Oleh: Muhammad Ridha Basri
Tulisan ini akan membahas
tentang signifikansi intruktur berkemajuan dalam rangka membenahi suatu
gerakan. Dimulai dengan urgensi adanya tambahan kata berkemajuan, yang
membedakan ia dengan instruktur pada umumnya. Term kata “instruktur” dalam KBBI
mengandung pengertian sebagai orang yang bertugas mengajarkan sesuatu dan
sekaligus memberikan latihan dan bimbingannya; pengajar; pelatih; pengasuh. Satu
hal yang menarik bahwa dari keseluruhan arti dari kata”instruktur”, tidak ada
satupun yang setara dengan kata “pendidik”, sebaliknya ia lebih mengarah pada
kata “pengajar” dan atau “pelatih”.
Ketiga term tersebut sekilas
terlihat sama. Namun memiliki esensi yang sangat jauh berbeda. Pertama, pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[1] Kedua,
pengajaran adalah proses yang membebaskan. Hal itu terjadi apabila seorang guru
dapat membawa pada sumber kehidupan orang yang diajar, dengan menunjukkan
siapakah dia, dan juga apa yang harus dia lakukan (Lukman Tambunan). Ketiga,
pelatihan adalah suatu proses dimana orang-orang mencapai
kemampuan tertentu untuk membantu mencapai tujuan organisasi. Oleh karena itu,
proses ini terikat dengan berbagai tujuan organisasi (Mathis).
Secara sederhana, kata intruktur
dan pengajaran sama-sama lebih menekankan pada penguasaan wawasan dan
pengetahuan tentang bidang atau program tertentu, dan biasanya memakan waktu
yang relatif pendek. Sementara pendidikan lebih menekankan pada pembentukan
manusia (penanaman sikap dan nilai-nilai) dan memakan waktu relatif panjang
dengan memakai metode lebih bersifat psikologis.
Istilah “berkemajuan” yang
merupakan penambahan dari kata dasar maju yang memiliki beberapa arti,
diantaranya berjalan di muka, bergerak, menjadi lebih baik, dan berkembang.
Ketika orang mengatakan negara maju, maka kita dapat menyimpulkan bahwa yang
dimaksud adalah negara tersebut lebih baik dan lebih unggul dari negara
lainnya.
Padanan kata “Intruktur Berkemajuan” mengandung
arti intruktur “dapat menjadi maju”, “ingin menjadi maju”, dan sekaligus
“berbuat atau bekerja menjadi maju”. Intruktur “maju” atau “berkemajuan”
merupakan proses yang tiada akhir, sehingga tujuan atau cita-cita tersebut
harus terus dilakukan dari satu generasi (periode) ke generasi berikutnya.
Karenanya, kata “berkemajuan” mengandung makna proses sekaligus tujuan
atau tujuan sekaligus proses menjadi yang tiada akhir. Sebuah “proses menjadi”
menuntut adanya partisipasi dan kerjasama semua pihak yang terlibat. Dalam hal
ini, maka kerjasama antara instruktur, kader, dan bahkan panitia suatu kegiatan
pengkaderan mutlak dibutuhkan.
Ketika sesuatu dikatakan berkemajuan, maka
disana ada sesuatu yang “lebih”, ada hal “baru”, ada sisi yang “berbeda” dari
kebanyakan yang lain dalam lingkup ruang dan waktu ketika itu. Ia memiliki kekhasan
tertentu dan identitas tersendiri yang bisa diunggulkan dan dibanggakan.
Berkemajuan juga berarti ia memiliki kelebihan yang nantinya bisa menjadi inspirasi
dan bisa dijadikan acuan oleh mereka yang belum “maju”. Ia memiliki sebuah
konsep matang layaknya cahaya untuk ditawarkan kepada mereka yang masih dalam
“kegelapan”. Ia menjadi pioner atau penggagas suatu pembaharuan di
lingkungannya.
Ketika misalnya Persyarikatan Muhammadiyah
disebut berkemajuan, maka disana memang ada hal yang dipelopori dan kemudian
menjadi arus yang diikuti oleh publik. Di saat mayoritas masih banyak yang buta
aksara dan sedikit diantaranya menempuh pendidikan tradisional semisal
pesantren, Muhammadiyah mempelopori sekolah modern yang sistem belajar
mengajarnya memakai kursi. Atau ketika saat itu masyarakat mayoritas masih
menuhankan dukun dan thabib dalam bidang kesehatan, justru Muhammadiyah
menggagas kesehatan berkemajuan dengan mendirikan rumah sakit (awalnya
dinamakan PKO). Lebih ektrem lagi, Muhammadiyah pada masa awal pendirian rumah
sakit malah bekerjasama dengan orang kafir, memakai tenaga kesehatan yang
profesional meskipun berbeda agama. Sehingga KH. Ahmad Dahlan sebagai pelopor
kemajuan melalui organisasi Muhammadiyah digelari “kyai kafir”.
