NOTULENSI DISKUSI IMM
Revolusi Pendidikan di Era Milenial (2 Mei 2020)
Oleh: PK IMM Ushuludin
Muqaddimah
Pendidikan tak akan pernah berhenti dibahas, karena cakupannya
sangatlah luas. Dalam diskusi ini pembahasan akan dikhususkan terkait hal ihwal
pendidikan menengah, khususnya dalam ruang lingkup perguruan tinggi. Landasan
teologis mengenai pendidikan terdapat dalam potongan ayat 11 dalam Surah
Al-Mujadalah, yang berbunyi “….yarfa’ullahulladziina aamanu minkum,
walladziina uutul ‘ilma darojaat....”. Ayat ini menjelaskan bahwa mereka
yang menuntut ilmu adalah mereka yang sedang diangkat derajatnya oleh Allah.
Bahkan, ayat ini menggunakan kata jama’, yaitu “darojaat”, yang
maksudnya adalah beberapa derajat.
Pendidikan dan Generasi Milenial
Pendidikan menurut UU N0.20 th 2003 adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,
dan Negara.
Generasi milenial berdasarkan definisinya adalah generasi
yang sudah melek teknologi digital, di mana tiap informasi dapat dengan mudah
diakses melalui internet. Semakin banyaknya pengguna teknologi dalam dunia
pendidikan akan mengakibatkan perubahan model pembelajaran. Inilah kaitannya
generasi milenial dan dunia pendidikan.
Pengalaman Syahrul atas Revolusi Pendidikan
Dalam diskusi ini, Syahrul berbagi pengalamannya. Ia berkata: “Ketika
saya pertama kali menginjakkan kaki di UIN Sunan Kalijaga (2011), dan tahun
depan adalah tahun 2021, yaitu selama 10 tahun berlalu, kampus dan mahaiswa
mengalami pergeseran dalam hal pendidikan. Tentu berbebeda antara tahun 2011,
sekarang, dan junior-junior di tahun berikutnya. Setelah saya telaah dari apa
yang yg saya lihat dan rasakan, perbedaannya yang paling terlihat nyata adalah revolusi
pendidikan karakter.
Seiring dengan perkembangan zaman, terjadilah perubahan dalam perubahan
pendidikan karakter, atau sering juga disebut dengan revolusi mental. Pendidikan
karakter secara definisi adalah usaha secara sadar dan terlaksana untuk
mendidik dan memberdayakan potensi peserta didik guna membentuk karakter
pribadinya, sehingga menjadi individu yang bermanfaat bagi dirinya dan
lingkungannya.
Revolusi Pendidikan di Perguruan Tinggi
“Lalu, apa pelajaran yang dapat kita ambil dari pengalaman tersebut?”
tambah Syahrul.
Pertama, Akhlaqul
karimah (akhlak mulia) menjadi sebuah tantang bagi generasi milenial, bahwa
jangan sampai hal ini terkikis dan hilang dalam dunia pendidikan. Serta, jangan
sampai generasi milenial di-cap (mendapat label) generasi yang tidak memiliki
akhlak. Hal ini dapat dilihat pula dari beragam informasi dari media elektronik
maupun media cetak, seperti koran dan televisi, bahwasanya banyak terdapat
kasus murid yang melawan guru, mahasiswa yang melawan dosennya, dan lain
sebagainya. Perlu diketahui, bahwa faktor utama dari problem ini adalah
terkikisnya nilai-nilai moral dan akhlak dalam dunia pendidikan.
Dalam buku Al-Tarbiyah wa Al-Ta’lim, dijelaskan bahwa
seorang murid wajib bersikap ta’dzim kepada gurunya. Karena betapa pun
banyaknya ilmu yang didapat seorang murid, tanpa adanya ta’dzim dengan guru,
maka ilmu yang didapatnya akan sia-sia (rontok dengan sendirinya). Jadi, akhlak
merupakan hal yang penting dunia pendidikan.
Kedua, revolusi SDM.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa zaman sangat cepat bergerak, sehingga jika
generasi milenial tidak mengikuti perkembangan zaman, maka ia akan terhempas
dengan sendirinya. Seperti peribahasa: “al-waqtu ka syaifi, fain lam
taqto’hu qata’aka”. Waktu ini bergerak begitu cepat, menuntut SDM untuk
menyesuaikan diri. Faktor ini membuat SDM perlu melakukan revolusi, karena
disaat generasi milenial ingin melakukan lompatan di dunia pendidikan, ternyata
masih ditemukan tak sedikit dari SDM yang belum siap, bahkan tidak siap sama
sekali untuk mengikuti lompatan itu.
