dkk

            Referensi:
            Ali,  Muhammad. 2015. Asbabul Wurud Al-Hadits, Dalam Tahdis Vol. 6, No. 2.
Asqalani, Ibnu Hajar al-. 2008. Fathul Bari, Jilid 25, terj. Jakarta: Pustaka Azzam.
Bukhari, Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al-. Shahih Bukhari. Juz 7. Dar Thauqun Najah.
Faris, Ahmad. 1441 H. Mu’jam Maqayis al-Lughah, Jilid 3. Beirut: Dar al-Jayl.
Hamid, Abdullah bin Abdul dkk. 2004. Jenggot Yes, Isbal No. Yogyakarta: Media Hidayah
Luwaihiq, Jamil bin Habib al-. 1417 H. At-Tasyabbuh al-Manhi ‘Anhu fi al-Fiqh al-Islami. Makkah: Jami’ah Umm al-Qura.
Mandzur, Ibnu. 1999. Lisan al-‘Arabi, Jilid 5. Beirut: Dar as-Shadir.
Munawi, Muhammad ‘Abd Ra’uf al-. 1480. Faid al-Qadir Syarh Jami’ al-Saghir. Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Nisaburi, Muslim bin Hijaj Abu al-Hasan al-Qusyairi An-. Shahih Muslim, Juz 1. Beirut: Dar al-Ihya’ at-Turats al-Arabi.
Qunaybi, Muhammad Rawwas Qa’ah Ji dan Hamid Shadiq. 1998. Mu’jam Lughah al-Fuqaha. Beirut: Dar al-Nafa’is.
Rifngati, Endang. 2015. Pemahaman Hdis Tentang Dilarangnya Tasyabbuh dengan Non Muslim (Telaah Ma’anil Hadis dengan Pendekatan Sosio Historis). Dalam Skripsi Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Tulungagung.
Sabiq ,As-Sayyid As-. Fiqh Sunnah, Juz 2. Maktabah Al-Ashriyah
Shobuni, Ali Ash-. Rowai’ul Bayan Tafsir Ayati Al-Quran, Juz 1. Dar Al-Kutub Al-Islamiyah.
Syaibani, Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal al-. 2001. Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, Juz 14,tahqiq: Syu’aib al-Arnauth, dkk .Turki: Muassasah al-Risalah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjaga Keturunan Sebagai Upaya Perlindungan (Hifdzu Nasl)

Oleh: Immawan Muhammad Asro Al Aziz Keturunan ( nasl ) merupakan serangkaian karakteristik seseorang yang diwariskan orang tua kepada anak, atau segala potensi, baik fisik maupun psikis yang dimiliki seseorang dari orang tua melalui gen-gen. Keturunan juga merupakan faktor utama yang mempengaruhi perkembangan individu. Perhatian Islam terhadap keturunan dapat dilihat dari sejarahnya yang membuktikan bahwa merupakan hal yang sangat penting dalam, sehingga terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang secara spesifik berbicara tentang penjagaan keturunan. Misalnya pada QS. al-Ahzab: 4-5 yang memberi tuntunan tentang proses pemberian nasab terhadap anak kandung dan anak angkat. Karena, perhatian terhadap keturunan juga berimplikasi terhadap hak pemberian nafkah, pewarisan harta, pengharaman nikah, dan lain-lain. Islam memberikan perhatian yang besar terhadap keturunan untuk mengukuhkan aturan dalam keluarga yang bertujuan untuk mengayominya melalui perbaikan serta menjamin kehidupannya

Implementasi Strategi Inovasi Produk Perspektif Al-Qur'an

A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk individual juga sebagai makhluk ekonomi. Banyak kebutuhan yang di perlukan oleh setiap manusia menjadikan ekonomi sebagai suatu ilmu untuk memenuhi keberlangsungan hidup seseorang. Hal bisa itu terjadi karena perubahan lingkungan yang fundamental merupakan daya dorong (driving forces) perubahan perekonomian dan bisnis. Perubahan dalam semua aspek kehidupan harus direspons sesuai dengan tingkat kebutuhan dan kemanfaatan bisnis. Di sisi lain, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan perusahaan beroperasi di tingkat lokal, regional dan global, tanpa harus membangun system bisnis di tempat perusahaan tersebut beroperasi. Proses informasi dan komunikasi memperluas kemungkinan operasi jaringan perusahaan.  Disebutkan bahwa Koperasi di Jawa Tengah mengalami perkembangan jumlah koperasi aktif 22.674 (81,37%), tetapi tidak disertai dengan berkurangnya jumlah koperasi tidak aktif di Jawa Tengah dengan jumlah 5.19

Strategi Dakwah Ala Rasulullah

Oleh: Immawati Afifatur Rasyidah Islam merupakan agama perdamaian yang dianugrahkan oleh Allah swt dan perlu dijaga eksistensinya. Sebagai kader umat dan pewaris tampuk pimpinan umat kelak, sejatinya dewasa ini para generasi muda dilatih agar dapat menghadapi tantangan dan menjaga agama Islam ini. Berbagai kontroversi terjadi, agama dimonsterisasi, ulama didiskriminalisasi, umat dicurigai, dakwah dianggap provokasi, bahkan kebaikan pun dianggap radikalisasi. Salah satu   maqashidu syariah dalam agama Islam ialah hifdzu al-din (menjaga agama). Penjagaan terhadap agama dapat diimplementasikan dengan berbagai hal, salah satunya adalah dengan dakwah. Penyebaran dakwah tentu tak terlepas dengan metode atau manhaj atau thariqah. At-Thariqat Ahammu Min Al-Maddah, metode itu jauh lebih penting daripada materi. Ia merupakan sebuah seni (estetika) dalam proses penyampaian dakwah. Secara leksikal, metode ialah the way of doing. Sebaik-baik kualitas materi yang disampaikan dalam pembelajaran