Kata feminisme
tidak lagi asing bila di perdengarkan keseluruh kalangan. Diawali dengan suatu
pergerakan sosial yang muncul di dunia Barat pada tahun 1800-an dengan tuntutan
kesamaan hak dan keadilan bagi perempuan. Pergerakan ini diilhami oleh
pemikiran Mary Wollstenocraft dalam bukunya The vindication
Rights of Woman tahun 1975 yang menuding bahwa pembodohan terhadap
perempuan disebabkan oleh tradisi dan kebiasaan masyarakat yang membuat
perempuan menjadi subordinasi laki-laki. Pergerakan perempuan yang dimotori
oleh sekelompok perempuan di dunia Barat ini kemudian disambut secara
global. Pergerakan perempuan merupakan pergerakan sosial yang paling lama
bertahan dan terus berkembang sampai kini, merambah ke berbagai lini kehidupan,
bersifat transnasional dan bergulir menjadi wacana akademik di perguruan
tinggi. Ketika wacana-wacana feminisme masuk ke ruang akademis dan menjadi
kajian ilmiah, muncul berbagai teori feminisme dari berbagai aliran, di
antaranya aliran feminisme liberal, ekistensial dan radikal.
Dalam
karya Qur’an and Woman, Rereading The Sacred text From a Woman’s
Perspective (1992) dan Inside The Gender Jihad, Women’s Reform
in Islam (2006) paling jelas terlihat bahwa Wadud mendasarkan
pemikirannya pada teori feminisme dan minatnya berjuang bagi
kesetaraan dan keadilan gender muncul dalam suatu konteks historis yang
erat kaitannya dengan perjuangan perempuan Afrika-Amerika dalam menuntut
keadilan gender yang memakai kerangka pemikiran heurmenetika feminism Amina
Wadud.
Pemikiran
feminisme Amina Wadud pada hakikatnya merupakan suatu afirmasi bahwa perempuan
adalah manusia utuh. Maka itu, dia menolak wacana patriarkal yang tampil secara
agresif terhadap perempuan. Menurut Wadud, ketimpangan gender dalam masyarakat
Islam adalah karena penafsiran Alquran didominasi oleh budaya patriarki, yaitu
budaya yang mentolerir adanya penindasan terhadap perempuan. Patriarki
merupakan alat yang digunakan laki-laki untuk mendukung hegemoninya dalam
dominasi dan superioritas. Oleh karena itu, Wadud menggagas ide tentang Islam
tanpa patriarki dan menurutnya, ide bisa tumbuh dari imajinasi, maka dia
mengimajinasikan akhir dari patriarki. Pemikiran feminisme Wadud berfokus pada
masalah eksistensi, hak-hak dan peran perempuan menurut Alquran.
Perspektif Wadud melihat masalah di atas menunjukkan bahwa Wadud menerima
perspektif feminisme liberal dan eksistensialis. Wadud merasa perlu menggali
makna terdalam mengenai eksistensi, hak dan peran perempuan dalam
Alquran. Disisi lain, perjuangan Wadud untuk menghapus seksisme (paham yang
membenci perempuan) melalui perjuangan menjadi imam perempuan, memperlihatkan
bahwa pemikiran Wadud mendapat pengaruh dari teori feminisme radikal.
Teori
feminisme liberal dapat disimak dalam pemikiran feminisme Mary
Wollstenocraft yang berusaha menunjukkan hak-hak perempuan dengan menghadirkan
gagasan ideal mengenai pendidikan bagi perempuan. Wollstenocraft
mendorong perempuan untuk menjadi pembuat keputusan yang otonom dan menekankan
bahwa jalan menuju otonomi harus ditempuh melalui pendidikan. Wollstenocraft
menginginkan perempuan menjadi manusia utuh tidak diperlakukan sebagai objek
yang dirawat suaminya dan bukan pula sebagai instrumen untuk kebahagiaan
orang lain. Perempuan adalah suatu tujuan bagi dirinya, agen yang bernalar
dan memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri.
Teori
feminisme radikal dalam pemikiran Kate Millett mengungkapkan bahwa akar opresi
terhadap perempuan terkubur dalam sistem seks/gender di dalam patriarki.
Millett dalam bukunya Sexuals Politics (1970) berpendapat
bahwa relasi gender adalah relasi kekuasaan. Kendali laki-laki atas perempuan
di ruang domestik maupun dalam ruang publik telah melahirkan sistem patriarki.
Untuk membebaskan perempuan dari penguasaan laki-laki, maka patriarki harus
dihapus. Millett menginginkan masa depan yang androgin, suatu integrasi dari
sifat feminin dan maskulin, karena kedua sifat ini saling melengkapi untuk
hidup dengan baik dalam komunitas.
Teori
feminisme eksistensialis seperti dalam pemikiran Simone De Beauvoir yang
mengadopsi pemikiran Satre. Dia menanggapi cara berada yang didefinisikan oleh
Satre berbeda dengan perempuan. Cara berada perempuan dalam pandangan Satre
adalah sebagai etre pour les outres (ada bagi orang lain)
bukan sebagai etre pour soi, yaitu cara berada manusia yang
berkesadaran dan memiliki kebebasan. Perempuan dipandang tidak
berkesadaran (bukan subjek) dan tidak memiliki kebebasan, sehingga relasi
gender merupakan relasi subjek-objek, dimana laki-laki mengobjekan perempuan
dan membuatnya sebagai the other. Simone de Beauvoir dalam
bukunya The Second sex (1984) mengatakan bahwa eksistensi
perempuan sebagai the other (yang lain) memandang
perempuan sebagai makhluk lemah.
Buah Pena: Holic
Komentar
Posting Komentar