Keragaman hasil ijtihad ulama dan cendekiawan muslim dalam
wacana pemikiran keislaman, tak jarang dipahami sebagai hal yang solutif bagi
umat Islam, yakni jalan untuk memecahkan berbagai problem sosial yang berkaitan
dengan keagamaan. Di kalangan masyarakat Muhamadiyah, hasil keputusan ijtihad
bersama tersebut dihimpun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid melalui metode Tarjih.
Majelis tersebut bertugas untuk melakukan penilaian terhadap dalil-dalil syar’i
yang secara zahir tampak saling bertentangam, serta evaluasi terhadap
pendapat-pendapat ulama fiqih untuk menentukan mana yang lebih kuat. Istinbath
(hasil keputusan) dengan manhaj tarjih tak terlepas dari wawasan paham
agama, tajdid, toleransi, keterbukaan, serta tidak berafiliasi pada madzhab
tertentu. Suatu paham agama tentu tak terlepas dari al-Qur’an dan Sunnah.
Al-Qur’an sebagai referensi otentik umat muslim, serta adanya Sunnah, merupakan
norma-norma dalam kehidupan yang perlu interpretasi luas guna memfasilitasi
ekspresi budaya di masyarakat. Disinilah peran tajdid dan ijtihad
dalam proses istinbath Muhammadiyah.
Disampaikan oleh Ilham Ibrahim, salah seorang alumni PUTM dan UMY,
dalam forum kajian dan diskusi tematik bersama PK IMM Ushuluddin, bahwa ada
beberapa hal yang membedakan antara pemahaman fiqih atas teks klasik dan
pemahaman fiqih dengan pembacaan teks di era kontemporer (qiraah mu’ashirah).
Pemahaman pertama lebih terfokus pada permasalahan linguistik, halal dan haram,
serta ahwalu furu’iyah. Sedangkan dewasa ini, perlu adanya
reinterpretasi terhadap pemahaman fiqih agar seirama dengan konteks normativitas
(pemahaman kedua). Contohnya, adanya hadis yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad
pernah bersendawa ketika sholat dan tidak membatalkannya. Namun, apakah setiap
sholat Nabi bersendawa? Jika tidak, hadis tersebut tidak perlu diikuti oleh umat
Islam. Meski hadis tersebut shahih, namun hukumnya makruh.
Sumber pokok ajaran Islam yang ditegaskan dalam sejumlah dokumen
resmi Muhammadiyah menyatakan bahwa “Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Dakwah
Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah al-Maqbulah.
Sunnah al-Maqbulah tersebut tak jarang dipahami sebagai hadis shahih, sedangkan
yang dimaksud Muhammadiyah sebenarnya ialah sunnah yang dapat dijadikan hujjah,
yaitu hadis shahih dan hadis hasan. Meski demikian, adapula hadis dha’if yang
dapat diterima dan mubah untuk diamalkan, dengan syarat-syarat tertentu. Dalam
Putusan Tarjih Muhammadiyah ditegaskan bahwa “Hadis-hadis dhaif yang satu
sama lain saling menguatkan tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali apabila
banyak jalannya, padatnya qarinah yang menunjukkan keotentikan asalnya, serta
tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis shahih”. Contohnya, hadis
tentang doa sebelum makan yang lebih dikenal di masyarakat adalah allahumma
baarik lanaa fiima razaqtana wa qinaa adzaabannaar. Termaktub Shahih Bukhari-Muslim
bahwa Rasulullah saw ketika makan mengucapkan lafadz bismillah dan
menggunakan tangan kanan (shahih). Sedangkan dalam hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Umar bahwa
Rasulullah ketika makan berdoa allahumma baarik lanaa fiima razaqtana wa
qinaa adzaabannaar. (Ditelusuri dengan aplikasi al-Bahits al-Haditsi).
Hadis tersebut memiliki derajat munkarul hadis. Meski demikian,
hadis munkarul hadis tersebut boleh diamalkan, karena tidak bertentangan dengan
al-Qur’an dan as-Sunnah, serta merupakan fadhailu a’mal.
Dalam putusan tarjih Muhammadiyah tahun 2000 di Jakarta dijelaskan
bahwa pendekatan dalam ijtihad Muhammadiyah menggunakan pendekatan bayani,
burhani, dan ‘irfani. Dalam mengamalkan agama Islam, Muhammadiyah juga menggunakan
prinsip al-taisir. Sepanjang diketahui latar belakang dan tujuannya, ketentuan-ketentuan
dalam bidang Ibadah diperoleh dari al-Qur`an dan al-Sunnah, serta pemahamannya
dapat dengan menggunakan akal. Meski demikian, prinsip mendahulukan nash
daripada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan situasi dan
kondisi. Hal ihwal yang termasuk al-Umuru al-Dunyawiyah yang tidak termasuk
tugas para nabi, penggunaan akal sangat diperlukan, serta memperhatikan
maqashidu syari’ahnya, demi kemashlahatan umat. Aspek lain dalam proses istinbath
Muhammadiyah adalah pentarjihan terhadap nash, yakni perlu memperhatikan aspek
sanad, matan, materi hukum, serta segi eksternal. Semangat pengambilan istinbath
dengan manhaj tarjih ini merupakan khittah Muhammadiyah dan diharapkan
dapat meneguhkan spirit dakwah Muhammadiyah bagi masyarakat sekitar.
Oleh: Immawati Afifatur Rasyidah
Referensi:
Anwar,
Syamsul. 2018. Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Yogyakarta: Panitia
Musyawarah Nasional XXX.
Ibrahim, Ilham. Kajian dan Diskusi Tematik PK IMM Ushuluddin.
Metode Istinbath Muhammadiyah (Manhaj Tarjih). Jum’at, 15 November 2019, di Masjid Laboraturium
Agama UIN Sunan Kalijaga.
Komentar
Posting Komentar