Intruktur berkemajuan dapat dimaknai sebagai
instruktur yang statusnya lebih dari sekedar pengajar dan pelatih. Ia tidak
hanya melaksanakan tugas untuk transfer ilmu, wawasan, dan atau pengalaman. Ia tidak
hanya berposisi sedang menjalani rutinitas organisasi semata sebagai senior
kepada junior. Ia juga tidak dalam posisi hanya melakukan pelatihan tertentu (short
course) dalam rentang waktu dua sampai tiga hari. Instruktur berkemajuan setidaknya
memiliki nilai lebih dalam proses membina kader. Ia tak hanya mengajar dan
melatih, namun sampai pada esensi mendidik.
Bagi penulis, seorang instruktur dilabeli
berkemajuan ketika ia telah mengamalkan trilogi IMM. Mustahil bagi seseorang
“memberi” jika ia tidak “memiliki”. Tidak mungkin seorang guru mengajar jika ia
tidak belajar. Tidak ada penulis yang bisa menulis tanpa membaca. Demikan
halnya dengan instruktur, tidak mungkin ia mengajar, melatih, dan mendidik
sedang ia sendiri belum terdidik. Maka seorang instruktur di IMM merupakan
mereka yang telah terdoktrin dengan nilai-nilai tri-kompetensi seorang kader
IMM. Pertama, Keagamaan (religiusitas). Sebagai organisasi kader yang
berintikan nilai-nilai religiusitas, IMM senantiasa memberikan pembaruan
keagamaan menyangkut pemahaman pemikiran dan realisasinya, dengan kata lain
menolak kejumudan. Menjadikan Islam dalam setiap proses sebagai idealitas
sekaligus jiwa yang menggerakkan. Motto indah yang harus diaktualisasikan
adalah : “Dari Islam kita berangkat (landasan & semangat) dan kepada islam
lah kita berproses (sebagai cita-cita)”
Kedua, Keintelektualan (Intelektualitas). Dalam
tataran intelektual IMM berproses untuk menjadi “centre of excellent”,
pusat-pusat keunggulan terutama sisi intelektual. Organisasi ini diharapkan
mampu menjadi sumber ide-ide segar pembaharuan. Sebagai kelompok intelektual,
kader IMM harus berpikir universal tanpa sekat eksklusivisme. Produk-produk
pemikirannya tidak bernuansa kepentingan kelompok dan harus bisa menjadi rahmat
untuk semua umat.
Ketiga, Kemasyarakatan (humanitas). Perubahan tidak
dapat terwujud hanya dengan segudang konsepsi. Yang tak kalah pentingnya adalah
perjuangan untuk mewujudkan idealitas (manifestasi gerakan). Kader IMM harus
senantiasa berorientasi objektif, agar idealitas dapat diwujudkan dalam
realitas. Namun perlu dicatat, membangun peradaban tidak dapat dilakukan
sendirian (ekslusif), dalam arti kita harus menerima dialog dan bekerjasama
dengan kekuatan lain dalam perjuangan.[2]
Seorang instruktur berkemajuan dalam suatu
pengkaderan akan mampu melahirkan sosok-sosok kader yang bahkan melebihi
dirinya. Keberhasilan seorang instuktur bukan diukur dengan banyaknya
pengetahuan yang ia transfer, namun dari sejauh mana ia mampu menstimulasi dan
mendorong para kader untuk mau mencari pengetahuan secara mandiri jauh lebih
banyak. Hal inilah yang akan mengubah para kader menjadi luar biasa. Ia mampu
menstimulasi mereka untuk menjadi kader yang baik, militan, dan progresif.
Instruktur berkemajuan diharapkan nantinya
mampu mendidik kader-kader berkemajuan. Ungkapan lama mengatakan, buah jatuh
tidak jauh dari pohonnya. Dalam kondisi normal, sekolah favorit akan melahirkan
lulusan yang maksimal. Seorang guru yang hebat akan mampu menghasilkan murid
yang luar biasa. Demikan halnya dengan sekolah pengkaderan yang hebat, dengan
instruktur yang hebat pula, diharapkan akan mampu menghasilkan lulusan kader
yang mumpuni dan bahkan luar biasa.
Sebaliknya, para instruktur yang abal-abal
hanya mengasilkan kader yang serba instan, yang tak memiliki identitas, dan
bahkan tidak bangga dengan organisasinya. Banyak kader yang kemudian lari dari
suatu organisasi dikarenakan pemahaman terhadap organisasinya yang dangkal.
Pengetahuannya tentang organisasi itu ia peroleh dari para instruktrur yang
mengkadernya pertama kali.
