Pada hari jum’at, setiap muslim mempunyai ibadah yang berbeda dari hari-hari lainnya. Jum’at siang, kaum muslimin khususnya berkewajiban untuk melaksanakan sholat jum’at sebagai pengganti dari sholat dhuhur. Meski sholat jum’at pada prakteknya sama seperti sholat biasa (dalam artian tidak ada tambahan lain), tapi sebelum melaksanakan sholat jum’at terdapat dua khutbah dari khatib yang dilakukan dengan tatacara yang telah ditentukan Nabi. Kewajiban melaksanakan shalat jum’at secara berjamaah ini menjadikan jum’at siang bisa dikatakan sebagai waktu dimana jama’ah (di masjid) memiliki kuantitas terbanyak dibandingkan jama’ah pada shalat maghrib, isya’ atau yang lainnya. Dari situ, Khutbah jum’at seharusnya menjadi momen yang tepat bagi khatib untuk menyampaikan ajaran islam didepan ummat Islam.
Khutbah jum’at menjadi momentum baik bagi khatib sebagai penyampai ajaran dan mustami’in (orang yang mendengarkan) untuk menerima siraman rohani, apalagi bagi orang yang telah banyak disibukkan dengan pekerjaan. Di zaman hedonis ini, memenuhi kebutuhan sandang pangan dibutuhkan persaingan ketat. Atas dasar itu, masyarakat banyak yang tidak sempat untuk menerima dan mempelajari ajaran Islam, terutama bagi mereka yang hanya sekedar tercatat sebagai bagian dari ummat Islam (Islam KTP). Oleh karena itu, khutbah jum’at sangat tepat jika dimanfaatkan sebagai sarana untuk menyebarkan nilai-nilai islam.
Namun sangat disayangkan jika salah satu momentum penting penyampaian nilai keluhuran islam tidak dimanfaatkan dengan maksimal. Inilah yang patut kita soroti. Dalam realitanya, ketika dilaksanakan khutbah jum’at, para mustami’in banyak yang tidak memperhatikan. Dari mereka ada yang ngobrol, tidur dan bahkan sengaja tidak datang saat khutbah. Meski masih ada beberapa orang yang mendengarkan apa yang disampaikan oleh khatib, tetapi sikap antusias segelintir orang ini sangatlah minim. Akan sia-sia jika khutbah hanya masuk ditelinga kanan dan keluar dari telinga kiri.
Mungkin akan banyak spekulasi muncul yang mengakibatkan hal diatas, seperti mustami’in sudah kelelahan bekerja dipagi harinya yang memang kebanyakan tidak libur, atau mungkin juga karena pada siang hari pada umumnya orang mengantuk. Tapi spekulasi yang sangat penulis soroti adalah penyampaian khutbah sang khatib. Di khutbah-khutbah jum’at, banyak terjadi verbalisasi mimbar, sehingga khutbah jum’at menjadi sangat membosankan. Alih-alih membuat orang paham dan memetik ibrah, mendengarnya pun enggan. Ini menjadi permasalahan yang sangat serius, karena sudah berulangkali terjadi hampir di semua masjid setiap kali dilaksanakan ibadah shalat jum’at.
Jika ini terus dibiarkan akan berakibat fatal baik bagi agama maupun bangsa, karena Islam merupakan agama mayoritas masyarakat indonesia. Bukan berarti penulis menyalahkan Islam menjadi penyebab terjadinya ketimpangan negara atau ketidakadilan hukum di Indonesia. Akan tetapi, ketakutan penulis adalah ketidakmaksimalan Islam dalam membangun moral bangsa. Bisa kita bayangkan jika nilai-nilai Islam menancap pada setiap tingkah laku masyarakat Islam, disamping agama lain juga sukses menanamkan nilai moral pada pemeluknya, maka akan tercipta negara yang lebih berperadaban.
