Buku : Menyoal Status Agama-Agama pra-Islam: Kajian Tafsir Al-Qur`an atas Keabsahan Agama Yahudi dan N
asrani setelah Kedatangan Islam.
Penulis : Dr. Sa`dullah Affandy
Penerbit : Mizan Pustaka
ISBN : 978-979-433-877-3
Peresensi : Khoirum Majid
Al-Qur`an merupakan kitab suci bagi kaum muslim, ayat-ayatnya menjadi acuan bagi kehidupan. Kandungannya digali dari zaman klasik hingga kontemporer seakan-akan tak pernah habis dan memang begitu adanya. Keindahan bahasa tak diragukan lagi sampai dikatakan oleh Amin Al-Khuli sebagai “kitab sastra yang agung”. Meski begitu, Al-Qur`an bukanlah karya sastra. Al-Qur`an banyak dikaji sehingga memunculkan banyak gagasan baru, dan menciptakan keilmuan tersendiri.
Salah satu bagian kecil dari keilmuan Al-Qur`an adalah naskh-mansukh / abrogasi. Secara umum naskh-mansukh merupaka kajian Al-Quran yang membahas tentang penghapusan/pembatalan ayat yang dianggap bertentangan. Naskh-mansukh atau sebut saja Abrogasi ada dua macam, yaitu abrogasi intra-qur'anik dan ekstra-qur'anik. Adanya Abrogasi intra-qur`anik oleh ulama yang pro terhadapnya didasarkan oleh firman Allah surat Al-Baqarah: 106, surat An-Nahl: 10 dan surat Ar-Ra`d: 39. Sedangkan abrogasi ekstra-quranik didasarkan bahwa datangnya syari'at Muhammad secara langsung menghapus syariat sebelumnya. Kedua jenis Abrogasi ini para ulama ada yang pro dan kontra. Untuk Abrogasi intra-qur`anik banyak didukung oleh ulama klasik seperti al-Suyuti, ibnu Katsir, at-Tabari dan juga Syaik Nawawi al-Bantani. Sedangkan yang menolak adanya abrogasi dalam Al-Qur`an adalah al-Isfahani dengan toelogi mu`tazilahnya, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Para Ulama pro Abrogasi intra-qur`an sendiri tidak ada kesepakatan tentang berapa banyak ayat yang dihapus. Pendapat berapa banyaknya ayat yang dihapus pada dasarnya tergantung pada kemampuannya dalam mencari pemecahan ayat-ayat yang terkesan bertentangan. Selain itu tidak ada hadis shahih dan muttawatir yang menerangkan mana saja ayat yang terabrogasi. Ini akan menjadi tanda tanya besar ketika kemampuan akal menjadi tolak ukur pengabrogasian Al-Qura`n, padahal Al-Qur`an telah sempurna dengan ditutup peluang turunnya wahyu Qur`ani pasca wafatnya Nabi SAW.
Dilain sisi Hasbi Ash-Shiddiqi yang kontra abrogasi Al-qur`an beralasan bahwa pertama, tidak ada satu ayat Al-Qur`an pun yang mengatakan kemansukhan suatu ayat. Kedua, hadis-hadis tentang naskh tidak memenuhi kriteria kesahihan sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Ketiga, tidak ada kesepakatan para ulama mengenai kemansukhan suatu ayat. Keempat, kemansukhan suatu ayat batal ketika pertentangan lahiriah antara ayat-ayat yang dianggap mansukh dengan ayat-ayat naskh sudah dihilangkan. Kelima, tidak ada hikmah dengan adanya ayat-ayat yang bisa di naskh.(hlm 92)
Beralih kepada Abrogasi ekstra-quranik yang lebih kontroversial. Penghapusan syari'at Nabi terdahulu tidak berlaku setelah datangnya syari'at baru. Terutama kaum muslim sebagai penerima risalah ketuhanan terakhir dibandigkan dengan yahudi dan nasrani. Mayoritas muslim memahami bahwa risalah yang diemban oleh Nabi Muhammad telah menggantikan risalah Nabi sebelumnya. Salah satu ayat yang menjadi dasar abrogasi Agama adalah surat Ali-Imran: 85. Sebenarnya kasus Abrogasi Agama ini tidak hanya terjadi dikalangan muslim saja. Di kubu kristen dan yahudi juga terjadi polemik yang sama dimana perjanjian lama telah diganti oleh perjanjian baru.
Padahal sejatinya Al-qur`an mengakui eksistensi agama sebelumnya –dengan mengesampingkan adanya perubahan teks kitab taurat dan injil- sebagaimana surat Al-Baqarah: 62. Menurut Rasyid Ridha ayat ini mnjelaskan bahwa agama-agama selain islam akan mendapatkan balasan surga di akhirat kelak dengan catatan memenuhi tiga unsur, yaitu beriman kepada Allah, percaya hari akhirat dan konsisten dengan kesalehan.
Islam sendiri yang kita istilahkan sebagai agama merupakan syariat terakhir yang diturunkan kepada Muhammad sebagai kelanjutan syari'at-syari'at sebelumnya. Pada sejatinya nabi-nabi terdahulu satu-kesatuan beragama islam sebagaimana kita saat ini. Para nabi mengemban syari'at masing-masing, begitupula dengan islam. Adapun syari'at Muhammad selain ada yang baru, telah mengadopsi syariat terdahulu seperti puasa dan sholat meski secara jumlahnya ada perbedaan. Oleh karena itu Muhammad menjadi pelengkap yang mengemban syari'at Ilahi, bukan sebagai pengganti atau penghapus syariat sebelumya.
