Oleh: IMMawan Nizam Zulfa
Hadis merupakan dasar pedoman hidup setelah al-Qur’an sebagaimana Firman
Allah “Barangsiapa menaati Rasul, maka sesungguhnya ia telah menaati Allah” (QS.
An-Nisaa’: 80). Tak heran jika hadis harus lebih menjadi perhatian bagi setiap muslim. Dalam kehidupan
sehari-hari, sedikit atau banyak tak bisa dipungkiri bahwa setiap gerak dan
aktifitas setiap muslim dipengaruhi al-Qur’an dan hadis. Dari sinilah kita
harus faham bahwa pengetahuan kita dalam beragama, atau
lebih spesifiknya kepada pemahaman hadis itu harus dapat menunjukkan suatu
pemahaman yang benar dan bijak agar bertindak sesuai hadis. Maka sebagai muslim hendaknya
tidaklah acuh terhadap masalah hadis. Meskipun banyaknya kesibukan kita dalam urusan
dunia rasanya untuk menyempatkan sedikit
waktu guna Menghadiri majelis kajian hadis, membaca dan mempelajari hadis,
ataupun hanya nonton kajian hadis di internet itu bukanlah hal yang sulit
dilakukan, dalam tanda kutip bagi mereka yang memang ada ghirah dan keinginan
untuk ber-tafaqquh fiddin yang kuat.
Belajar hadis
merupakan suatu keharusan bagi setiap muslim, karena itu bagian dari islam. Lebih secara komprehensif, jika kita
mempelajari hadis maka kita dihadapkan dengan cabang-cabang ilmu di dalamnya,
sebut saja ilmu sanad yang di dalamnya mencakup pembahasan tentang tahammul
wal ‘ada’ (metode penerimaan dan penerimaan hadis), ilmu Tarikh al-Ruwah,
Ilmu Tabaqat al-Ruwah, Ilmu Jarh wa Ta’dil, Takhrij al-hadis, dll. Kemudian
juga ada ilmu matan yang cabang pembahasannya melingkupi asbab al-wurud (asal-usul
hadis), Ilmu gharib, Nasikh mansukh, dll. Dengan turunan hadis yang
sebegitu banyaknyanya maka tak heran jika kini diketemukan banyak lembaga
pendidikan yang mencoba fokus untuk mendalami bidang ilmu ini, mulai dari
pondok pesantren hadis sampai ke jenjang perkuliahan, sebut saja salah satunya
di Arab Saudi, dimana terdapat fakultas di sebuah kampus islam yang mendalami
tentang ilmu hadis ini, pun halnya di negeri ini yang sekarang sudah banyak
program studi di kampus-kampus islam yang fokus mendalami hadis. Kendati
demikian, sebagai orang awam kita tidak boleh beranggapan bahwa mempelajari
ilmu hadis ini bukan tugas kita, biar merekalah yang belajar agama di
pesantren, kampus islam, dan lembaga keagamaan yang wajib untuk mendalami itu,
karena menuntut ilmu agama adalah kewajiban setiap muslim.
Islam adalah agama
dalil, maka apa-apa yang kita perbuat alangkah baiknya jika kita sendiri tahu
landasan dalil dari apa yang kita kerjakan (tidak taqlid buta), misal
ketika kita membaca al-qur’an. Kita tahu bahwa itu adalah ibadah, namun akan
terasa berbeda yakni merasa lebih yakin dan semangat jika kita tahu dalil
tentang itu dari sebuah hadis bahwa membaca al-qur’an itu memiliki banyak nilai
pahala, diantaranya jika kita membaca satu huruf dalam al-qur’an maka kita akan
mendapatkan satu kebaikan yang kemudian Allah lipatgandakan menjadi sepuluh
kebaikan. Dan setelah ditelusuri ternyata hadis tersebut merupakan hadis sahih
yang diriwayatakan oleh At-Tirmidzi dalam kitab Sunannya.
Kegiatan menelusuri
suatu hadis dengan maksud mencari detail hadis berupa aspek sanad, matan, dan
kualitas hadis tersebut dalam ilmu hadis lebih dikenal dengan istilah takhrij
hadis.
