Langsung ke konten utama

Beragama dalam Perspektif Kaum Terdidik*



“Latushalliyanna ahad al-ashra illa fi bani quraizah!”[1] begitu pesan sang Nabi kepada sekelompok pasukan yang diutus ke Bani Quraizah. Maka berangkatlah mereka ke tempat tujuan. Sampai di tengah perjalanan, tibalah waktu shalat ashar. Tanpa bermaksud untuk menunda-nunda waktu shalat apalagi alasan malas, mereka masih tetap berjalan sesuai dengan sabda sang Nabi untuk tidak shalat kecuali ketika sudah sampai di perkampungan Bani Quraizah. Namun, sebagian shahabat memilih untuk shalat di pinggir jalan ketika itu, khawatir matahari akan segera tenggelam. Selain jarak waktu shalat ashar ke shalat magrib sangat singkat, juga karena jarak ke perkampungan Bani Quraizah masih sangat jauh.Sementara shahabat lainnya tetap kukuh dengan perkataan sang Nabi untuk shalat sesampai di tempat yang dituju. Sampai disana ternyata waktu magrib telah tiba, lalu mereka tetap melaksanakan kewajiban shalat ashar, baru shalat magrib.

Setelah misi mereka di perkampungan Bani Quraizah selesai, kembalilah pasukan ini ke hadapan sang Nabi. Sampai kemudian dilaporkanlah kejadian yang mereka alami dalam perjalanan kepada Nabi. Apa yang terjadi? Mungkin kita akan menebak pasti Nabi akan memarahi mereka yang tidak taat pada perintah beliau. Atau mungkin kita akan menghakimi bahwa kelompok shahabat yang terus berjalan dan shalat di perkampungan Bani Quraizah adalah mereka yang benar dan mendapat legitimasi dari Nabi Saw.
Tapi, respon Rasul berbeda dari yang kita duga. Beliau tersenyum. Itulah isyarat kerelaan beliau kepada kedua kelompok shahabat ini. Baik kelompok yang shalat di perkampungan Bani Quaizah maupun yang shalat di perjalanan mendapat apresiasi dari sang Nabi. Kedua kelompok ini sama-sama mendapat pesan yang sama, namun pemahaman mereka terhadap ucapan“Latushalliyanna ahad al-ashra illa fi bani quraizah!” berbeda. Kelompok pertama menganggap sabda sang Nabi supaya tetap shalat di perkampungan Bani Quraizah, tak peduli bagaimana kondisi ketika mereka tiba disana nantinya. Kelompok ini memahami perkataan sang Nabi secara tekstual. Sementara sebagian shahabat lainnya menganggapi secara konstektual. Mereka memahami pesan sang Nabi saw. supaya bersegera dalam perjalanan, sehingga sampai disana sebelum waktu shalat ashar selesai. Sedangkan waktu shalat tidak bisa berpindah, shalat ashar tetap harus dilaksanakan ketika waktu ashar tiba, shalat magrib harus dilaksanakan ketika waktu magrib tiba.

