Oleh: Hendriyan Rayhan
Semboyan “Fastabiqul Khairat” sangat akrab dalam rutinitas keorganisasian maupun keseharian para kader IMM. Kalimat ini tertulis gagah dalam logo IMM dan sering diteriakkan dengan lantang dalam berbagai kegiatan IMM. Secara sederhana, kader IMM biasanya menerjemahkan kalimat ini sebagai “berlomba-lomba dalam kebaikan”. Namun demikian, kalimat singkat yang dipetik dari ayat al-Qur’an ini mengandung pesan yang sangat luas dan mendalam. Lalu muncul pertanyaan, bagaimana mengambil spirit dari kalimat itu untuk mendorong perubahan sosial? Oleh karena itulah tulisan sederhana ini akan mengulas fastabiqul khairat dari sisi fungsinya untuk menjadi spirit bagi gerakan transformasi sosial.
Dalam Al-Qur’an, terdapat dua ayat yang memuat redaksi fastabiqul khairat, yaitu pada Surat Al-Baqarah [2] ayat 148 yang dapat diterjemahkan sebagai berikut: “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan.” Lalu dalam Surat Al-Maidah [5] ayat 48 sebagai berikut:“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.”
Dalam Tafsir Al-Azhar (2015: 280) dinyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam agama. “Cuma berlombalah berbuat serba kebaikan, sama-sama beramal dan membuat jasa di dalam perikehidupan ini,” tulis Buya Hamka. Muhammad Ridha Basri (2016) menulis, “Fastabiqul khairat menghendaki di satu sisi do our best, saling berkompetisi, bukan memusuhi atau rivalitas; juga di sisi lain saling bersinergi, membangun harmoni, dan saling bekerjasama dengan siapapun yang berbeda.” Dalam konteks transformsi sosial, fastabiqul khairat dapat dipraktikkan secara lebih produktif dalam bentuk kepedulian untuk menebarkan kebaikan secara merata.
Bagi Fazlur Rahman (2017: 57), kurangnya perhatian terhadap orang yang membutuhkan merupakan ekspresi kekikiran dan kesempitan berpikir yang paling puncak. Di tempat lain, usai menyebutkan Surat Al-Ma’un ayat 1 sampai 3, Hamka secara tegas menyatakan, “Walaupun bersorak-sorak mengaku diri beragama, percaya kepada Allah dan Rasul padahal tidak berusaha memperbaiki nasib anak yatim dan fakir miskin; maka dustalah pengakuan beragama itu” (2016: 20). Dengan demikian, nyatalah bahwa agama Islam menghendaki pemeluknya untuk memiliki kepekaan sosial. Agama Islam mendorong pemeluknya untuk menjalin solidaritas sosial. Tidak cukup pada peduli, dalam konteks dewasa ini diperlukan gerakan yang bersifat transformatif.
Gerakan transformatif, menurut Moeslim Abdurrahman, dapat menumbuhkan kepedulian terhadap nasib sesama dan melahirkan aksi solidaritas. Dalam proses transformasi, yang berlaku adalah pendampingan, bukan pengarahan apalagi pemaksaan (1997: 40). Oleh karenanya, fastabiqul khairat meniscayakan hubungan partnership untuk meraih kebaikan antara golongan berada dengan golongan berkekurangan. Hubungan ini akan melahirkan tatanan masyarakat yang sejahtera dalam segala aspek serta terangkatnya martabat kemanusiaan.
Abdurrahman secara tegas menyebut bahwa penetapan zakat 2,5 bisa saja tidak lagi relevan. Hal ini misalnya di suatu daerah yang kebanyakan penduduknya hidup dalam kemiskinan, maka zakat 2,5 persen yang dikeluarkan minoritas orang kaya tidak akan menyelesaikan persoalan. Akhirnya si kaya akan tetap semakin kaya turun temurun, sementara si miskin tetap mewariskan kemiskinan pada anak-anaknya. Abdurrahman menegaskan, “Kita jangan cepat puas dan telah memenuhi kewajiban setelah mengeluarkan zakat sebesar 2,5 persen. Itu terlalu formal.” Zakat, menurutnya, harus berfungsi sebagai reformasi sosial. Hal ini senada dengan ungkapan hamka bahwa zakat itu, “menyucikan masyarakat dari tumbuhnya pertentangan di antara yang mempunyai (have) dengan yang tidak mempunyai (have not)” (2015: 113).
Kuntowijoyo dalam Islam sebagai Ilmu (2007: 100) menyebutkan istilah masyarakat ekonomis, yaitu ketika ekonomi menentukan stratifikasi, sistem pengetahuan, dan lingkungan. Akhirnya kedudukan ekonomi seseorang menjadi patokan ketika oran mencoba untuk menggolongkan masyarakat. Dalam urusan harta, Abdurrahman menulis, “Harta harus mendorong orang melakukan ibadah, sebagai perwujudan kecintaannya pada Tuhan, dan bukan untuk mempertinggi status sosial ‘si empunya’.” Dari sudut pandang fastabiqul khairat, mestinya orang-orang kaya berlomba-lomba, dengan tetap menjalin sinergitas, untuk mengentaskan kemiskinan demi berjalannya transformasi sosial. IMM sebagai gerakan mahasiswa tentu dinantikan kehadirannya.
Sebagai orang yang memiliki inteletualitas, sudah sepantasnya kader IMM memberi makna yang lebih transformatif terhadap semboyan fastabiqul khairat, apalagi Trilogi IMM juga menyatakan bahwa dimensi humanitas adalah salah satu ruang garapan kader IMM. Religiusitas kader IMM harus dijalankan dengan lebih produktif den bernilai secara sosial kemasyarakatan. Maka, Fastabiqul khairat yang menjadi spirit transformasi sosial kelak membuat semboyan itu semakin menyala dalam kenyataan, tidak hanya terlukis dalam simbol maupun diluapkan dalam teriakan.
Referensi:
Abdurrahman, Moeslim. Islam Transformatif. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.
Basri, Muhammad Ridha. “Sekilas Makna Logo IMM”, diakses melalui http://immushuludinuin.blogspot.com/2016/02/sekilas-makna-logo-imm.html
Hamka, Keadilan Sosial dalam Islam. Jakarta: Gema Insani, 2015.
Hamka, Kesepaduan Iman dan Amal Saleh. Jakarta: Gema Insani, 2016.
Hamka, Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Gema Isani, 2015.
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007.
Rahman, Fazlur. Tema-tema Pokok Al-Qur’an, terj. Ervan Nurtawab dan Ahmad Baiquni. Bandung: Penerbit Mizan, 2017.
Mantap😁
BalasHapusApakah ini salah satu hasil ikut DAM��
BalasHapustentu. merefleksikan salah satu pwmahaman melalui tulisan
Hapus