Nasionalisme
di Era Digital: Reaktualisasi Pendidikan Multikultural
A. Pendahuluan
Era globalisasi yang mana ditandai dengan kemajuan sains dan teknologi menuntut negara di
seluruh dunia,
termasuk Indonesia untuk mempersiapkan
Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Dalam upaya mempersiapkan itu, pendidikan
merupakan sarana penting. Sebagaimana cendekiawan Schumacher, dalam esainya “Small
is Beautiful” yang mengatakan bahwa pendidikan merupakan sumber daya
terbesar. Pendidikan menjadi bagian fundamental bagi penguatan SDM. Begitu juga
yang diungkapkan Sumarni bahwa salah satu sektor
strategis dalam penguatan modal sosial SDM, yakni pendidikan.
Konsep
dasar pendidikan menurut Undangan-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasaan, akhlak mulia, serta keterampil yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[1]
Di
samping itu, secara kontekstual dan imperatif hakikat dan tujuan pendidikan
nasional harus merepresentasikan permasalahan kondisi objektif masyarakat
bangsanya, representasi dari kebutuhan masyarakat, dan manifestasi tipologis
masyarakatnya.[2]
Tipologi
masyarakat Indonesia adalah masyarakat multikultural sehingga Indonesia
membutuhkan pendidikan mulikultural. Oleh karena nilai-nilai multikulturalisme
inhern dalam Islam sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian di atas, maka
pendidikan multikultural adalah nilai-nilai Islam itu sendiri yang bersifat inklusif.
Wacana
pendidikan multikultural atau pendidikan berwawasan multikulturalisme
dimaksudkan untuk merespon dampak perkembangan globalisasi, dan fenomena
konflik etnis, sosial budaya, yang sering muncul di kalangan masyarakat
Indonesia yang berwajah multicultural.[3]
B. Wawasan Pendidikan Multikultural
Pendidikan berwawasan mulikultural menurut
Choirul Machfud sebagaimana dikutip oleh Iriyanto Widisuseno dapat diartikan
suatu pendidikanyang mengapresiasi keragaman budaya sebagai realitas objek-tif
dalam suatu kehidupan masyarakat. Dalam praktik pendidikan berwawasan
multicultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan, dan
menciptakan budaya akademik yang toleran dan inklsif.[4]
Pendidikan
multikultural merupakan sebuah bentuk pendidikan yang menerapkan strategi dan
konsep yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khusus
yang ada pada siswa seperti keragaman, etnis, budaya, bahasa, agama, status
sosial, gender, kemampuan, umur, dan ras. Dan yang paling penting bertujuan
untuk menungkatkan kesadaran siswa agar selalu berperilaku humanis, pluralis,
dan demokratis karakteristik pendidikan multikultural meliputi beberapa
komponen, yaitu: pertama, belajar hidup dalam perbedaan. Pendidikan
selama ini lebih diorentasikan pada tiga pilar pendidikan, yaitu menambah
pengetahuan, pembekalan keterampilan hidup (life skill), dan menekankan
cara menjadi “orang” sesuai dengan kerangka berfikir peserta didik. Realitasnya
dalam kehidupan yang terus berkembang, ketiga pilar tersebut kurang berhasil
menjawab kondisi masyarakat yang semakin mengglobal. Maka dari itu diperlukan
ssatu pilar strategi yaitu belajar saling menghargai akan keragaman, sehingga
akan terbangun relasi antara personal dan intra personal.
Kedua, membangun mutual trust (saling
percaya), mutual understanding (saling memahami), dan mutual respect
(saling menghargai). Tiga hal ini sebagai konsekuensi logis akan kemajemukan
dan kehegemoni-kan, maka diperlukan pendidikan yang berorientasi kepada kebersamaan
dan penanaman sikap toleran, demokratis, serta kesetaraan hak.
Ketiga, terbukanya dalam berfikir. Pendidikan
seyogiyanya memberi pengetahuan baru tentang bagaimana berfikir dan bertindak,
bahkan mengadopsi dan beradaptasi terhadap kultur baru yang berbeda kemudian di
respons dengan fikiran terbuka dan tidak terkesan eksklusif.
Keempat, apresiasi dan interdependensi. Karakteristik
dan mengedepankan tatanan sosial peduli, dimana semua anggota masyarakat dapat
saling menunjukkan ekspresi dan memelihara relasi, keterikatan, kohesi, dan
keterikatan sosial yang rekat. Karena bagaimanapun juga manusia tidak bisa
survive tanpa ikatan sosial yang dinamis.