***
Kisah tersebut memberi inspirasi bahwa dari satu teks sabda yang sama, diucapkan di waktu dan tempat yang sama, namun bisa melahirkan pemaknaan yang berbeda. Perbedaan pemahaman tersebut merupakan fitrah kemanusiaan. Karena manusia diberikan  potensi akal, potensi otak, potensi untuk berpikir. Jika tanpa itu semua, maka hidup manusia mungkin akan seperti binatang yang dikendalikan oleh insting/naluri. Tak ada bedanya manusia dengan binatang yang kehidupannya begitu membosankan, yang kehidupannya tidak mempunyai tujuan. Kehidupan tanpa akal tidak akan melahirkan warna-warni kehidupan. Dunia dipenuhi oleh satu pemahaman, satu bentuk rumah yang sama, satu ilmu yang selalu sama, satu nama yang sama, satu cerita yang sama. Ah. Betapa tak bisa dibayangkan semua kesamaan itu.
Islam sebagai agama yang universal mengakomodasi semua potensi keragaman manusia itu dengan memberikan batasan dan aturan tertentu. Batasan tersebut tidak bermaksud untuk menghalangi atau mengurung manusia dalam sebuah ligkaran sempit. Namun justru batasan dan aturan yang Tuhan berikan adalah untuk lebih memanusiakan manusia. Karena pada dasarnya Pencipta selalu lebih tahu tentang semua seluk beluk apa yang dia ciptakan. Maka sangat wajar jika Tuhan yang menciptakan manusi juga membuat petunjuk bagi manusia, itulah agama. Ya. Agama lahir untuk kebaikan dan kemudahan bagi manusia.Kebutuhan manusia terhadap agama bagaikan kebutuhan untuk mempertahankan kehidupan itu sendiri. Karena agamalah nantinya yang akan melegitimasi keselamatan dan keberlangsungan hidup di dunia dan di akhirat.
Dalam sejarah kehidupan manusia, hampir dipastikan semuanya mempunyai ketergantungan kepada agama. Ketika  terjadi  konfrontasi  antara  ilmuwan  di Eropa dengan Gereja, ilmuwan meninggalkan agama, tetapi tidak lama kemudian mereka  sadar  akan  kebutuhan kepada pegangan yang pasti, dan ketika itu, mereka menjadikan "hati nurani" sebagai alternatif pengganti  agama.  Namun  tidak lama kemudian mereka menyadari bahwa  alternatif  ini,  sangat  labil,  karena  yang  dinamai "nurani"   terbentuk   oleh   lingkungan  dan  latar  belakang pendidikan, sehingga nurani Si A dapat berbeda  dengan  Si  B, dan  dengan  demikian  tolok  ukur  yang  pasti menjadi sangat rancu.[2]
Islam merupakan sebuah agama yang bisa diibaratkan sebagai payung besar, tempat bernaung ketika hujan dan panas. Islam secara bahasa berarti damai, selamat. Maka pada dasarnya kehadiran agama adalah membawa kedamaian, keamanan, dan keselamatan dalam kehidupan manusia. Aneh jika ada yang mengaku beragama, namun kemudian saling mencaci, saling menyalahkan. Tidak masuk akal jika ada orang ang mengaku beragama lalu saling menumpahkan darah antar sesama. Agama sejatinya adalah untuk menyatukan semua umat manusia, bahkan dengan tetap mempertahankan perbedaan-perbedaan yang ada.
Allah kemudian menurunkan banyak Nabi untuk membimbing manusia ke jalan keselamatan. Banyak Nabi tentu melahirkan banyak syariah, banyak tata cara beragama dalam setiap komunitas sesuai dengan masanya. Dalam komunitas yang memilki budaya sihir, maka diturunkan Nabi Musa yang diberikan mukjizat tongkat berubah menjadi ular, melenakan para tukang sihir Firaun. Dalam komunitas yang menganut budaya keserakahan terhadap materi, maka diturunkan Nabi Sulaiman yang diberikan harta berlimpah, melenakan ratu Balqis yang kaya dan cantik jelita. Dalam komunitas yang maju ilmu kedokteran, diturunkan Nabi Isa yang diberikan kemampuan untuk mengobati penyakit buta dan sopak. Sementara dalam komunitas yang sudah maju pengetahuan dan sastranya maka diturunkannya Nabi Muhammad yang diberikan al-Quran, yang dengannya mampu melahirkan banyak teori ilmu pengetahuan dan mengalahkan karya para sastrawan.
Sejarah keberagaman dalam Islam sudah dimulai sejak masa Nabi Saw. –sebagaima dalam kisah di atas—demikian halnya dimasa shahabat dan thabiin. Nabi juga telah memberikan teladan cara menanggapi keberagaman dalam beragama. Intinya adalah menjaga kedamaian dan keselamatan bagi semua. Nabi mengakui adanya perbedaan pemahaman selama itu berdasarkan pada logika berpikir yang benar dan tidak mengada-ada.
Tidak salah ketika seseorang menyakini suatu kebenaran yang dia anut, yang salah adalah ketika kemudian kita menganggap bahwa hanya dialah satu-satunya yang paling benar dan menganggap selain pendapatnya adalah salah (truthclaim).Sikap mengklaim diri sendiri yang paling benar merupakan bentuk pengingkaran kepada fitrah beragama itu sendiri. Padahal seharusnya manusia adalah tidakakan menganggap dirinya Tuhan, yang merasa berhak menghakimi orang yang dianggapnya keliru, salah, bidah, sesat, kafir.
Teks agama[3] yang turun pada masa Nabi sedikit banyaknya menyesuaikan dengan kondisi sosio-historisnya. Kemudian agama terus berproses dan berkembang mengikuti perubahan masa sampai hari ini –yang sudah melewati 14 abad--. Ajaran dasar dan substansi agama akan selalu sama dan tetap sampai dunia ini berakhir, sementara sarana akan terus berubah dari waktu ke waktu dalam setiap komunitas. Diantara penyebab kekeliruan dan kekacauan dalam memahami sunnah adalah bahwa sebagian orang mencampuradukkan antara tujuan tetap yang hendak dicapai dengan sarana temporer atau lokal yang menunjang pencapaian tujuan. Mereka lebih mementingkan sarana ini, seolah-olah itulah yang menjadi tujuan yang sebenarnya. Padahal, siapa saja yang mendalami sunnah dan rahasianya akan mendapati bahwa yang terpenting adalah tujuan yang tetap dan abadi. Adapun sarana bisa berubah sesuai dengan perubahan lingkungan, zaman, adat, kebiasaan, dan sebagainya.[4] Sebagai contoh dalam sebuah hadis, Nabi saw memerintahkan para shahabat untuk bersiwak. Dalam kasus ini maka yang menjadi tujuan atau substansi dari perintah ini adalah membersihkan gigi, sementara sarananya adalah beragam dan berubah sesuai tempat dan waktu. Masyarakat Arab yang disekitarnya banyak ditumbuhi kayu siwak pada saat itu tentu sarananya memakai siwak. Sementara orang Indonesia hari ini tidak bisa menemukan kayu siwak dengan mudah, maka memakai sikat gigi bukan berarti melanggar perintah sang nabi. Kayu siwak atau sikat gigi atau apapun itu yang dipakai untuk membersihkan gigi adalah sarana. Tujuannya adalah mencapai kebersihan gigi.
***
Agama Bukan yang ditampakkan di tempat ibadah dan ditampilkan oleh ritus dan dogma.
Agama ialah yang tersimpan di jiwa dan mengejewantah melalui hati.(Kahlil Gibran)


