Mengaji: Mewarisi Budaya
Seiring berkembangnya zaman, tidak sedikit orang yang mau menerima
praktik keagamaan yang didalamnya terdapat unsur seni dan budayanya. Alasan
yang sering dikemukakan adalah karena hal tersebut tidak pernah diajarkan oleh
Rasulullah SAW. Sehingga jika ada praktik seperti itu, mereka perlu meluruskan
dan mengingatkan untuk kembali pada apa yang telah diajarkan rasulnya.
Pada dasarnya, pemahaman terhadap sesuatu tidak bisa dilakukan
secara tekstual. Islam sendiri merupakan ajaran agama yang datang di era akhir,
sebelumnya telah ada agama yang berkembang di Nusantara (Jawa khususnya)
sehingga bukan tidak mungkin para mubaligh melakukan penghapusan secara
besar-besaran. Akan tetapi, lebih untuk menghargai, menghormati dan menjaga
keharmonisan masyarakat yang telah dibangun sebelumnya, mubaligh enggan
melakukannya.
Dengan tanpa menyingkirkan kajian yang juga mengandung
nilai ilmiah, keadaan menyatakan bahwa ada perbedaan antara kondisi sosial
waktu al-Qur’an diturunkan dengan keadaan masyarakat masa kini. Dengan
demikian, untuk mengisi kekosongan kajian yang berhubungan dengan realitas
masyarakat yang berinteraksi dengan al-Qur’an dengan persepsi yang
berbeda-beda, dibutuhkan arah baru atau tawaran metodis.
Simuh dalam bukunya Interaksi Islam dan Budaya Jawa,
menyebutkan islam di Jawa dihadapkan dengan dua lingkungan budaya kejawen, sisa
lingkungan budaya istana (Majapahit) yang canggih dalam mengelola unsur unsur
Hinduisme Buddhaisme, dan budaya pedesaan (wong cilik) yang tetap hidup dalam
kegelapan animisme dan dinamisme.[1]
Dengan melihat hal tersebut, tugas muballigh (walisongo) dalam mensyiarkan
Islam dirasa bertambah, sehingga butuh kreasi yang persuasif untuk menarik masyarakat.
Muncul lah kosakata yang bernama seni, tradisi yang terdengar melekat di
telinga orang jawa.
lnilah Islam. Islam adalah agama universal yang unik
dan ekslussif. Akhirnya apapun cara dan metologinya, tindakan kompromis antara
Islam dengan ajaran lain, kata Sayyed Hossein Nasr, adalah tindakan defensive
dan apologetik dari kaum Muslimin modern dalam menghadapi mode mode pemikiran
yang sedang populer yang hampir sama dengan perubahan-perubahan musiman. Yang
lanjut beliau, dikatakannya karena miskinnya sikap añalitik (kritis) dan
semangat obyektif.
Yusuf
al-Qaradhawi mengatakan dalam bukunya Islam dan Kesenian ini merupakan
terjemahan dari karya aslinya yang berbahasa Arab, Al-Islam wa al-Fann,
karya Dr. Yusuf al-Qaradhawi yang terbit di Mesir; sebuah buku yang termasuk
langka di Indonesia. Materi yang dibahasnya, yaitu seni dan kesenian, tradisi,
budaya yang dapat membuka cakrawala baru dalam penalaran hukum pada saat
sebagaian ulama di negeri Mesir selama ini berpijak pada konvensi lama yang banyak
di jumpai dalam kitab kuning.[2]
[1] Simuh, Interaksi Islam dan Budaya Jawa, dalam Anasom [Ed.], Merumuskan
Kembali Islam Jawa, (Yogyakarta: Gama Media), hlm. 32
Komentar
Posting Komentar