Oleh: Sirajudin Bariqi
Konflik yang dialamatkan kepada isu-isu SARA seakan tidak ada habisnya, bahkan dapat dibilang terus bertambah. Padahal, manusia dengan potensi akal-budinya sudah semestinya mengalami pertumbuhan dan perkembangan dalam hal pemikiran. Sehingga, meskipun potensi konflik semakin meningkat, ia bisa menganalisis dan menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Sayangnya, kenyataan tidaklah demikian. Hampir setiap jengkal tanah yang menjadi pijakan manusia untuk menghidupi penghidupannya ini mempunyai potensi konflik. Sumbu penyulut api telah disiapkan. Hanya butuh pemicu, dan api permusuhan pun akan segera berkobar.
Telah disepakati bahwa realitas kehidupan manusia bersifat plural. Manusia tidak diciptakan dalam satu cetakan yang sama. Mereka yang seagama, senegara bahkan sekeluarga tetap mempunyai perbedaaan; baik dari segi fisik, kebiasaan, pemikiran, dan lain-lain. Adalah sebuah kesalahan jika ada upaya penyamaan dan penyeragaman visi-misi manusia secara keseluruhan. Selain tidak mungkin terwujud –karena bertentangan dengan sunnatullah- upaya tersebut sejatinya merupakan sumbu penyulut konflik yang oleh kebanyakan orang dimanfaatkan dengan baik. Dan entah kenapa, banyak manusia dengan mudah tersulut emosinya. Nafsu hewaniahnya muncul ke permukaan dan hendak merusak tatanan kehidupan yang sudah ada dengan jalan penyamarataan.
Potensi konflik yang ditimbulkan oleh pihak yang menginginkan penyamarataan ini secara umum bisa dibagi menjadi dua; pertama, mereka yang secara terang-terangan membunyikan gaung penyamarataan dan kedua, mereka yang bersembunyi di balik jubah pluralitas. Pembagian ini didasarkan pada asumsi bahwa ragam konflik yang menghiasi dinamika kehidupan manusia secara umum terdiri dari banyak sebab. Sumbu yang digunakan berbeda, ada yang diperuntukkan untuk orang awam, ada juga bagi orang khawas.
Bagi sebagian orang, kelompok pertamalah yang dianggap sebagai sumbu utama. Seakan mereka berkata, “Mereka jelas-jelas menginginkan penyamarataan. Ini tidak bisa dibiarkan!” Dan terhadap kelompok kedua, mereka pun berkata, “Bagaimana mungkin orang yang meyakini bahwa realitas kehidupan manusia yang plural, tidak bisa disamaratakan, menjadi penyebab dari konflik yang ada?” Di bawah ini akan diuraikan argumentasi bahwa yang menjadi sumbu utama dalam konflik yang ada bukanlah kelompok yang pertama, akan tetapi kelompok yang kedua.
Adalah benar bahwa kelompok pertama sebagai salah satu sumber konflik. Namun kurang tepat jika dinyatakan sebagai sumber (sumbu) utama penyulut konflik. Faktor terang-terangan itulah yang malah menjadi alasannya. Pasalnya, banyak orang yang akan antipati terhadap mereka, menghindar, bahkan tidak menggubris. Seakan setiap ucapannya adalah terompet genderang perang. Mereka tidak punya ruang gerak kecuali hanya berada di dataran kelompok-kelompok awam.
Berbeda halnya jika dengan kelompok kedua. Meskipun mereka terlihat seakan menjadi juru selamat, meneriakkan slogan pluralitas, namun terdapat sumber konflik yang lebih besar pada diri mereka. Isu-isu pluralitas hanya muncul dari bibir. Mereka suka bergumul dengan orang-orang sepaham, menyiapkan rencana dan kemudian melancarkan serangan. Secara lahiriah, apa yang mereka katakan sangat indah. Menembus kesadaran yang tengah terkoyak. Mereka seperti mengatakan kebenaran, kesejatian, namun sebenarnya berbisa.
Jika kelompok pertama hanya mampu menyulut konflik di dataran orang-orang awam, maka kelompok kedua ini adalah penyulut konflik di dataran orang-orang khawas, bahkan pada tahap tertentu bisa menimbulkan keresahan di kalangan orang dengan derajat khawasul khawas. Tidak seperti kelompok pertama yang melancarkan ‘serangan’ dengan ‘seadanya’, kelompok kedua melakukannya dengan cara yang sistematis. Kalau perlu ditambahi dengan teori-teori ilmiah dari tokoh yang menguntungkan pendapat mereka.
Harus disadari bahwa konflik yang terjadi di hampir setiap bidang kehidupan ini mempunyai akar yang tidak tunggal. Namun, konflik yang berbau SARA selalu bermuara pada isu-isu pluralitas. Dan sebagaimana yang dijelaskan di atas, bahwa api yang tengah berkobar ini (sumbu utamanya) bukan berasal dari mereka yang secara lahiriah menyatakan perlunya penyamarataan, namun dari mereka yang mengaku mengakui pluralitas, padahal mereka sebenarnya hanya menginginkan orang lain untuk ikut bersama mereka, menyetujui pendapat mereka.
Maka, adalah perlu untuk mengidentifikasi setiap pendapat yang berkembang di tengah masyarakat. Bukan hanya secara lahiriah, namun juga berusaha mengungkap kemungkinan-kemungkinan adanya potensi konflik yang ada dibalik pendapat tersebut. Selain itu, mencegah diri untuk tidak cepat tersulut emosi sepertinya merupakan cara yang efektif, meskipun memang diperlukan usaha dan proses yang lama. Selama untuk kebaikan, jangan ada kata menyerah!
x
Komentar
Posting Komentar