Takhrij Hadis
Secara etimologi, kata
“takhrij” sebagaimana dikatakan al-Tuwaijiri, berasal dari akar kata bahasa
arab “kharaja” yang berarti keluar. Kata ini mendapat tambahan huruf hamzah
pada bagian awalnya, menjadi akhraja mengikuti pola wazan
“af’ala” artinya mengeluarkan. Sementara kata “hadis” berarti berita
atau khabar yang berkaitan dengan Nabi saw, atau berisi informasi tentang
beliau, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan beliau (Suryadilaga,
2017: 249-250).
Sedangkan secara
terminologi, dari berbagai pendapat mengenai ta’rif atau istilah dari takhrij
hadis, sebenarnya dapat diklasifikasikan kepada tiga model ta’rif. Pertama,
bahwa di era klasik takhrij hadis dimaknai dengan mengumpulkan dan menghimpun
hadis dari beberapa periwayat yang kemudian di bukukan dan disebarkan. Lalu
model kedua, bahwa takhrij hadis di era abad pertengahan dimaknai sebagai suatu
penyelidikan dan pembahasan tentang hadis. Dan yang terakhir yaitu di era
kontemporer ini takhrij hadis lebih dimaknai dengan menjelaskan asal-usul hadis
dari kitab apa ia berasal yang sekaligus ditelusuri juga secara lengkap
sanadnya (Suryadilaga, 2017: 251-255).
Dari banyaknya pengertian
secara istilah mengenai takhrij hadis dari beberapa ulama baik di era klasik, abad
pertengahan, maupun kontemporer tersebut, penulis lebih memilih untuk mengutip
pendapat Syamsul Anwar yang mengatakan bahwa istilah takhrij hadis adalah menunjukkan letak suatu hadis dalam
sumber-sumber asli yang meriwayatkannya dengan sanadnya dan kemudian, bila
perlu, menjelaskan nilai hadis itu
(Anwar, 1992: 85), yang mana ta’rif tersebut juga bagian dari model ta’rif
kontemporer yang relevan di era saat ini dan dapat dilakukan oleh siapapun.
Adapun yang dimaksud sumber-sumber
asli hadis yaitu kitab-kitab yang menyebutkan bahwa penyusun atau yang
bersangkutan menerima hadis-hadis dari guru mereka dengan sanad sampai kepada
Nabi. Diantaranya yaitu, kutub al-Sittah (Sahih al-Bukhari, Sahih
Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Al-Tirmidzi, Sunan Al-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah),
Musnad Ahmad, Muwatha’ Malik, Sunan al-Darimi Tahzib Sunan Abi Dawud,
Al-Umm, Tarikh al-Tabari, dan masih banyak lagi.
Sependek pengetahuan penulis tentang
teknik takhrij hadis dari sisi praksis itu ada dua macam cara, yaitu takhrij hadis manual dan takhrij
hadis digital. Takhrij hadis manual adalah teknik takhrij hadis menggunakan
kitab-kitab primer hadis. Menurut Syamsul Anwar teknik manual terbagi menjadi
beberapa cara, yaitu 1) atas pengetahuan tentang nama sahabat yang meriwayatkan
hadis yaitu salah satu kitab yang dapat dibuka adalah kitab mu’jam al-Kabir
karya al-Tabarani, 2) berdasarkan pengetahuan tentang permulaan lafal hadis,
salah satu kitab yang menggunakan metode ini adalah Miftah al-Shahihain oleh
al-Tauqadi, 3) Takhrij mengenai pengetahuan tentang salah satu lafal hadis,
yang dalam hal ini satu-satunya kitab yang digunakan adalah Mu’jam
al-Mufahras li Alfaz al-Hadis al-Nabawi karya A.J. Weinsinck dkk., 4)
Melalui pengetahuan tentang tema hadis, yaitu salah satu kitab yang dapat
digunakan adalah Miftah al-Kunuz al-Sunnah yang disusun juga oleh
orientalis A.J. Weinsinck, 5) Melalui pengetahuan tentang keadaan matan atau
sanad, dengan kitab al-Maudu’at al-Sughra oleh Ali al-Qari al-Harawi
(Anwar, 1992: 88-101).
