Judul : Begawan Muhammadiyah (Bunga Rampai
Pidato Pengukuhan Guru Besar Tokoh Muhammadiyah)
Pengarang : Abdul Malik Fadjar, Abdul Munir
Mulkhan, Ahmad Syafi’i Ma’arif, Asjmuni Abdurrahman, Ismail Suny, M. Amien
Rais, M. Amien Abdullah, M. Dawam Rahardjo, M. Din Syamsuddin, M. Yunan Yusuf,
Siti Chamamah Soeratno, Syafri Sairin, Yahya A.Muhaimin, Zamroni
Editor :
Pramono U. Thantowi
Penerbit : Pusat Studi Agama dan Peradaban
(PSAP) Muhammadiyah
Tahun Terbit : Cet
Pertama, 2005
Jumlah Halaman : xxxii + 420
hlm.
No ISBN : 979-98305-5-9
Buku Begawan Muhammadiyah merupakan kumpulan dari pidato pengukuhan
para guru besar tokoh Muhammadiyah di berbagai universitas. Kehadiran mereka bukan hanya sebagai tokoh Persyarikatan, mereka juga diakui sebagai tokoh
bangsa dengan berbagai konstribusi yang telah diberikan. Para sosok begawan
tersebut berangkat dari spektrum keilmuan yang beragam, berkaitan dengan agama,
pendidikan, politik, hukum, ekonomi, sejarah, hingga sastra.
Para guru besar tersebut berangkat dari latar sebagai seorang
intelektual profesional yang kemudian menduduki jabatan di pimpinan pusat.
Sehingga kehadiran mereka di Muhammadiyah memberi warna tersendiri yang unik.
Muhammadiyah yang di awal keberadaannya didominasi oleh kepemimpinan kaum
ulama, mulai bergeser menjadi kepemimpinan figur cendekiawan. Dalam
kenyataannya, fakta ini mungkin sesuai dengan harapan Muhammadiyah yang sejak
awal mengkonsentrasikan pengabdiannya dalam ranah pendidikan (selain bidang
kesehatan dan pelayanan sosial serta budaya).
Keempat belas tokoh yang disertakan dalam buku ini tidak
meniscayakan para begawan Muhammadiyah di luar sana, yang jumlahnya juga tidak
sedikit. Dalam kata pengantarnya, Dr. Haedar Nashir sempat mempertanyakan
alasan tidak dicantumkan tokoh begawan semisal Kuntowijoyo. Hal ini dijawab
dalam pengantar editor bahwa ketidakhadiran beberapa tokoh besar lainnya
semisal Prof. Dr. Suyanto, Prof. Dr. Umar Anggoro Jenie, Prof. Dr. Fathurarahman
Jamil, Prof. Dr. Bambang Sudibyo, termasuk Prof. Dr. Kontowijoyo, et. al.,
lebih dikarenakan faktor teknis kesulitan mendapatkan naskah. Pramono U.
Thantowi mengakui jika masih terlalu banyak para begawan yang pernah menduduki
jabatan di Pimpinan Pusat atau juga di Majelis Pusat Muhammadiyah yang belum
dimasukkan dalam buku ini, terlebih para begawan di tingkat wilayah mulai
ujuang barat hingga Papua, semisal Prof. Dr. Alyasa Abu Bakar, Prof.
Dr. Thohir Luth, et. al. Menurut penulis, satu-satunya kekurangan buku
ini adalah ketidaklengkapan memuat semua para begawan Muhammadiyah. Sehingga
adanya seri lanjutan yang memuat pidato pengukuhan para guru besar lainnya di
lingkungan Muhammadiyah dengan kriteria tertentu akan selalu dinanti oleh
khalayak luas.
Secara umum, pengukuhan para guru besar tersebut memiliki setting
sosio-historis dan politik tersendiri. Hal ini lebih dikarenakan keberadaan
mereka ikut terpengaruh oleh kondisi eksternal ketika mereka menulis naskah
pengukuhan guru besar. Diantaranya ada yang berkiprah di masa awal berdirinya Orde
Baru semisal Prof. Dr. Ismail Suny, sehingga menulis dengan judul “Kepastian
Hukum Menuju Stabilisasi Politik dan Ekonomi”. Beliau mengkritisi penyimpangan
pelaksanaan “Demokrasi Terpimpin” serta dominasi kekuasaan negara yang seolah
ikut mengkerdilkan prinsip hukum. Ada juga yang bersinggungan langsung dengan
akhir kekuasaan Orde Baru semisal Prof. Dr. Chamamah Soeratno.
