Sufi menjadi salah satu fenomena
unik serta menarik dalam tradisi Islam. Mereka seolah menjadi pengikut kaum muhajirin
yang berdiam diri di serambi masjid pada masa Nabi (ahl al-Suffah). Tak
bekerja, kehidupan kesehariannya hanya untuk menyembah kepada Allah, Sang
Pemilik, Sang Pemberi Rizqi.
Pada mulanya, sufi –dalam
perkembangan tradisi Islam selanjutnya- muncul dari halaqah-halaqah, dimana
berkumpul orang-orang yang “haus akan Allah.” Halaqah-halaqah
tersebut kemudian berubah menjadi sebuah thariqat, yang secara
struktural-formal muncul pada abad ke sebelas Masehi. Syaikh Abdul Qadir
Jailani yang merupakan penganut Madzhab Hanbali, maha guru di Baghdad, menjadi
perintis, thariqat Qadiriyah adalah perwujudannya.
Sikap pasrah, frustasi, dan
ketidakberdayaan ummat Islam menjadi salah satu faktor mudahnya konsep sufisme
diterima khalayak ramai. Pasrah kepada Tuhan, berharap akan adanya pertolongan
Tuhan, berkhalwat, menunggu hingga datangnya sang penyelamat ummat, Imam Mahdi,
yang akan menghilangkan kesengsaraan, yang membebaskan. M. Arkoun menyebut sikap keberpasrahan diri ini
dengan Determinisme Islam. Tak pelak sufi menjadi kebutuhan emosional
jiwa Ummat Islam, utamanya masyarakat awam.
Perkembangan sufisme semakin hari
semakin merajalela, menyebar ke segala penjuru dunia. Kekalahan ummat Islam
–Daulah Abbasiyah- oleh tentara mongol dengan pimpinannya Hulaghu Khan menjadi
titik tolak bagi mereka. Gerakan mereka dilakukan secara massif. Arabia, sebagian
Afrika, dan bahkan Asia menjadi sentral perkembangan dan perkumpulan.
Dalam kebanyakan kasus, kehidupan
rohani kelompok sufi berporos pada penghormatan dan ketaatan pada syaikh, guru,
pembesar. Makam-makam kuno dipuja. Mereka terkadang keluar dari jalur Islam, juga
bertentangan. Ajaran dan prinsip moral mereka banyak berasal dari sumber
yang berbeda, diluar Islam, -kristen, India, Iran- menjadi pemasok dalam dunia tasawuf pada
masa perkembangannya. Salah satu contohnya adalah Yoga, sebuah rutinitas
ataupun tradisi yang dikenal oleh masyarakat India. Abu Yazid al-Bustomi, salah
seorang zahid, sangat terpengaruh oleh tradisi India tersebut. Selain
itu, pada abad keenam hijriah, Suhrawardi berupaya mengungkapkan kenikmatan
rahasianya dengan lambang dan dongeng khusus yang ia ambil dari dunia Persia
kuno.
Abad keenam dan ketujuh hijriah,
tak ada yang mampu mengatasi “guru besar” kaum sufi bumi Andalusia, Ibn Arabi
dengan konsep wihdatul wujud-nya. Ia mengembangkan irfan-nya
seputar rahasia-rahasia yang sifatnya menyeluruh
Salah satu rutinitas lain bagi
kelompok sufi adalah mengunjungi zawiyah –sebutan untuk pusat-pusat
halaqah/perkumpulan kelompok sufi oleh masyarakan Afrika Utara, sementara di
negeri-negeri Timur biasa dikenal dengan sebutan khanaqah-. Dipimpin
oleh syaikh, dengan secara bertahap dilakukuan latihan-latihan yang tujuannya
adalah membangkitkan dalam kesadaran jiwa apa yang disebut tahapan-tahapan
keadaan jiwa dalam meleburkan diri dalam Allah. Latihan tersebut dapat berupa
dzikir, juga tarian suci kelompok sufi yang dikenal luas bukan saja oleh ummat
Islam, namun juga oleh ummat non-Islam. Tarian tersebut dilakukan oleh
“darwisy-darwisy berpusing”, yaitu para pengikut Jalaluddin al-Rumi.
Setelah mengamati dan mengerti
ajaran serta kegiatan-kegiatan kelompok sufi, Fuqaha dan Ulama kemudian mengambil
sikap hati-hati, waspada, dan ada pula yang ekstrem. Seperti yang kita ketahui, banyak kaum sufi yang
kemudian diadili dan tak jarang berlanjut hukuman mati. Hal tersebut lantaran
pengungkapan pengalaman spiritual pribadi seorang sufi kepada khalayak ramai.