Kemudian terkait takhrij hadis
digital, dengan menyimpulkan dari apa yang tulis Ali Imran dalam buku “ilmu
sanad hadis”, maksud dari teknik takhrij hadis ini yaitu menggunakan sarana
media digital baik secara online maupun offline (Suryadilaga dkk, 2017:
265-283). Jika pendahulu kita yaitu mereka yang hidup sebelum masifnya perkembangan
teknologi seperti saat ini, mereka harus membuka kitab-kitab hadis yang ada
guna menemukan sebuah hadis yang memiliki kesamaan tema, redaksi baik secara
maknawi atau lafdzi. Sedangkan satu
kitab hadispun terdiri dari banyak jilid, tentu hal ini sangat melelahkan dan
membutuhkan banyak waktu. Maka generasi satu dekade belakangan ini sudah dimudahkan
dapat mentakhrij hadis dengan mudah karena sudah banyaknya cara untuk itu,
diantaranya melalui media digital. Secara online dapat diakses semisal dengan Web Dorar.net, dan
sunnah.one. Sedangkan secara offlline sudah banyak tersedia software PC yang
bisa menjangkau itu, seperti Maktabah Syamilah, Lidwa Pusaka, Gawami’ Kaleem,
dan lain sebagainya. Tak kalah hebatnya, bahkan secara offline lewat
smartphonepun kita bisa mentakhrij hadis dengan aplikasi Ensiklopedia Hadis.
Urgensi Takhrij Hadis Masa
Kini
Zaman dewasa ini menuntut setiap
orang agar lebih dapat memahami sesuatu secara detail. Sebut saja mengenai
informasi, setiap orang hendaknya selalu waspada terhadap informasi-informasi
yang tidak jelas asal-usulnya dan kebenarannya tetapi sudah dibesar-besarkan
bahkan menjadi suatu trending topic yang hangat seolah-olah itu adalah
sesuatu yang valid dan bukan hoax. Padahal jika ditelusuri lebih dalam,
informasi tersebut ternyata hoax.
Pun sama halnya dengan hadis, di era
maraknya hadis yang tampil dengan berkomposisikan: judul, sanad, matan, dan
terjemah bahasa indonesia yang menyebar di seluruh media terutama media sosial
yang ditampilkan dalam wujud meme, atau pesan whatsapp, kini banyak menyita
perhatian masyarakat. Dengan narasi yang membawa nama nabi Muhammad saw kemudian
ada segelintir orang yang langsung percaya akan hadis tersebut yang padahal
belum jelas apakah itu benar-benar hadis atau bukan, lalu jika itu memang
hadis, apakah status hadisnya sahih, hasan, atau daif ?. Disinilah peran
penting takhrij hadis, yaitu sebagai upaya untuk melacak narasi tersebut agar
mendapat kepastian dan kejelasan mengenai hal itu. Tentunya jangan sampai kita
mempercayai suatu narasi kebohongan yang mengatasnamakan nabi Muhammad saw.
yang na’uzubillah dosa bagi pelakunya besar dan sudah dipastikan
tempatnya itu di neraka (H.R. Muslim)
Umat islam saat ini harus lebih
pandai dan tidak boleh latah dalam menyikapi segala informasi atau narasi yang
mengatasnamakan hadis. Kesungguhan dalam berislam harus ditunjukkan dengan semangat
menuntut ilmu agama, terkhusus belajar hadis yang masih kurangnya daya minat
umat islam terhadapnya, takhrij hadis ini hanyalah bagian dari upaya kita untuk
lebih mengenal hadis-hadis nabi saw yang selanjutnya dapat ditindaklanjuti
dengan memperdalam kajian tentang ilmu hadis, karena sebagaimana kita tahu
bahwa hadis juga merupakan pedoman hidup untuk mencontoh nabi Muhammad saw.
Referensi
Anwar, Syamsul.
“Ushul al-Takhrij (Teknik-teknik Pelacakan Hadis)” dalam jurnal al-Jami’ah No.
49, 1992.
Suryadilaga,
Muhammad Alfatih dkk. , Ilmu Sanad Hadis, Bantul: Idea Press, 2017.
Komentar
Posting Komentar