*Tulisan Ini disampaikan dalam Forum Diskusi IMM PK. Ushuludin dan Ex. DAD DADDUU. Bertempat di maskam UIN Suka pada 17 Maret 2014 oleh Muhammad Ridha Basri
[1]Lafaz ini diambil dari potongan hadis dalam Kitab Shahih Bukhari Nomor. 3810. Kisah yang penulis paparkan merupakan hasil adaptasi dari hadis tersebut. Berikut teks aslinya :
حَدَّثَنَاعَبْدُاللَّهِبْنُمُحَمَّدِبْنِأَسْمَاءَحَدَّثَنَاجُوَيْرِيَةُبْنُأَسْمَاءَعَنْنَافِعٍعَنْابْنِعُمَرَرَضِيَاللَّهُعَنْهُمَاقَالَ
قَالَالنَّبِيُّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَيَوْمَالْأَحْزَابِلَايُصَلِّيَنَّأَحَدٌالْعَصْرَإِلَّافِيبَنِيقُرَيْظَةَفَأَدْرَكَبَعْضُهُمْالْعَصْرَفِيالطَّرِيقِفَقَالَبَعْضُهُمْلَانُصَلِّيحَتَّىنَأْتِيَهَاوَقَالَبَعْضُهُمْبَلْنُصَلِّيلَمْيُرِدْمِنَّاذَلِكَفَذُكِرَذَلِكَلِلنَّبِيِّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَفَلَمْيُعَنِّفْوَاحِدًامِنْهُمْ
[2]M. Quraish Shihab. “Wawasan al-Quran”,E-book, (Bandung: Penerbit Mizan, 2006), hlm. 485
[3]Teks agama yang penulis maksudkan adalah teks sebagai pedoman dasar dalam Islam, yaitu al-Quran dan al-Hadis
[4]Yusuf al-Qardhawi, Pengantar Studi Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2007) cet 1, hlm. 218

