Pendahuluan
Era digital meniscayakan kemudahan untuk memperoleh dan menyebarkan informasi. Siapa saja bebas berbicara apa saja, termasuk tentang agama. Tentu menjadi sesuatu yang membahayakan apabila sesuatu dibicarakan oleh oran yang tidak memiliki cukup ilmu tentangnya. Dalam sejarah, penafsiran agama yang dilakukan oleh orang yang berilmu pun telah menimbulkan ikhtilaf. Tentu ikhtilaf yang ada akan semakin memanas apabila dimainkan oleh orang yang tidak berilmu dan beradab. Tidak jarang ikhtilaf yang sebenarnya sudah mencair di dunia nyata, menjadi kembali diperdebatkan di era digital. Hal ini seolah mengorek luka yang hampir sembuh.
Pada dasarnya Ikhtilaf (perselisihan) terjadi karena dua faktor, yaitu akhlak dan pemikiran. Di antara faktor akhlak yang mengakibatkan ikhtilaf ialah membanggakan diri serta mengagumi pendapat sendiri; buruk sangka kepada orang lain; egoisme dan hawa nafsu; fanatisme, baik terhadap madzhab maupun golongan. Faktor pemikiran timbul karena perbedaan sudut pandang mengenai suatu masalah. Faktor akhlak yang menyebabkan ikhtilaf menjadi semakin potensial di era digital, karena komunikasi di dunia maya seringkali terlepas dari kendali kemuliaan akhlak.
Fatwa di Era Digital
Perbedaan pandangan para ulama sering didapati dalam fatwa yang dikemukakan. Fatwa memiliki dua fungsi, yakni sebagai tabyin dan taujih. Tabyin artinya menjelaskan hukum yang merupakan regulasi praksis bagi masyarakat, secara khusus bagi masyarakat yang membutuhkannya. Taujih artinya memberikan guidance (petunjuk) serta pencerahan kepada masyarakat berkenaan dengan permasalahan agama yang bersifat kontemporer. Era digital memunkinkan seseorang mencari fatwa melalui laman-laman online. Saat ini telah banyak laman online yang memuat fatwa-fatwa mengenai berbagai hal, sehingga dapat menjawab persoalan yang diajukan.
Pada dasarnya secara umum fatwa yang dimuat dalam laman online tersebut merupakan kutipan dari fatwa seorang ulama maupun instansi. Dalam hal ini Majelis Tarjih turut mengambil peran dalam menyebarkan fatwa yang telah diputuskan agar lebih mudah diakses di era digital ini. Ketika seseorang menghadapi suatu permasalahan, maka mudah saja ia mengetikkan kata kunci di mesin pencarian online. Era diital membuat orang selalu memilih sesuatu yang lebih praktis dan serba instan. Hal ini juga kemungkinan terjadi dalam sikap keaamaan, sehingga internet menjadi tempat mencari atau meminta fatwa. Dampak buruk dari hal ini adalah adanya sikap terburu-buru menyimpulkan fatwa, membenarkan fatwa A dan fatwa dan secara otomatis mengangap fatwa selainnya adalah salah. Terkadang itu juga disebabkan cara penyampaian fatwa yang dimuat oleh suatu laman online.
Fatwa Tarjih dengan Karakter Menentramkan
Secara keorganisasian, Muhammadiyah telah merumuskan konsep sikap tengah. Muhammadiyah berbeda dengan pandangan Islam yang serba liberal. Pandangan tersebut juga melakukan dekonstruksi (pembongkaran secara kritis) atas ajaran-ajaran Islam sehingga menjadi serba relatif. Kendati demikian Muhammadiyah juga berbeda dari pandangan Islam yang radikal-konservatif atau radikal-fundamentalis. Sikap dasar inilah yang dipegang Muhammadiyah, sehingga dalam hal fatwa kelak melahirkan fatwa yang menentramkan.
Dalam pokok-pokok Manhaj Majelis Tarjih, poin keempat menyebutkan bahwa Majelis Tarjih berprinsip terbuka dan toleran. Artinya tidak memndang hanya Majelis Tarjih yang paling benar. Keputusan diambil dengan berlandaskan kepada dalil-dalil yang dipandang paling kuat. Majelis Tarjih juga menerima koreksi dari siapa pun, selama disertai dengan dalil-dalil lain yang lebih kuat. Oleh karena itulah Majelis Tarjih dimungkinkan merubah keputusan yang pernah diteapkan. Sikap ini menjadi penting di era digital. Karakter Majelis Tarjih yang menentramkan ini sangat penting dalam menghadapi kemudahan arus informasi di era digital.
Berkenaan dengan cara penyampaian fatwa di laman online, fatwa tarjih dikemukakan dengan bahasa yang santun dan penuh kehati-hatian. Hal ini misalnya dapat dilihat ketika menjelaskan tentang hukum maulid. Disebutkan sebagai berikut:
✓ Pada prinsipnya, Tim Fatwa belum pernah menemukan dalil tentang perintah menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi saw, sementara itu belum pernah pula menemukan dalil yang melarang penyelenggaraannya. Oleh sebab itu, perkara ini termasuk dalam perkara ijtihadiyah dan tidak ada kewajiban sekaligus tidak ada larangan untuk melaksanakannya. Apabila di suatu masyarakat Muslim memandang perlu menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi saw tersebut, yang perlu diperhatikan adalah agar jangan sampai melakukan perbuatan yang dilarang serta harus atas dasar kemaslahatan.
Dalam kalimat di atas terlihat bahwa Majelis Tarjih tidak secara ekstrim melarang atau menyebut bid’ah perayaan maulid Nabi. Akan tetapi tidak juga otomatis membolehkan. Sikap seperti ini barangkali dilatarbelakangi oleh fatwa yang dirumuskan berdasarkan musyawarah. Keputusan Majelis Tarjih diperoleh melalui musyawarah. Penetapan masalah dilakukan dengan jalan ijtihad jama’iy. Oleh karena itu, pendapat perorangan semata dari anggota Majelis Tarjih tidak dipandang kuat. Dengan adanya musyawarah, maka egoisme pribadi dapat lebih diminimalisir.
Penutup
Demikianlah pembahasan menenai urgensi Fatwa Tarjih di era digital. Sebagai penutup, dapat disimpulkan bahwa Fatwa Tarjih menjadi sangat penting untuk mengimbangi arus informasi yang begitu cepat. Fatwa Tarjih dapat menampilkan warna pemahaman Islam yang menentramkan serta menyebarkan nila-nilai positif di dunia digital. Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Asjmuni. Manhaj Tarjih Muhammadiyah: Metodologi dan Aplikasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Al- Qaradhawi, Yusuf. Fiqh Perbedaan Pendapat, terj. Aunur Rafiq. Jakarta: Robbani Press, 1991.
https://tarjih.or.id/
M. Erfan Riadi, “Kedudukan Fatwa Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif”, dalam Ulumuddin, volume VI, 2010.
Nashir, Haedar. Memahami Ideologi Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2016.
Biografi singkat penulis
Hendriyan Rayhan. Lahir pada 5 Januari 1997 di Bekasi, Jawa Barat. Usai lulus Sekolah Dasar, melanjutkan belajar di Ma’had Khairul Bariyyah hingga lulus MA pada tahun 2015. Setelah itu memperoleh Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) dari Kementrian Agama Republik Indonesia. Dengan beasiswa tersebut, hijrah ke Yogyakarta dan menempuh studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir di UIN Sunan Kalijaga. Selain kuliah, kini aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).
Komentar
Posting Komentar