Dianggap aneh, mustahil, bertentangan, sesat.
Pada tahun 309 H/922 M misalnya,
ibn Manshur al-Hallaj diadili dan disalib karena konsep hulul-nya. Suhrawardi
dibunuh di Halb (Aleppo) atas instruksi penguasa saat itu, Shalahuddin
al-Ayyubi. Selanjutnya, salah seorang mujtahid, Ibn Taimiyah mengambil sikap
keras terhadap tasawuf. Demikian juga kaum Wahabi, yang menganggap tasawuf
sebagai penyimpangan dari Iman dan Islam yang murni.
Terlepas dari itu, terdapat kontradiksi
baik di kalangan Islam Sunni maupun Islam Syi’i mengenai kedudukan Tasawuf.
Kajian terhadap tasawuf menurut penurut penulis menjadi sangat menarik. Ada
tarik-ulur, antara mereka yang menerima dan setuju dengan mereka yang menolak.
Al-Ghazali, sebagai salah seorang
tokoh tasawuf diterima di kalangan Islam Sunni, karya-karyanya banyak dikaji
dan menjadi rujukan. Sedangkan dalam tradisi Islam Syi’i, selama masa yang panjang,
fuqaha Syi’ah dengan lantang menentang adanya tasawuf. Asumsinya, ia merupakan
pelanggaran terhadap hak prerogatif para Imam mengenai kesatuan dengan Allah
dan rahasia-rahasia ke-Tuhan-an. Menurut mereka, hal tersebut hanyalah hak bagi
para imam saja. Namun disisi lain, Ibn ‘Arabi dengan wihdatul wujud-nya
ternyata mampu menyajikan keserasian antara Syi’ah dan Tasawuf. Hal demikian
juga berlaku bagi Jalaluddin al-Rumi. Kaum syi’ah telah lama mengagumi matsnawi-nya
Rumi. Mereka menganggap matsnawi tersebut sebagai salah satu karya
sastra terbesar.
Perbedaan masa, tempat, dan
kelompok, memunculkan adanya perbedaan tanggapan. Setelah sebelumnya penulis
telah menunjukkan sikap Ibn Taimiyah dan kaum Wahabi, maka mujaddid yang
berkiprah di abad 19 dan 20 M juga mempunyai pandangan yang sama. Islam modern
pada dasarnya mengajak untuk adanya pembaharuan, bukan hidup dengan gaya sufi. Yang lebih ekstrem,
Muhammad Abduh menuduh bahwa kelompok sufi telah membuat Islam menjadi banci.
Mereka berusaha memerangi
thariqat. Peringatan untuk memberitahukan bahaya sufisme sering dikumandangkan.
Karena dalam perjalanannya, banyak thariqat, yang secara paksa, menjadikan
nilai-nilai kerohanian dirasuki oleh kegiatan-kegiatan yang menjerumuskan,
menyesatkan. Mereka pada umumnya menganggap bahwa itulah jalan kesufian
sebenarnya.
Sebagian ummat Islam Pakistan,
India, dan Iran ternyata masih setuju dengan konsep sufisme. Namun berbeda
halnya dengan Turki, yang secara resmi melarang thariqat sufi sejak tahun 1924,
demikian juga al-Jazair.
Pergumulan yang disemai oleh
sejarah tasawuf tak syak lagi ditafsirkan sebagai ketakutan akan terjadinya
perkeliruan antara cinta kepada Tuhan dengan cinta kepada nafsu badani. Dan kini, tasawuf hanyalah sebuah jendela terbuka yang berada dihadapan
jiwa-jiwa yang pasrah kepada Tuhan
Akhirnya, menurut penulis, proses
mendekatkan diri kepada Tuhan serta mencintai-Nya tidak harus dilakukan dengan
jalan seperti kelompok sufi, menyendiri. Allah berfirman (yang artinya), Dan
Kami lebih dekat kepadanya daripada urat leher (QS. Qaf: 16). Kita perlu
mendekat kepada-Nya, tapi juga harus diingat, tugas kita sebagai manusia dimuka
bumi adalah sebagai khalifah. Penyadaran diri bahwa kita hanyalah makhluq, yang selamanya tak akan mampu menggapai esensi Sang Khaliq. Penyeimbangan antara urusan duniawi dan
ukhrawi harus tetap dilakukan, jangan diselewengkan.(Siroj)
*Disadur dari buku karya M.
Arkoun dan Louis Gardet, Islam Kemarin dan Hari Esok, terj. Ahsin
Muhammad, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1997).
Komentar
Posting Komentar