“kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, serta beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 110)
Seiring dengan berjalannya waktu, Ummat Islam -secara umum- perlahan mulai meninggalkan agamanya. Meninggalkan agama disini bukan berarti berpindah ke agama lain atau bahkan tidak beragama, tetapi lebih kepada meninggalkan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Menjadi ummat terbaik, sebagaimana yang tercantum dalam surat Ali-Imron diatas tidak serta-merta dapat didapatkan tanpa melalui usaha, harus ada pemahaman terhadap al-Qur’an yang kemudian diamalkan dalam kehidupan.
Sebagaimana yang kita ketahui, al-Qur’an merupakan kitab suci ummat Islam, meninggalkannya sama saja dengan meninggalkan agamanya. Orang yang meninggalkan al-Qur’an, menurut Ibn Taymiyah, dibagi menjadi 3 (tiga) tipe. Pertama, orang yang tidak membaca al-Qur’an. Kedua, orang yang membaca al-Qur’an, tetapi tidak faham dengan apa yang dibaca. Ketiga, orang yang membaca al-Qur’an, kemudian ia faham, tetapi ia tidak mengamalkannya.
Pemahaman yang benar atas al-Qur’an –juga hadits- secara tidak langsung memberi pengaruh yang besar terhadap kehidupan sosial-keagamaan manusia. Fakta historis menyebutkan bahwa, al-Qur’an tidak diturunkan dalam ruang yang hampa, al-Qur’an diturunkan untuk menjawab permasalahan yang ada. Fakta tersebut menegaskan bahwa, selain bergerak dalam ranah teologis (vertikal), Islam juga sangat menganjurkan bagi setiap pemeluknya untuk tidak melupakan realita sekitarnya (horizontal).
Nabi Muhammad menjadi tokoh yang merepresentasikan kedua hal ini. Kembalinya Nabi Muhammad setelah perjumpaannya dengan Tuhan (peristiwa Isra’ Mi’raj) menunjukan bahwa, Nabi Muhammad selain diutus untuk menyelesaikan masalah keagamaan, juga diutus untuk menyelesaikan konflik sosial. Sekiranya beliau acuh terhadap realita disekitarnya, tentu beliau akan memilih untuk tidak kembali ke bumi dan kemudian menikmati masa-masa nikmat dengan Tuhannya.
Seorang mistikus Islam dari Gangga, India, bernama Abdul Quddus, tidak habis pikir dengan keputusan Nabi Muhammad, ia mengatakan bahwa, “Muhammad dari jazirah arab ke Mi’raj, ke langit yang setinggi-tingginya dan ‘kembali’. Demi Allah aku bersumpah, jika sekiranya aku sampai mencapai titik itu, pastilah sekali-kali aku tidak akan kembali lagi ke bumi.”
Kuntowijoyo memahami realita ini, dia hendak memanifestasikan konsep yang sebenarnya telah dipraktekkan oleh Nabi. Kuntowijiyo dalam hal ini mengalami keresahan terhadap realita kehidupan yang semakin hari semakin tergilas oleh tradisi hedon. Dari pemahaman atas konsep hablun min Allah wa hablun min an-Naas yang telah dipraktekkan Nabi serta keresahannya atas realita saat ini, muncullah sebuah gagasan yang dikenal dengan istilah Paradigma Profetik.
Dalam paradigma profetik Kuntowijoyo, setidaknya terdapat tiga aspek yang menjadi fokus kajian. Ketiga fokus kajian tersebut adalah, humanisasi, liberasi, dan transendensi. Ketiga aspek ini muncul dari pemahaman beliau terhadap Surat Ali-Imron ayat 110.
Humanisasi, merupakan pemahaman dari kalimat ta’muruna bil ma’ruf, yang saat ini lebih dikenal dengan istilah “memanusiakan manusia”, dengan cara mengajak manusia untuk mengembalikan fitrah kemanusiaannya kepada tempat yang semestinya. Konsep humanisme ini berbeda dengan konsep humanisme barat, yang cenderung meningkatkan derajat manusia di satu sisi, dan memarginalkan manusia di sisi lain (dehumanisasi).
