Oleh: Immawan Alfandi Ilham
Muhammadiyah sebagai gerakan sosial-keagamaan yang berdiri lebih
dari satu abad lalu, telah memberikan banyak kontribusi sebagai upaya memajukan
agama, bangsa dan negara. Besarnya Muhammadiyah saat ini tidak terlepas dari
beratnya perjuangan yang dilakukan oleh pendirinya yaitu KH Ahmad Dahlan dan
para perintis generasi awal Muhammadiyah. Muhammad Darwis (nama kecil KH Ahmad
Dahlan) merupakan putra dari seorang Ketib Majid Gedhe Kauman yaitu KH Abu
Bakar dan ibu Siti Aminah. Beliau lahir pada 1 Agustus 1868 di Kauman
Yogyakarta yang merupakan tempat kediaman para ulama dan kyai Kraton
Yogyakarta. Kiai Dahlan sejak muda sudah memiliki semangat belajar yang tinggi,
tidak hanya itu beliau juga dikenal sebagai seorang yang lemah lembut, sabar
dan suka mengalah namun sangat teguh pendirian dan bertanggung jawab. Tujuh tahun
setelah kepulangan Kiai Dahlan dari Makkah dan setelah menikah dengan Siti
Walidah, ayah beliau KH Abu Bakar wafat. Setelah wafatnya sang ayah Kiai Dahlan
kemudian diangkat sebagai Ketib Amin oleh Kraton menggantikan ayahnya.
Setelah diangkat sebagai Ketib Amin, Kiai Dahlan banyak menyerukan
pembaharuan seperti gagasan beliau untuk meluruskan arah kiblat yang akhirnya
ditolak dan beliau pun dicap sebagai kiai kafir bahkan hingga dibakar surau
miliknya. Selain itu Kiai Dahlan juga menyerukan gagasan pembaharuan dengan
memurnikan agama dari syirik, bid’ah dan khurafat. Adapun beberapa bentuk
kegiatan bid’ah dan khurafat yang coba dihilangkan oleh Kiai Dahlan ialah, 1)
Selametan pada waktu ada yang meninggal (ngesur tanah), 2) Selametan pada waktu
ibu mengandung 7 bulan, 3) Selametan pada waktu kelahiran, 4) Pengkramatan pada
kuburan orang suci, 5) Upacara talqin. Kemudian, pada tahun 1910 Kiai Dahlan
membangun lembaga pendidikan yang mengkombinasikan pelajaran ilmu agama dengan
ilmu umum. Sebelumnya, ilmu agama hanya diajarkan di pondok-pondok pesantren
atau di surau-surau, sementara ilmu umum diajarkan di sekolah-sekolah yang
dibangun oleh Belanda. Kiai Dahlan menganggap bahwa kedua ilmu tersebut (ilmu
agama dan ilmu umum) sama pentingnya untuk dipelajari, maka beliau membuka
sekolah di ruang tamu rumahnya. Sekolah ini diresmikan pada 1 Desember 1911
dengan nama Madrasah Ibtidaiyyah Diniyyah Islamiyyah.
Pemikiran pembaharuan Kiai Dahlan yang modernis namun tetap
fundamentalis ini tentu tidak lepas dari keluasan ilmu yang telah
dipelajarinya. Kiai Dahlan mula-mula belajar agama dan bahasa Arab dengan
ayahnya, kemudian setelah dewasa beliau belajar dengan banyak ulama, seperti
belajar ilmu fikih dengan KH Muhammad Saleh, nahwu dengan KH Muhsin, ilmu falak
dengan KH Raden Dahlan, ilmu hadis dengan KH Mahfud dan Syaikh Hayyat, ilmu
qira’at dengan Syaikh Amin dan Syaikh Bakri Satock, ilmu pengobatan dan racun binatang
dengan Syaikh Hasan. Selain itu beliau juga pernah balajar dengan Syaikh Ahmad
Khatib al-Minangkabawi dan Imam an-Nawawi. Dalam perjalanan intelektualnya Kiai
Dahlan sangat mengagumi pemikiran Ibnu Taimiyah, Jamaluddin al-Afghani,
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, sehingga beliau mampu memperoleh pemahaman
tentang pembaharuan Islam yang modernis namun tetap fundamentalis.
Setelah banyak belajar dari organisasi Boedi Oetomo dan Jamiat
Khair yang mana Kiai Dahlan merupakan anggota dari kedua organisasi tersebut,
beliau membulatkan tekad untuk mendirikan perhimpunan atau persyarikatan demi
mewujudkan perjuangannya. Setelah berdiskusi dengan para sahabat dan juga
muridnya, maka diambil keputusan mendirikan persyarikatan dengan nama
Muhammadiyah. Muhammadiyah resmi berdiri pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H yang
bertepatan dengan 18 November 1912 M dengan sembilan pengurus inti, yaitu KH
Ahmad Dahlan (ketua), Abdullah Siraj (sekretaris), Ahmad, Abdul Rahman,
Muhammad, Sarkawi, Akis, Jaelani dan Muhammad Fakih sebagai anggota. Pada 20
Desember 1912 Kyai Haji Ahmad Dahlan mengajukan rechtpersoon surat
permohonan kepada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda agar Muhammadiyah diakui
sebagai organisasi berbadan hukum yang diakui oleh pemerintah. Permohonan itu
disetujui oleh pemerintah pada 22 Agustus 1914, izin tersebut hanya berlaku
untuk daerah Yogyakarta.
