DIALEKTIKA MANUSIA MODERN DAN TRADISI ISLAM (Meninjau Tajdid KH. Ahmad Dahlan dan Seyyed Hossein Nasr)
Oleh : Reni Puspita Dewi[1]
Peradaban
barat modern merupakan peradaban yang
secara materi telah berhasil membawa umat manusia ketingkat kemajuan dan keberhasilan
secara materi. Peradaban modern telah berhasil membuktikan eksistensi manusia
sebagai makhluk lebih unggul ketimbang makhluk manapun di bumi ini. Namun,
berbagai kemajuan tersebut yang dicapai ternyata tidak cukup untuk lebih
memposisikan manusia sebagai manusia. Manusia malahan seperti kehilangan
identitas kemanusiaanya dan kini nilai manusia sudah dalam posisi yang sudah
sangat “menyedihkan” karena kini manusia bisa diatur oleh seperangkat peralatan
mekanik yang diciptakannya sendiri.
Peradaban
modern juga semakin menggelapkan hati manusia dan semakin menempatkan posisi
manusia dalam kemajuan yang semu belaka. Apa yang telah menjadi keberhasilan
manusia modern tidak lantas kemudian semakin mendekatkan manusia pada Tuhan
yang secara hakikat ada dibelakang segala keberhasilan umat manusia, kemajuan
peradaban modern justru telah menggiring manusia pada kesombongan. Dan puncak
dari kesombongan itu adalah klaim bahwa manusialah yang telah menjadikan segala
keberhasilan yang selama ini dicapai, sementara Tuhan tidak memiliki andil
apapun. Malahan banyak diantara mereka yang kemudian karena kesombongan dan
karena tertipu paham rasionalisme dan materialisme berkesimpulan bahwa Tuhan
adalah sesuatu yang absurd.
Apakah kita masuk pada karakter manusia seperti
disebutkan di atas? Jika ia, kapankah kita akan memulai untuk merubah itu
semua? Dan jika bukan, apa yang menjadikan manusia itu sendiri menafikan
realita buruk itu pada sesama makhluk berfikir ini?
-r-
Gerakan tajdid[2] merupakan respon tindakan
atas adanya penyimpangan. Membaca pengantar di
atas, mungkin menjadi koreksi bagi kita untuk menemukan solusi daripadanya.
Kualitas umat Muslim yang mulai menyampingkan tradisi Islam, mungkin menjadi alasan
mudahnya terjadi dominan tradisi barat. Perbedaan terlihat jelas ketika dibandingkan
tradisi Muslim di masa Nabi saw dan shahabat dalam merespon Al Qur’an
dan masa sekarang.[3]
-e-
KH. Ahmad Dahlan adalah
tokoh yang tidak banyak meninggalkan tulisan,beliau lebih menampilkan sosoknya
sebagai manusia amal atau praktisi. Sebagai wujud kongkrityang
dicetuskan beliau yaitu Muhammadiyah yang sampai sekarang masih eksis.
Adapun metode yang ditawarkan KH. Ahmad Dahlan merupakan sintesis antara
metode pendidikan Belanda dengan metode pendidikan tradisional.[4]
Amal usaha Muhammadiyah merupakan refleksi dan manifestasi pemikiran beliau dalam
bidang pendidikan dan keagamaan. Istilah pendidikan disini dipergunakan dalam konteks yang luas tidak hanya terbatas pada
sekolah formal tetapi mencakup semua
usaha yang dilaksanakan secara sistematis untuk mentransformasikan
ilmu pengetahuan, nilai dan keterampilan dari generasi terdahulu kepada
generasi muda. Dari sana diharapkan dapat lahir individu yang utuh menguasai
ilmu agama dan ilmu umum, material dan spiritual serta dunia dan akhirat.
-n-
Sayyed
Hossein Nasr adalah orang yang telah sekian lama hidup dan akrab dengan dunia modern
yang tetap istiqamah dalam pendiriannya, dan tidak tertipu oleh kemajuan semu
peradaban modern. Ia menggelorakan semangat tajdid, yaitu seruan agar umat
Islam tidak tertipu oleh peradaban barat, dan kembali pada nilai-nilai tradisi
Islam, yang dilandasi oleh Al-Qur’an
dan al-Hadits. Semangat pembaruan atau tajdid ini kemudian kita yang kenal
dalam bahasa Nasr sebagai Islam tradisi.
Pemikiran
Seyyed Hossein Nasr yakni tentang tradisi Islam di tengah modernitas merupakan
kritik terhadap pola pikir modernitas yang mengagungkan rasionalitas dalam
segala hal. Menurut
pemikiran Seyyed Hossein Nasr bahwa pola pikir yang demikian akan membawa
manusia kepada keterambangan dan tidak punya tujuan hingga menjadikan hidup
manusia jauh dari kebahagian.
Tradisi
ibarat pohon yang akarnya terbenam dalam hakekat ilahi dan dari pohon itulah
tumbuh batang dan rantingnya yang tumbuh sepanjang masa. Tradisi yang
ditawarkan oleh Seyyed Hossein Nasr ini merupakan versus paham modern yang
melepaskan diri dari ilahi dan dari prinsip-prinsip abadi yang dalam
realitasnya mengatur segala sesuatu.
Nasr berpendapat bahwa pembaruan tidak bisa hanya dilakukan dari
sisi materi saja, tetapi juga yang paling dasar adalah melakukan perubahan dari
dalam dirinya sendiri, untuk kemudian ia melakuan pembaruan terhadap realitas
yang ada disekitarnnya.
Islam tradisi tidak berarti menutup diri terhadap kemajuan, malahan Islam merupakan
agama yang menyuruh umatnya untuk maju dan mengelola segala potensi yang telah
diberikan Tuhan untuk manusia dan menyadari hakekat keberadaan dirinya di muka
bumi ini, dengan bersandar dan mengadabkan pribadi serta
mengkualitaskan interaksi dengan Al Qur’an semata untuk beribadah dan menghambakan dirinya pada Tuhan.[5]
Bagaimana dengan pendapat anda?
[2]Menurut Yusuf Qardhowi tajdid diartikan “pembaruan, modernisasi” yakni
upaya mengembalikan pemahaman agama kepada kondisi semula sebagaimana masa
nabi. Ini bukan berarti hukum agama harus persis seperti yang terjadi pada
waktu itu, melainkan melahirkan keputusan hukum untuk masa sekarang sejalan
dengan maksud syar’i dengan membersihkan dari unsur-unsur bid’ah, khurafat dan
pikiran-pikiran asing.
[4] pendidikan
sekolah model Belanda merupakan pendidikan “sekuler” yang di dalamnya tidak diajarkan
ilmu agama sama sekali.Pelajaran di sekolah ini menggunakan huruf latin. Dan di dalam system pendidikan tradisional
(pesantren saat itu) tidak diajarkan sama sekali pelajaran dan pengetahuan
umum serta menggunakan tulisan latin.
[5]Al Qur’an Surat Adz Dzaariyat 56.
Ikmawati, lebih
lah professional dalam menanggapi realitas yang ada, bukan untuk menyaingi
pemimpin kaliyan tapi untuk membantu mereka beristiqomah dan lebih baik.
[7] Ikmawati, lebih lah
professional dalam menanggapi realitas yang ada, bukan untuk menyaingi pemimpin
kaliyan tapi untuk membantu mereka beristiqomah dan lebih baik.
Komentar
Posting Komentar