Ketiga, disamping
pendidikan karakter dan SDM adalah sarana dan prasarana. Kurangnya sarana dan
prasarana menjadi penghambat bagi generasi milenial dalam melakukan suatu
lompatan. Salah satunya terkait efektivitas atas pembelajaran secara daring/
online yang dilakukan dalam masa pademi covid-19 ini. Mungkin sebagian peserta
didik yang tinggal di daerah yang memiliki jaringan bagus tidak merasakan
hambatan. Berbeda dengan mereka yang tinggal di daerah lainnya. Jaringan
merupakan dambaan bagi para peserta didik demi kelancaran dalam proses
belajarnya, bahkan sebagian dari mereka perlu pindah desa dan mendaki ke tempat
yang lebih tinggi.
Tantangan Bagi Generasi Milenial
Tantangan bagi generasi milenial adalah bahwa generasi milenial
perlu menyesuaikan dunia pendidikan dengan teknologi pada masa kini. Maka,
generasi milenial perlu melek teknologi. Begitupun dalam dunia pendidikan,
yaitu tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Salah satu lompatan dalam dunia
pendidikan di Indonesia adalah seperti apa yang dikatakan Menteri Pendidikan
Indonesia, Nadiem Makarim, yaitu “Merdeka belajar dan kampus merdeka”. Syahrul
menambahkan, bahwa hal yang perlu diperhatikan adalah apakah dunia pendidikan
generasi milenial sudah didukung oleh SDM, sarana, dan prasarana? Jangan sampai
terjadi revolusi pendidikan secara total tanpa memperhatikan ketiga hal
tersebut.
Salah satu yang dirasakan Syahrul dalam kondisi pademi ini adalah
ketika pemerintah mencanangkan pembelajaran secara daring atau online, dengan
diikuti surat keputusan dari Rektor Universitas masing-masing, banyak dari
mahasiswa yang memutuskan untuk pulang kampung, sehingga terjadi permasalahan
kestabilan jaringan, bahkan mahasiswa perlu berkorban dana untuk pembelian
kuota demi terlaksananya pembelajaran daring. Hal ini membuat sebagian
mahasiswa merasa keberatan. Namun, jika ditelaah, banyak mahasiwa rela
menghabiskan kuotanya untuk sekedar melihat Instagram atau sekedar melihat vlog
di youtube, sedangkan untuk perkuliahan (baca:mencari ilmu) merasa keberatan.
Maka, mindset inilah yang perlu dirubah generasi milenial.
SESI TANYA-JAWAB
Dalam diskusi ini ada dua pertanyaan terbaik yang dipilih, yaitu:
1.
Dari
Tegar - IMM UMS
Pertanyaan:
“Saya mau nanya, untuk vn tadi dikatakan tentang revolusi mental.
Yang dimaksud revolusi mental ini lebih mengarah kemana?, dengan keadaan yang
sekarang bahwa kurikulum yg di ajarkan berkesan tidak kokoh atau masih tidak
pasti, apakah revolusi mental yg dimaksud bisa teratasi? Lantas kalau kita singgung
dengan cara pendidikan Islam, apakah apa perlu dirubah lagi kurikulum dan cara
mengajar secara keseluruhan demi
terciptanya murid yang berakhlaq seperti yang di katakan tadi?”
Jawaban:
Istilah revolusi mental pertama digaungkan pada masa Pilpres 2014.
Revolusi mental pada masa tersebut adalah ke semua lini. Namun, pada masa ini
revolusi mental saya arahkan pada dunia pendidikan, yaitu akhlaqul karimah
seperti yang tadi saya sampaikan. Pada zaman ini, tidak sedikit saya dapatkan
mahasiswa (terutama semester satu dan dua), masih membawa gaya-gaya SMA,
seperti ribut di kelas, tidak memperhatikan pelajaran, dan mengganggap segala
hal mudah. Dari sinilah yang menurut saya, akhlak generasi sudah terkikis, maka
hal inilah yang perlu di revolusi. Maka, akhlak itu di manapun tempatnya perlu
diutamakan.Berikutnya, terkait perubahan kurikulum, saya rasa kita tidak dapat
berbicara lebih jauh terkait kurikulum. Karena hal ini merupakan kebijakan yang
sangat central dari pusat ke daerah. Tetapi penerapan nilai-nilai moral dan
akhlak, baik itu kurikulum yang saat ini berlaku atau kedepannya akan diganti, menurut
saya tidak boleh dihilangkan. Jadi, perlu diajarkan pada siswa bahwa akhlak
perlu diterapkan. Ironisnya, masih sering saya lihat banner-banner di fakultas
ataupun kampus yang bertuliskan “Tata cara SMS atau WA mahasiswa dengan dosen”.
Dari sini terlihat bahwa akhlak mahasiswa masih rendah. Maka, pengajaran
nilai-nilai moral dan akhlak merupakan pendidikan yang tak terelakkan.