Penulis rasa masalah ini jarang diangkat untuk diselesaikan dan memberi pencerahan baru. Banyak yang belum tergerak untuk meningkatkan mutu khutbah jum’at baik dari segi materi maupun penyampaian. Sekiranya perlu untuk melakukan peningkatan mutu khutbah jum’at, sehingga tidak terjadi lagi verbalitas mimbar, yang nantinya memberi pengaruh signifikan bagi khatib dan mustami’in. Wallahu a’lam.
Yogyakarta, 13:45 jum’at 23 September 2016
Khutbah jum’at menjadi momentum baik bagi khatib sebagai penyampai ajaran dan mustami’in (orang yang mendengarkan) untuk menerima siraman rohani, apalagi bagi orang yang telah banyak disibukkan dengan pekerjaan. Di zaman hedonis ini, memenuhi kebutuhan sandang pangan dibutuhkan persaingan ketat. Atas dasar itu, masyarakat banyak yang tidak sempat untuk menerima dan mempelajari ajaran Islam, terutama bagi mereka yang hanya sekedar tercatat sebagai bagian dari ummat Islam (Islam KTP). Oleh karena itu, khutbah jum’at sangat tepat jika dimanfaatkan sebagai sarana untuk menyebarkan nilai-nilai islam.
Namun sangat disayangkan jika salah satu momentum penting penyampaian nilai keluhuran islam tidak dimanfaatkan dengan maksimal. Inilah yang patut kita soroti. Dalam realitanya, ketika dilaksanakan khutbah jum’at, para mustami’in banyak yang tidak memperhatikan. Dari mereka ada yang ngobrol, tidur dan bahkan sengaja tidak datang saat khutbah. Meski masih ada beberapa orang yang mendengarkan apa yang disampaikan oleh khatib, tetapi sikap antusias segelintir orang ini sangatlah minim. Akan sia-sia jika khutbah hanya masuk ditelinga kanan dan keluar dari telinga kiri.
Mungkin akan banyak spekulasi muncul yang mengakibatkan hal diatas, seperti mustami’in sudah kelelahan bekerja dipagi harinya yang memang kebanyakan tidak libur, atau mungkin juga karena pada siang hari pada umumnya orang mengantuk. Tapi spekulasi yang sangat penulis soroti adalah penyampaian khutbah sang khatib. Di khutbah-khutbah jum’at, banyak terjadi verbalisasi mimbar, sehingga khutbah jum’at menjadi sangat membosankan. Alih-alih membuat orang paham dan memetik ibrah, mendengarnya pun enggan. Ini menjadi permasalahan yang sangat serius, karena sudah berulangkali terjadi hampir di semua masjid setiap kali dilaksanakan ibadah shalat jum’at.
Jika ini terus dibiarkan akan berakibat fatal baik bagi agama maupun bangsa, karena Islam merupakan agama mayoritas masyarakat indonesia. Bukan berarti penulis menyalahkan Islam menjadi penyebab terjadinya ketimpangan negara atau ketidakadilan hukum di Indonesia. Akan tetapi, ketakutan penulis adalah ketidakmaksimalan Islam dalam membangun moral bangsa. Bisa kita bayangkan jika nilai-nilai Islam menancap pada setiap tingkah laku masyarakat Islam, disamping agama lain juga sukses menanamkan nilai moral pada pemeluknya, maka akan tercipta negara yang lebih berperadaban.
Penulis rasa masalah ini jarang diangkat untuk diselesaikan dan memberi pencerahan baru. Banyak yang belum tergerak untuk meningkatkan mutu khutbah jum’at baik dari segi materi maupun penyampaian. Sekiranya perlu untuk melakukan peningkatan mutu khutbah jum’at, sehingga tidak terjadi lagi verbalitas mimbar, yang nantinya memberi pengaruh signifikan bagi khatib dan mustami’in. Wallahu a’lam.
Yogyakarta, 13:45 jum’at 23 September 2016
Komentar
Posting Komentar