Penulis : Dr. Sa`dullah Affandy
Penerbit : Mizan Pustaka
ISBN : 978-979-433-877-3
Peresensi : Khoirum Majid
Al-Qur`an merupakan kitab suci bagi kaum muslim, ayat-ayatnya menjadi acuan bagi kehidupan. Kandungannya digali dari zaman klasik hingga kontemporer seakan-akan tak pernah habis dan memang begitu adanya. Keindahan bahasa tak diragukan lagi sampai dikatakan oleh Amin Al-Khuli sebagai “kitab sastra yang agung”. Meski begitu, Al-Qur`an bukanlah karya sastra. Al-Qur`an banyak dikaji sehingga memunculkan banyak gagasan baru, dan menciptakan keilmuan tersendiri.
Salah satu bagian kecil dari keilmuan Al-Qur`an adalah naskh-mansukh / abrogasi. Secara umum naskh-mansukh merupaka kajian Al-Quran yang membahas tentang penghapusan/pembatalan ayat yang dianggap bertentangan. Naskh-mansukh atau sebut saja Abrogasi ada dua macam, yaitu abrogasi intra-qur'anik dan ekstra-qur'anik. Adanya Abrogasi intra-qur`anik oleh ulama yang pro terhadapnya didasarkan oleh firman Allah surat Al-Baqarah: 106, surat An-Nahl: 10 dan surat Ar-Ra`d: 39. Sedangkan abrogasi ekstra-quranik didasarkan bahwa datangnya syari'at Muhammad secara langsung menghapus syariat sebelumnya. Kedua jenis Abrogasi ini para ulama ada yang pro dan kontra. Untuk Abrogasi intra-qur`anik banyak didukung oleh ulama klasik seperti al-Suyuti, ibnu Katsir, at-Tabari dan juga Syaik Nawawi al-Bantani. Sedangkan yang menolak adanya abrogasi dalam Al-Qur`an adalah al-Isfahani dengan toelogi mu`tazilahnya, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Para Ulama pro Abrogasi intra-qur`an sendiri tidak ada kesepakatan tentang berapa banyak ayat yang dihapus. Pendapat berapa banyaknya ayat yang dihapus pada dasarnya tergantung pada kemampuannya dalam mencari pemecahan ayat-ayat yang terkesan bertentangan. Selain itu tidak ada hadis shahih dan muttawatir yang menerangkan mana saja ayat yang terabrogasi. Ini akan menjadi tanda tanya besar ketika kemampuan akal menjadi tolak ukur pengabrogasian Al-Qura`n, padahal Al-Qur`an telah sempurna dengan ditutup peluang turunnya wahyu Qur`ani pasca wafatnya Nabi SAW.
Dilain sisi Hasbi Ash-Shiddiqi yang kontra abrogasi Al-qur`an beralasan bahwa pertama, tidak ada satu ayat Al-Qur`an pun yang mengatakan kemansukhan suatu ayat. Kedua, hadis-hadis tentang naskh tidak memenuhi kriteria kesahihan sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Ketiga, tidak ada kesepakatan para ulama mengenai kemansukhan suatu ayat. Keempat, kemansukhan suatu ayat batal ketika pertentangan lahiriah antara ayat-ayat yang dianggap mansukh dengan ayat-ayat naskh sudah dihilangkan. Kelima, tidak ada hikmah dengan adanya ayat-ayat yang bisa di naskh.(hlm 92)
Beralih kepada Abrogasi ekstra-quranik yang lebih kontroversial. Penghapusan syari'at Nabi terdahulu tidak berlaku setelah datangnya syari'at baru. Terutama kaum muslim sebagai penerima risalah ketuhanan terakhir dibandigkan dengan yahudi dan nasrani. Mayoritas muslim memahami bahwa risalah yang diemban oleh Nabi Muhammad telah menggantikan risalah Nabi sebelumnya. Salah satu ayat yang menjadi dasar abrogasi Agama adalah surat Ali-Imran: 85. Sebenarnya kasus Abrogasi Agama ini tidak hanya terjadi dikalangan muslim saja. Di kubu kristen dan yahudi juga terjadi polemik yang sama dimana perjanjian lama telah diganti oleh perjanjian baru.
Padahal sejatinya Al-qur`an mengakui eksistensi agama sebelumnya –dengan mengesampingkan adanya perubahan teks kitab taurat dan injil- sebagaimana surat Al-Baqarah: 62. Menurut Rasyid Ridha ayat ini mnjelaskan bahwa agama-agama selain islam akan mendapatkan balasan surga di akhirat kelak dengan catatan memenuhi tiga unsur, yaitu beriman kepada Allah, percaya hari akhirat dan konsisten dengan kesalehan.
Islam sendiri yang kita istilahkan sebagai agama merupakan syariat terakhir yang diturunkan kepada Muhammad sebagai kelanjutan syari'at-syari'at sebelumnya. Pada sejatinya nabi-nabi terdahulu satu-kesatuan beragama islam sebagaimana kita saat ini. Para nabi mengemban syari'at masing-masing, begitupula dengan islam. Adapun syari'at Muhammad selain ada yang baru, telah mengadopsi syariat terdahulu seperti puasa dan sholat meski secara jumlahnya ada perbedaan. Oleh karena itu Muhammad menjadi pelengkap yang mengemban syari'at Ilahi, bukan sebagai pengganti atau penghapus syariat sebelumya.
Komentar
Posting Komentar