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjaga Keturunan Sebagai Upaya Perlindungan (Hifdzu Nasl)

Oleh: Immawan Muhammad Asro Al Aziz Keturunan ( nasl ) merupakan serangkaian karakteristik seseorang yang diwariskan orang tua kepada anak, atau segala potensi, baik fisik maupun psikis yang dimiliki seseorang dari orang tua melalui gen-gen. Keturunan juga merupakan faktor utama yang mempengaruhi perkembangan individu. Perhatian Islam terhadap keturunan dapat dilihat dari sejarahnya yang membuktikan bahwa merupakan hal yang sangat penting dalam, sehingga terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang secara spesifik berbicara tentang penjagaan keturunan. Misalnya pada QS. al-Ahzab: 4-5 yang memberi tuntunan tentang proses pemberian nasab terhadap anak kandung dan anak angkat. Karena, perhatian terhadap keturunan juga berimplikasi terhadap hak pemberian nafkah, pewarisan harta, pengharaman nikah, dan lain-lain. Islam memberikan perhatian yang besar terhadap keturunan untuk mengukuhkan aturan dalam keluarga yang bertujuan untuk mengayominya melalui perbaikan serta menjamin kehidupannya

Implementasi Strategi Inovasi Produk Perspektif Al-Qur'an

A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk individual juga sebagai makhluk ekonomi. Banyak kebutuhan yang di perlukan oleh setiap manusia menjadikan ekonomi sebagai suatu ilmu untuk memenuhi keberlangsungan hidup seseorang. Hal bisa itu terjadi karena perubahan lingkungan yang fundamental merupakan daya dorong (driving forces) perubahan perekonomian dan bisnis. Perubahan dalam semua aspek kehidupan harus direspons sesuai dengan tingkat kebutuhan dan kemanfaatan bisnis. Di sisi lain, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan perusahaan beroperasi di tingkat lokal, regional dan global, tanpa harus membangun system bisnis di tempat perusahaan tersebut beroperasi. Proses informasi dan komunikasi memperluas kemungkinan operasi jaringan perusahaan.  Disebutkan bahwa Koperasi di Jawa Tengah mengalami perkembangan jumlah koperasi aktif 22.674 (81,37%), tetapi tidak disertai dengan berkurangnya jumlah koperasi tidak aktif di Jawa Tengah dengan jumlah 5.19

Strategi Dakwah Ala Rasulullah

Oleh: Immawati Afifatur Rasyidah Islam merupakan agama perdamaian yang dianugrahkan oleh Allah swt dan perlu dijaga eksistensinya. Sebagai kader umat dan pewaris tampuk pimpinan umat kelak, sejatinya dewasa ini para generasi muda dilatih agar dapat menghadapi tantangan dan menjaga agama Islam ini. Berbagai kontroversi terjadi, agama dimonsterisasi, ulama didiskriminalisasi, umat dicurigai, dakwah dianggap provokasi, bahkan kebaikan pun dianggap radikalisasi. Salah satu   maqashidu syariah dalam agama Islam ialah hifdzu al-din (menjaga agama). Penjagaan terhadap agama dapat diimplementasikan dengan berbagai hal, salah satunya adalah dengan dakwah. Penyebaran dakwah tentu tak terlepas dengan metode atau manhaj atau thariqah. At-Thariqat Ahammu Min Al-Maddah, metode itu jauh lebih penting daripada materi. Ia merupakan sebuah seni (estetika) dalam proses penyampaian dakwah. Secara leksikal, metode ialah the way of doing. Sebaik-baik kualitas materi yang disampaikan dalam pembelajaran