IMMmerupakan bagian dalam spirit dakwah yang sesuai dengan basis Muhammadiyah dalam Qur’an Surah Al-Imron ayat 104. Maka, sudah barang tentu, kader IMM harus mampu mentransformasikan nilai-nilai ke-Islam-an kepada mahasiswa khususnya dan masyarakat umumnya. Dengan kata lain, kader IMM harus merepresentasikan diri sebagai kader yang mengamalkan nilai ke-agamaan namun juga dalam eksistensinya sebagai suri tauladan.
Berdasarkan Anggaran Dasar (AD) BAB III tentang Tujuan dan Usaha (Pasal 7), yang berbunyi “tujuan IMM adalah mengusahakan terbentuknya akademisi islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah. Maka dapat diwujudkan dalam realisasi kegiatan pengkaderan IMM salah satunya. Kader diberi asupan mengenai pemahaman jati diri sebagai kader IMM dalam dua bentuk nilai, yaitu makna dan praksis. Makna, termasuk dalam bagian untuk memperkokoh fundamentalisme ke-Islaman, memperkenalkan dam menginternalisasi nilai-nilai ke-Muhammadiyahan, dan penyempurnaannya dengan kulturisasi ke-IMM-an. Sedangkan praksis, ialah bagaimana kader-kader melaksanakan nilai-nilai dan makna yang hidup dalam organisasi dan masyrakat.
Dalam hal ini, nilai makna dari religiusitas ialah ke-agamaan. Islam menjadi tumpuan utama dalam segala aspek hidup dan kehidupan setiap kader IMM. Islam menjadi falsafah, idiologi dan semangat perjuangan yang harus dipegang teguh. Maka sudah seharusnya dalam proses pengkaderan IMM, memastikan terlebih dahulu bahwa fondasi tersebut telah terbangun secara kokoh.
Tentu sangat mudah dipahami bukan materi-materi yang berorientasi pada ke-Islaman. Namun, bagaimana penerapan dan pengaplikasiannya itu masih sedikit dibandingkan pemahaman materinya. Dalam hal ini, penulis memandang nilai Ke-Islaman yang sering kali menjadi nilai remedy bersama. Terutama corak keilmuan dari seorang kader harus dipresentasikan dari identitas dirinya itu. Yah, identitas ke-agamaan yang menajadikan IMM anggun dalam moral. Karena nilai-nilai etik dan moral yang diterapkan kader itulah yang menjadi cerminan slogan diatas.
Generasi IMM di masa awal, justru sangat akrab dan kental dengan nilai-nilai religiusitas. Memperlihatan keanggunan dan kesantunan yang menjadikan IMM disegani oleh ormawa lainnya. Tentu, perlu adanya proses-proses yang harus dilewati. Salah satunya ialah menanamkan kembali kesadaran nilai-nilai religiusitas. Kembali ke masjid, minimal pemuda IMM punya peran sebagai muadzin, ataupun jama’ah solat. Juga salah satu tawaran penulis, ialah membudayakan mengaji sebelum rapat dan diskusi di mulai sembari menunggu teman-teman lain datang. Hal ini penulis katakan agar penantian dan waktu menunggu tidak terbuang dengan sia-sia.
Sebagai mahasiswa yang disibukkan dengan kuliah pun berikut dengan tugas-tugasnya, juga sebagai aktifis organisasi, barangkali masih terkendala membagi waktu dengan bacaan al-Qur’an. Hemat penulis ialah upaya ini untuk memperlihatkan kembali identitas IMM sebagai organisasi mahasiswa Islam yang tanggung jawab dalam ranah keagamannya yang telah tetuang dalam salah satu trilogy yaitu religiusitas.
Hal ini sejalan dengan cita-cita ikatan. Bahwa ikatan ini telah dideklarasikan untuk setiap kadernya agar memiliki moral yang baik dan intelektual yang unggul lagi berkualitas tentunya. Sudah menjadi sebuah keharusan dalam proses pengkaderan untuk menanamkan kultur IMM kedalam diri setiap kader. Kultur kagamaan, intelektual dan berdaya sosialdi tengah masyarakat. Tujuan dari kulturisasi ke-IMM-an tidak lain ialah agar setiap kader merasa memiliki IMM. Hal tersebut kemudian akan memberikan dampak positif yang lebih jauh, yaitu tertanamnya loyalitas, dedikasi dan kontribusi kader pada IMM. Sehingga setiap kader pada ahirnya bukan hanya menjadi sekadar kader yang resmi secara struktur IMM, melainkan kader yang bangga membawa serta menjaga nama baik IMM.
Komentar
Posting Komentar