Liberasi, merupakan pemahaman beliau terhadap kalimat tanhauna ‘ani al-munkar. Yang berarti pembebasan manusia dari berbagai macam bentuk penindasan. Sejatinya, Islam datang dengan membawa kebebasan bagi manusia. Sebagaimana kita ketahui, keadaan sosial pada masa pra-Islam sangat jauh bila dikatakan sebagai kehidupan yang bebas, diskriminatif, terutama kepada perempuan. Bagi petinggi suku atau pihak yang mempunyai kedudukan tinggi dalam masyarakat, mungkin mereka memang mempunyai kebebasan, tetapi apakah kebebasan hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang saja? Tentu bukan. Setiap manusia diberi kebebasan masing-masing, tanpa adanya keberpihakan, tanpa adanya pemerkosaan terhadap hak masing-masing individu.
Transendensi, konsep ini muncul atas pemahaman beliau terhadap kalimat tu’minuna billah, yang merupakan roh dari humanisasi dan liberasi. Dalam paradigma profetik kuntowijoyo, humanisasi dan liberasi tidak bermakna apapun jika tidak dilandasi prinsip Transendensi. Kepercayaan terhadap Tuhan serta ketunduk-pasrahan terhadap Tuhan menjadi modal utama untuk bisa melakukan pembebasan atas kaum tertindas. Dasarnya jelas, segala prinsip duniawi-ukhrawi telah termaktub dalam kitab suci. Adagium al-Qur’an shalih fii kulli zaman wa makan menegaskan hal tersebut.
Kiranya telah jelas maksud dari paradigma profetik kuntowijoyo, tinggal bagaimana kita memanifestasikannya di zaman yang –menurut penulis- seperti zaman dimana Rasulullah belum diutus, zaman Jahiliyah. Bisakah kita berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Hadits, dengan tanpa melupakan ranah sosial? Ataukah kita hanya mampu menjadi tokoh sufi yang sibuk dengan urusan pribadinya? Jawaban berada ditangan masing-masing individu. Penulis -sekali lagi- hanya mengingatkan, Nabi Muhammad diutus untuk menjadi tauladan, menegaskan akan pentingnya hablun min Allah wa hablun min an-Naas.
Seiring dengan berjalannya waktu, Ummat Islam -secara umum- perlahan mulai meninggalkan agamanya. Meninggalkan agama disini bukan berarti berpindah ke agama lain atau bahkan tidak beragama, tetapi lebih kepada meninggalkan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Menjadi ummat terbaik, sebagaimana yang tercantum dalam surat Ali-Imron diatas tidak serta-merta dapat didapatkan tanpa melalui usaha, harus ada pemahaman terhadap al-Qur’an yang kemudian diamalkan dalam kehidupan.
Sebagaimana yang kita ketahui, al-Qur’an merupakan kitab suci ummat Islam, meninggalkannya sama saja dengan meninggalkan agamanya. Orang yang meninggalkan al-Qur’an, menurut Ibn Taymiyah, dibagi menjadi 3 (tiga) tipe. Pertama, orang yang tidak membaca al-Qur’an. Kedua, orang yang membaca al-Qur’an, tetapi tidak faham dengan apa yang dibaca. Ketiga, orang yang membaca al-Qur’an, kemudian ia faham, tetapi ia tidak mengamalkannya.
Pemahaman yang benar atas al-Qur’an –juga hadits- secara tidak langsung memberi pengaruh yang besar terhadap kehidupan sosial-keagamaan manusia. Fakta historis menyebutkan bahwa, al-Qur’an tidak diturunkan dalam ruang yang hampa, al-Qur’an diturunkan untuk menjawab permasalahan yang ada. Fakta tersebut menegaskan bahwa, selain bergerak dalam ranah teologis (vertikal), Islam juga sangat menganjurkan bagi setiap pemeluknya untuk tidak melupakan realita sekitarnya (horizontal).
Nabi Muhammad menjadi tokoh yang merepresentasikan kedua hal ini. Kembalinya Nabi Muhammad setelah perjumpaannya dengan Tuhan (peristiwa Isra’ Mi’raj) menunjukan bahwa, Nabi Muhammad selain diutus untuk menyelesaikan masalah keagamaan, juga diutus untuk menyelesaikan konflik sosial. Sekiranya beliau acuh terhadap realita disekitarnya, tentu beliau akan memilih untuk tidak kembali ke bumi dan kemudian menikmati masa-masa nikmat dengan Tuhannya.