Kelima, relasi konflik dan rekonsiliasi nirkekerasan.
Konflik dalam berbagai hal juga harus dihindari, dan pendidikan harus
memfungsikan diri sebagai satu cara dalam resolusi konflik. Adapun resolusi
konflik belum cukup tanpa rekonsiliasi, yakni upaya perdamaian melalui sarana
pengampunan atau memaafkan. Pendidikan multikultural sebagai motor penggerak
dalam menegakkan demokrasi, humansme dan pluralism yang dilakukan melalui
sekolah, pesantren, kampus dan institusi-institusi pendidikan lainnya.[5]
Hal
tersebut juga dapat menjelaskan bagaimana ciri-ciri terhadap pendidikan
multikulturalisme adalah: (1) bertujuan membentuk manusia budaya dan
menciptakan masyarakat berbudaya; (2) materinya mengajarkan nilai-nilai luhur
kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis; (3) metodenya
demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keragaman budaya bangsa
dan kelompok etnis; (4) evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah
laku anak didik yang meliputi persepsi, apreasi, dam tindakan terhadap tandanya
budaya lainnya.[6]
Oleh
karena itu, pendidikan yang kini di butuhkan bangsa Indonesia ialah pendidikan
multikultural. Pendidikan yang memberikan peran sebagai medi transformasi
budaya (transformasi of culture) dan transformasi pengetahuan (transformasi
of knowledge). Selama ini pendidikan Indonesia lebih berorientasi pada
perannya sebagai media transformasi pengetahuan.[7]
D.
Paradigma Pendidikan Multikultural Islam
Paradigma
pedidikan multikultural bermuara pada terciptanya sikap peserta didik yang mau
menghargai, menghormati perbedaan etnis, agama dan budaya dalam masyarakat.
Kemudian juga, pendidikan multikultural memberi penyadaran padan peserta didik
untuk berstu dan bekerjasama. Dengan perbedaan yang bermuatan solidaritas
nasional justru menjadi pendorong untuk berlomba dalam kebaikan bagi kehidupan
bersama.
Melalui
pendidikan multikultural, peserta didik yang datang dari berbagai golongan
penduduk di bombing untuk saling mengenal agama, budaya, cara hidup, adat
istiadat, kebiasaan yang berbeda. Dengan mengajarkan pendidikan multikultur,
para peserta didik sedini mungkin dibimbang untuk memahami makna Bhineka
Tunggal Ika dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.[8]
Jika
dipandang sebagai sebuah pendekatan maka pendidikan berwawasan multicultural
sangat sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa
pelaksanaan otonom dan desentralisasi yang sudah dimulai sejak tahun 1999/2000,
dan sampai saat ini pelaksanaanya belum mencapai harapan semua pihak.
Pendidikan
berwawasan multikulturalisme di Indonesia dinilai penting utamanya dalam memupuk
rasa kebersamaan dalam keberagaman untuk memperkuat persatuan dan kesatuan
bangsa sesuai dengan semangat kemerdekaan tahun 1945. Memupuk nilai-nilai
partisipatif, demokrasi dan kesetaraan dalam dunia pendidikan. Pengembangan
pendidikan multicultural jika dilakukan secara tepat yaitu sesuai azas filosofi
bangsa Indonesia, searah dengan semangat Bhineka Tunggal Ika (unity in
diversity) untuk mewujudkan perstuan yang diinginkan rakyat kebanyakan, dan
mediasinya adalah “toleransi.[9]
E . Representasi
Pendidikan dan Nilai Multikultural
Menurut
Azyumardi Azra, sebagaimana yang di kutip oleh Rusln Ibrahim, kurikulum
pendidikan multikultural mestilah mencakup tema-tema mengenai toleransi;
tema-tema mengenai perbedaan ethnokultural, dan agama; bahaya diskriminasi,
penyelesaian atau resolusi konflik dan mediasi, hak asasi manusia (HAM);
demokrasi dan pluralitas; kemanusiaan universal dan tema-tema lain yang relevan
dengan konteks pluralitas.[10]
Representasi
pendidikan multikultural pada pendidikan Islam bisa diajarkan di berbagai
jenjang dan institusi-institusi pendidikan formal – seperti SD, SMP, SMA dan
PT. Bisa juga di terapkan dan di ajarkan di luar pendidikan formal – seperti
pesantren, pengajian majlis ta’lim dan lainnya. Implementasi pendidikan
multicultural dalam Islam tidak menyalahi atau mengingkari doktrin dan sejarah
Islam, karena seperti yang diuraikan sebelumnya Al-Qur’a mengandung nilai-nilai
multikultural di Madinah.