Napoleon Hill pernah berkata,
“Kamu tidak dapat mengubah apa yang telah kamu mulai, tetapi kamu dapat
mengubah arah kemana kamu pergi.” Demikian halnya bagi seorang isntruktur, ia
tak mampu mengubah “asal” para kader. Bagi intruktur berkemajuan, bukanlah hal
penting bahwa kader itu sebelumnya belum berjiwa progresif, atau belum mengenal
organisasi yang ia masuki, atau belum memiliki kesamaan persepsi dengan
organisasi yang ia miliki. Nah, disitulah ranah bagi seorang instruktur untuk
membina, mengarahkan, dan mendampingi proses mendidik seorang kader hingga
menjadi sosok yang paripurna.
Sebuah kemajuan biasanya lahir karena adanya
kondisi yang memaksanya. Karena adanya kegelapan, maka diciptakannya bola
lampu. Karena adanya kabut yang menghalangi sinar mentari, maka dibuatlah
kompas. Atau karena ada rasa lapar, maka mendorong seseorang bereksplorasi
mencari makan. Halnya dengan instruktur, karena di tengah kondisi kader yang
semakin berkurang kuantitas dan kualitasnya, maka dituntut adanya instruktur
yang berkemajuan. Instruktur yang mampu mengoptimalkan kader yang sedikit.
Sejarah mencatat, bahwa para pendakwah
(instruktur) dimasa lalu mampu memainkan perannya sebagai instruktur, yang
mendakwahkan Islam secara berkemajuan. Gerakan-gerakan Islam di masa lalu mampu
menyemai benih-benih ajaran yang mencerahkan sehingga melahirkan peradaban yang
berkemajuan. Indonesia yang penduduknya di masa lampau mayoritas beragama Hindu
dan kepercayaan lokal berubah total menjadi berpenduduk terbesar umat Islam.
Hal itu tidak terlepas dari strategi berdakwah yang mampu memikat hati dan
menawarkan jalan hidup yang memberi harapan lebih baik bagi masyarakat di negeri kepulauan ini.[3]
Ukuran untuk menilai berhasil atau tidaknya
seorang instruktur adalah sederhana. Jika seorang instruktur mampu mengasilkan
kader yang sesuai dengan tujuan organisasi, berarti ia telah berhasil mendidik
kader dan berhak dinobatkan sebagai instruktur berkemajuan. Tujuan akhir
kehadiran Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah untuk pertama kalinya ialah
membentuk akademisi Islam dalam rangka
metaksanakan tujuan Muhammadiyah.[4]
Seorang instruktur di internal
IMM pada batasan terendah dituntut untuk mampu mempersiapkan kader-kader penopang,
pelopor, pelangsung, penerus, dan penyempurna
Persyarikatan Muhammadiyah. Kader IMM harus mampu menjadi pendukung dan
sekaligus ikut serta memberi saran, masukan, dan bahkan kritik kepada
organisasinya. Keberadaan IMM merupakan bagian dari Muhammadiyah itu sendiri.
Ketika seorang kader IMM hari ini terkesan abal-abal dan instan, maka
dikawatirkan pada beberapa tahun yang akan datang, menjadikan Muhammadiyah
dipimpin oleh para kader abal-abal hasil didikan ketika ia di IMM. Pertanyaan
besar untuk semua instruktur yang bertugas mendidik kader adalah, apakah
Persyarikatan Muhammadiyah masih bisa tegak berdiri di muka bumi sehari sebelum
kiamat terjadi?
Intruktur di internal IMM pada
masa sekarang mendapat tantangan yang tidak mudah. Ia harus berhadapan dengan
pertarungan berbagai ideologi era kontemporer ditengah situasi yang memberi
ruang untuk memilih proses yang instan. Seorang instruktur dituntut untuk bisa
menanamkan ideologi Persyarikatan dan Ikatan dengan segenap strategi yang
konstektual. Wallahu a’lam bishawab.
Daftar
Bacaan:
Haedar Nashir. 2014.
Muhammadiyah Dan Gerakan Pencerahan Untuk Indonesia Berkemajuan. (Pdf).
Farid Fathoni AF. 1990. Kelahiran
yang Dipersoalkan (Dua Puluh Enam Tahun Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah,
1964-1989). Surabaya. PT. Bina Ilmu.
UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pasal 1.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Ofline.
Situs http://misbachulmunir1991.blogspot.com
[1] Lihat Undang-undang
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pasal 1.
[2]Selengkapnya
lihat http://misbachulmunir1991.blogspot.com. Diakses pada
23 Januari 2015, pukul 21.12.
[3]Haedar Nashir. Muhammadiyah
dan Gerakan Pencerahan untuk Indonesia Berkemajuan. (Pdf). 2014.
[4]Farid Fathoni
AF. Kelahiran yang Dipersoalkan (Dua Puluh Enam Tahun Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah, 1964-1989). Surabaya. 1990.
Komentar
Posting Komentar