Seorang mistikus Islam dari Gangga, India, bernama Abdul Quddus, tidak habis pikir dengan keputusan Nabi Muhammad, ia mengatakan bahwa, “Muhammad dari jazirah arab ke Mi’raj, ke langit yang setinggi-tingginya dan ‘kembali’. Demi Allah aku bersumpah, jika sekiranya aku sampai mencapai titik itu, pastilah sekali-kali aku tidak akan kembali lagi ke bumi.”
Kuntowijoyo memahami realita ini, dia hendak memanifestasikan konsep yang sebenarnya telah dipraktekkan oleh Nabi. Kuntowijiyo dalam hal ini mengalami keresahan terhadap realita kehidupan yang semakin hari semakin tergilas oleh tradisi hedon. Dari pemahaman atas konsep hablun min Allah wa hablun min an-Naas yang telah dipraktekkan Nabi serta keresahannya atas realita saat ini, muncullah sebuah gagasan yang dikenal dengan istilah Paradigma Profetik.
Dalam paradigma profetik Kuntowijoyo, setidaknya terdapat tiga aspek yang menjadi fokus kajian. Ketiga fokus kajian tersebut adalah, humanisasi, liberasi, dan transendensi. Ketiga aspek ini muncul dari pemahaman beliau terhadap Surat Ali-Imron ayat 110.
Humanisasi, merupakan pemahaman dari kalimat ta’muruna bil ma’ruf, yang saat ini lebih dikenal dengan istilah “memanusiakan manusia”, dengan cara mengajak manusia untuk mengembalikan fitrah kemanusiaannya kepada tempat yang semestinya. Konsep humanisme ini berbeda dengan konsep humanisme barat, yang cenderung meningkatkan derajat manusia di satu sisi, dan memarginalkan manusia di sisi lain (dehumanisasi).
Liberasi, merupakan pemahaman beliau terhadap kalimat tanhauna ‘ani al-munkar. Yang berarti pembebasan manusia dari berbagai macam bentuk penindasan. Sejatinya, Islam datang dengan membawa kebebasan bagi manusia. Sebagaimana kita ketahui, keadaan sosial pada masa pra-Islam sangat jauh bila dikatakan sebagai kehidupan yang bebas, diskriminatif, terutama kepada perempuan. Bagi petinggi suku atau pihak yang mempunyai kedudukan tinggi dalam masyarakat, mungkin mereka memang mempunyai kebebasan, tetapi apakah kebebasan hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang saja? Tentu bukan. Setiap manusia diberi kebebasan masing-masing, tanpa adanya keberpihakan, tanpa adanya pemerkosaan terhadap hak masing-masing individu.
Transendensi, konsep ini muncul atas pemahaman beliau terhadap kalimat tu’minuna billah, yang merupakan roh dari humanisasi dan liberasi. Dalam paradigma profetik kuntowijoyo, humanisasi dan liberasi tidak bermakna apapun jika tidak dilandasi prinsip Transendensi. Kepercayaan terhadap Tuhan serta ketunduk-pasrahan terhadap Tuhan menjadi modal utama untuk bisa melakukan pembebasan atas kaum tertindas. Dasarnya jelas, segala prinsip duniawi-ukhrawi telah termaktub dalam kitab suci. Adagium al-Qur’an shalih fii kulli zaman wa makan menegaskan hal tersebut.
Kiranya telah jelas maksud dari paradigma profetik kuntowijoyo, tinggal bagaimana kita memanifestasikannya di zaman yang –menurut penulis- seperti zaman dimana Rasulullah belum diutus, zaman Jahiliyah. Bisakah kita berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Hadits, dengan tanpa melupakan ranah sosial? Ataukah kita hanya mampu menjadi tokoh sufi yang sibuk dengan urusan pribadinya? Jawaban berada ditangan masing-masing individu. Penulis -sekali lagi- hanya mengingatkan, Nabi Muhammad diutus untuk menjadi tauladan, menegaskan akan pentingnya hablun min Allah wa hablun min an-Naas.
Komentar
Posting Komentar