Para
pendidikan formal pendidikan multikultural dapat diimplementasikan dengan cara
memasukkan wawasan multikultural pada kurikulum terkait seperti agama,
pendidkan kewarganegaraan, sosiologi atau
materi releva yang lain. Selain itu, dapat diimplementasikan melalui
pendekatakan seperti diskusi, tugas kelompok, dan contextual teaching and
learning.
Implementasi
pendidikan multikultural diluar pendidikan formal Islam seperti majlis ta’lim
relative kurang “multi” dan fanatik mazhab. Meskipun demikian, ini tidak
berarti sama sekali sulit, hanya perlu dibiasakan (pembiasaan bagi guru/ustadz
maupun murid/santrinya) untuk mengkaji dan mengaji fikih berbagai aliran
mazhab, mengajian mengkaji aqidah dari berbagai aliran, membaca Al-Qur’an
dengan berbagai qira’ah, mengkaji ilmu Islam dengan berbagai cara sudut
pandang, semuanya bertujuan untuk melaksanakan pendidikan dan pengajaran dengan
memasukkan nilai-nilai multicultural pada setiap materi bahasa maupun
pendekatan pembelajaran.[11]
Muatan
pendidikan multikultural dapat diimplementasikan dengan menanamkan nilai-nilai
multicultural pada pendidikan yang dilakukan oleh keluarga atau tetangga dan
atau lingkungan secara mandiri. Wawasan pendidikan multicultural dapat
diimplementasikan oleh Lembaga pelatihan, kegiatan belajar masyarakat, kelompok
belajar dan majilis taklim melalui pelatihan-pelatihan, pengajian-pengajian dan
pengkajian-pengkajian yang berwawasan multicultural, tidak fanatik buta pada suatu faham/pengetaahuan, tidak memupuk
nilai-nilai promordialisme dan mono etnik. Sebaliknya, pendidikan dilaksanakan
dengan menekankan keterbukaan, kebersamaan, toleransi bahkan sejak dini.[12]
F .
Kesimpulan
Pendidikan
multikultural di Indonesia dapat dipertimbangkan karena[13], pertama pendidikan multikultural
secara inhern sudah ada sejak Indonesia lahir. Falsafah bangsa Indonesia adalah
Bhineka Tunggal Ika, gotong royong dan saling menghargai. Berbagai suku di
Indonesia dapat hidup berdampingan, dan suku-suku asing datang ke Indonesia
seperti etnis China, Arab, Eropa, dan Afrika bahkan beradaptasi dan
berakulturasi dengan suku-suku asli yang ada di Indonesia.
Kedua,
pendidikan multulultural memberikan secercah harapan dalam mengatasi berbagai
gejolak masyarakat karena pendidikan multicultural senantiasa menjunjung tinggi
nilai-nilai, keyakinan, heterogenitas, pluralitas, keragaman berbagai aspek
kehidupan masyrakat.
Ketiga,
pendidikan multikultural menentang pendidikan yang berorientsi bisnis. Pada
saat ini, Lembaga pendidikan, baik sekolah maupun perguruan tinggi
berlomba-lomba menjadikan Lembaga Pendidikan sebagai institusi yang
menghasilkan income yang besar. Alasannya untuk meningkatkan kualitas pelayanan
peserta didik. Padahal pendidikan sebenarnya bagi Indonesia bukan hanya
pendidikan keterampilan belaka, melainkan pendidikan yang harus mengakomodir
semua jenis kecerdasan yang sering dikenal dengan kecerdasan ganda (multiple
intelligency).
Oleh : Hidayah Salsabila
[1] Muhammad Chirzin, Ukhuwah
dan Kerukunan dalam Perspektif Islam, dalam Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama,
Volume VIII, Nomor 1 Juni 2007, h. 58.
[4] Irianto Widisusneno,
Pendidikan Berbaris Multikulturalisme: Suatu Upaya Penguatan Jatidiri Bangsa,
[9] Nawaruddin dan Andang, Pembinaan
Umat Berbasis Multikultural, (Jakarta: Sejahtera Kita, 2013),
h. 138.
[12] Sopiah, Pendidikan
Multikultural… h.164
[13] Sopiah, Pendidikan
Multikultural… h.164
Komentar
Posting Komentar