Perkembangan Muhammadiyah ternyata sangat cepat. Beberapa tahun
setelah berdiri saja, telah berdiri cabang-cabang Muhammadiyah. Di Srandakan,
Wonosari, Imogiri, dan lain sebagainya. Untuk menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan terjadi saat itu Pemerintah Hindia Belanda tidak merestui
perkembangan Muhammadiyah karena awalnya hanya diberikan izin untuk bergerak di
daerah Yogyakarta saja, akhirnya di luar Yogyakarta, cabang Muhammadiyah
berdiri dengan nama lain. Sebut saja Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di
Makassar, Ahmadiyah di Garut, dan perkumpulan SATF (Shiddiq, Amanah, Tabligh,
Fathonah) di Surakarta. Mulailah berturut-turut, Muhammadiyah mendirikan
sekolah. Di Karangkajen, Yogyakarta pada 1913, di Lempuyangan tahun 1915, di
Pasar Gedhe (Kota Gedhe) tahun 1916, dan seterusnya. Tahun 1918 didirikanlah
sekolah bagi calon guru agama yang dinamakan Qismul Arqa. Qismul Arqa
ini yang kemudian kelak menjadi Madrasah Mu’allimin dan Mu’allimaat
Muhammadiyah Yogyakarta. Pada 1915, majalah Soewara Moehammadijah diterbitkan,
menggunakan bahasa dan huruf Jawa. Majalah Soewara Moehammadijah dipimpin oleh
Haji Fachrodin, dengan anggota redaksi: KH Ahmad Dahlan, KH M. Hisyam, RH
Djalil, M. Siradj, Soemodirdjo, Djojosugito dan KRH Hadjid.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa berdirinya Muhammadiyah
diawali dari inisiasi sang pendiri yaitu KH Ahmad Dahlan yang kemudian didukung
oleh para sahabat dan juga muridnya. Kiai Dahlan dengan semangat tak kenal
lelah dan juga dengan keteguhan yang penuh pengorbanan mampu menjadikan
Muhammadiyah semakin dikenal dan memiliki banyak pengikut. Muhammadiyah yang
memiliki cita-cita mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya telah
melakukan banyak upaya dengan semangat tajdid yaitu memurnikan ajaran Islam
dari segala macam bentuk syirik, bid’ah dan khurafat serta melakukan dinamisasi
dengan mendirikan madrasah yang menggabungkan antara ilmu agama dan ilmu umum
juga mendirikan rumah sakit (PKO), panti asuhan bahkan mendirikan penerbit
Soewara Moehammadijah.
Tidak hanya itu Muhammadiyah sebagai kekuatan nasional sejak awal berdirinya
telah berjuang dalam pergerakan kemerdekaan, melalui para tokohnya yang terlibat
aktif mendirikan Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus
1945. Muhammadiyah memiliki komitmen dan tanggungjawab tinggi untuk memajukan kehidupan
bangsa dan negara sebagaimana dicita-citakan para pendiri bangsa. Para tokoh Muhammadiyah
seperti KH Ahmad Dahlan, KH Mas Mansyur, Ki Bagus Hadikusumo, Kahar Muzakkir,
Kasman Singodimedjo, Panglima Besar Jenderal Soedirman, Ir. Djuanda, dan
pemimpin-pemimpin lainnya, telah turut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan
dan menjadi bagian penting yang berperan-aktif dalam meletakkan fondasi Negara
Republik Indonesia. Kiprah Muhammadiyah tersebut melekat dengan nilai dan
pandangan Islam yang berkemajuan.
Sumber:
Nashir, Haedar, dkk. Indonesia
Berkemajuan: Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan Yang Bermakna. t.t: Pimpinan
Pusat Muhammadiyah, 2015.
Fakhruddin,
AR. Mengenal & Menjadi Muhammadiyah. Malang: UMM Press, 2005.
Mu’thi, Abdul, dkk. K.H. Ahmad
Dahlan (1868-1923). Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional, 2015.
Syoedja’, Muhammad. Cerita
Tentang Kiyai Haji Ahmad Dahlan: Catatan Haji Muhammad Syoedja’. t.t, t.th.
Dahlan,
Muh, “K.H Ahmad Dahlan Sebagai Tokoh Pembaharu”, Jurnal Adabiyah, 2014.
Komentar
Posting Komentar