2.
Dari
Muh. Alfreda –STAIDA Bogor
Pertanyaan:
“KH Dewantara menjelaskan, bahwa pendidikan pada umumnya berarti
daya upaya untuk memajukan budi pekerti (karakter-kekuatan batin), pikiran
(intellect), dan jasmani anak-anak selaras dengan masyarakatnya. Lalu bagaimana
memaksimalkan ketiganya?. Berikutnya, di era milenial ini, generasi dihadapkan
oleh beragam tantangan. Bagaimanakah generasi milenial dapat turut mengambil
peran dalam dunia pendidikan dengan adanya ragam tantangan di era milenial ini?”
Jawaban:
Cara menerapkan adalah ketiganya adalah pertama dengan mengutamakan
budi pekerti (kekuatan batin) terlebih dahulu secara baik. Karena Rasulullah
saw pernah berpesan bahwa salah satu yang dapat membuat sombong seseorang
adalah ilmu. Maka, akhlak (budi pekerti) merupakan hal yang diutumakan, baru
kemudian pikiran, dan jasmani. Meski demikian, ketiganya perlu diselaraskan,
seperti apa yang dikatakan KH.Dewantara. Inilah yang menjadi bekal generasi
milenial untuk menghadapi tantangan, apakah ia akan tergerus oleh budaya, atau
memaksimalkan potensi. Tantangan pasti ada. Seperti sebuah pepatah “tidak ada
pelaut yang tangguh itu tidak lahir dari laut yang tenang”. Paling tidak
generasi milenial harus berupaya menghadapi tantangan. Karena dibalik
tantangan, pasti ada peluang. Jangan buntu pada sebuah tantangan, fokuslah juga
pada peluang. Analoginya adalah jika kita memiliki uang satu juta, hilang 100
ribu, maka janganlah terlalu fokus pada uang yang hilang itu. Kita masih
memiliki uang 900 ribu yang dapat digunakan untuk hal-hal lainnya. Milikilah
jiwa pemimpin, berupayalah menjadi kepala, seperti sebuah pepatah “lebih baik
menjadi kepala teri, daripada menjadi ekor paus”. Maka sibuklah mencari peluang
disamping menghadapi tantangan yang ada.
Penutup
Dalam closising statementnya, Syahrul membacakan potongan ayat 9
dalam Surah An-Nisa’ yang artinya, “Dan hendaklah takut (kepada Allah)
orang-orang yang sekiranya meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka
yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya.” . Ayat tersebut
merupakan pesan untuk kita semua, terutama orang tua, dosen, guru, serta
seluruh generasi milenial, yakni hendaknya kita takut jika generasi-generasi
berikutnya lemah. Lemah yang dimaksud dalam ayat ini ialah lemah dalam hal
ekonomi. Namun, jika dikontekstualisasikan pemaknaannya dalam hal pendidikan,
yaitu lemah secara intelektual dan lemah secara akhlak. Sehingga sebagai
senior, seluruh generasi milenial memiliki tanggung jawab moral bagi junior dan
generasi-generasi selanjutnya dapat lebih baik. Dikatakan bahwa “Tidak ada guru
yang merasa malu ketika muridnya lebih sukses dari dirinya, tetapi banyak juga
guru yang malu ketika muridnya tidak melakukan apa yang seharusnya, atau bahkan
bertentangan dari apa yang sudah dididik dulu”. Jadi, merupakan kebanggaan
seorang guru ketika melihat murid sukses, atau bahkan melebihi kesuksesan
dirinya.
Kuntum khairu ummatin ukhrijat linnasi ta’muruuna bil ma’ruf, wa
tanhauna ‘anil munkar (QS. Ali
Imron: 110). Jika dikontekstualisasikan pemaknaannya, maka kita semua perlu
menyadari bahwa, “Kita semua adalah generasi terbaik di era ini. Maka, jadilah
generasi milenial yang terbaik, mulai dari ruang kelas, tingkat fakultas,
tingkat universitas, dan jika terjun di masyarakat, maka jadilah orang yang
baik, sehingga benar-benar menjadi qurrata a’yun bagi kedua orang tuanya”.
Ustadz Das’ad Latif mengatakan bahwa, “Jika orang tua ingin melihat nasibnya di
alam kubur nanti, maka lihatlah anak-anak dan generasinya saat ini”.
Pepatah Arab mengatakan: “Uthubil ‘Ilma minal Mahdi ilal Lahdi”
sebagai bukti bahwa tidak ada kata berhenti dalam dunia pendidikan dan menuntut
ilmu (Syahrul Mubarak, 2020).
Notulen: Afifatur Rasyidah INA
Komentar
Posting Komentar