Demikian halnya, para guru besar yang menulis tentang sub bidang
yang mendesak harus dijadikan perhatian oleh bangsa Indonesia, semisal Prof.
Dr. Dawam Rahardjo yang mengangkat isu ekonomi, dengan judul tulisan
“Pragmatisme dan Utopia”. Begitu juga dengan Prof. Malik Fadjar yang mengangkat
tema pendidikan. Beliau menawarkan konsep pendidikan yang lebih menjanjikan di
era global. Prof. Dr. Amien Rais yang menjadi ikon kebangkitan reformasi,
memfokuskan pidato pengukuhan guru besar pada tema yang menawarkan konsep
reformatif untuk pemerintahan era tersebut. Ia mengingatkan para pengemban
kekuasaan di era reformasi untuk tidak terjebak dan jatuh pada kemungkinan
negatif era reformasi.
Terkait penyalahgunaan kekuasaan yang berunjung pada praktek Korupsi
Kolusi dan Nepotisme (KKN), Prof. Dr. Syafri Sairin mengemukakan dalam
naskahnya bahwa penyebab terbesarnya ada dua, yaitu rendahnya pendapatan dan
beratnya beban kultural yang harus ditanggung oleh masyarakat, terutama
kalangan menengah ke bawah. Tidak jauh berbeda, Prof Yunan Yusuf juga berupaya
memperbaiki kondisi bangsa saat itu, yang menulis dengan judul “Internalisasi
Etika Islam ke dalam Etika Nasional. Atau juga yang diketengahkan oleh Prof. Dr
Zamroni dengan judul “Demokrasi dan Pendidikan dalam Transisi”
Masih tersisa beberapa judul yang tak kalah menarik. Prof. Dr. Din
Syamsuddin, yang menawarkan solusi terkait ketegangan perpolitikan antara
lembaga legislatif dan eksekutif, serta adanya beberapa pihak yang memprotes
kepemimpinan Abdurrahman Wahid ketika itu. Agak sedikit berbeda, Prof. Dr.
Yahya Muhaimin menulis “Masalah Pembinaan Bidang Pertahanan Indonesia”. Prof.
Dr. Amin Abdullah, yang lebih dikenal sebagai sosok pemikir Islam kontemporer
menulis “Rekonstruksi Metodologi Studi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan
Multireligius”. Prof Abdul Munir Mulkhan mengangkat tema kecerdasan makrifat
atau Ma’rifat Quotient (MaQ). Yaitu kecerdasan rasional yang bebas
materialisasi dan memungkinkan ikut sertanya intuisi (kasyf).
Selanjutnya ada Prof. Dr Asjmuni Abdurrrahman yang menawarkan untuk
membuka kembali pintu ijtihad seluas-luasnya. Beliau mengemukakan bahwa cakupan
ijtihad harus diperluas sesuai dengan makna dari kata ijtihad itu sendiri
secara bahasa. Untuk itu dalam prosesnya perlu melibatkan berbagai disiplin
ilmu untuk merumuskan kembali kaidah-kaidah menjadi lebih konstektual dan
relevan dengan era sekarang. Terakhir, Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif yang oleh
banyak kalangan didaulat sebagai bapak bangsa sepeninggal Nurchalis Madjid,
menulis tema keterkaitan antara sejarah, filsafat, dan agama.
Buku Begawan Muhammadiyah sangat layak untuk dibaca oleh segenap
kader Persyarikatan. Karena bagi seorang anggota Muhammadiyah hendaknya bisa
mengikuti jejak mereka para tokoh yang mempunyai spesialisasi keilmuan
tersendiri namun juga sekaligus berwawasan luas dan mendunia. Sehingga
kehadiran mereka diterima oleh semua kalangan dan dapat dijadikan rujukan atas
permasalahan nasional dan bahkan internasional dalam cakupan yang lebih global.
Terlebih di usianya yang sudah memasuki abad kedua, keberadaan Muhammadiyah
yang mengusung identitas diri sebagai gerakan pencerahan berkemajuan dituntut
untuk lebih mewarnai kehidupan berbangsa sebagai pemberi solusi dan penggagas
pembaharuan di segala bidang.
(Peresensi Kabid Keilmuan dan Media PK. IMM
Ushuluddin, 2014-2015)
Komentar
Posting Komentar