source: kompasiana.com |
Oleh: Usman al-Mudi
Pertama-pertama
kita harus menyadari bahwa ada golongan tertentu pemeluk agama yang mengaku
bahwa kebenaran hanya berada di dalam agama miliknya dan selain yang bersumber
dari kitab sucinya dianggap salah. Hal ini tidak hanya terjadi pada satu agama
tertentu, eksklusivitas beberapa golongan dalam sikap beragama diistilahkan
dengan truth claim. Hal ini terlihat sangat manusiawi, bahwa setiap
orang akan teguh mempertahankan apa yang diyakininya, dipelajarinya, dan proses
sungguh-sungguh untuk mendapatkan ilmunya. Ketika seseorang dilahirkan sebagai
anak dari seorang pemimpin, maka seiring tumbuh kembangnya ia akan melakukan
proses internalisasi nilai-nilai bahwa untuk mendapatkan keberhasilan seperti
orangtuanya ia harus melakukan kerja yang sama atau paling tidak, tidak jauh
beda, yakni memimpin. Cara lain mungkin saja dilakukan namun hal ini akan
berdampak pada kondisi psikologis sang anak, sebab dalam proses internalisasi
nilai-nilai tersebut jika sang anak sepakat untuk mengunggulkan pekerjaan ayahnya,
susah bagi dirinya untuk mengambil sesuatu yang bertolak belakang dengan
keyakinannya, maka konsekuen ia harus menjadi pemimpin. Begitu pula ketika
seseorang dilahirkan dalam agama tertentu maka proses mengambil kata sepakat
dalam internalisasi nilai-nilai keagamaan akan membawanya pada sikap pembelaan
terhadap agama yang ia yakini. Naasnya, tidak ada orang yang dilahirkan untuk
membenci namun kebencian itu ada dan diajarkan. Dalam perkembangannya, ketika
seseorang telah sepakat terhadap pandangan tertentu dan kemudian jika hal ini
diiringi dengan kebencian terhadap pandangan lainnya maka orang tersebut tentu
akan termasuk golongan yang tidak sepakat untuk mengatakan semua agama adalah
sama. Implikasi serius dalam skala yang lebih besar dari kasus ini adalah
semakin menjamurnya otoritarianisme, yakni paham yang memonopoli tafsir akan
kebenaran dan memberangus mereka yang memiliki tafsiran yang berbeda,
memutlakkan kebenaran pandangannya, serta menafikan pandangan lain yang berbeda.
Hermeneutika lahir dengan ide
dasarnya bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara ruang dan waktu tertentu.
Ketika teks keagamaan ditafsirkan untuk menggerakkan ribuan manusia untuk
memberontak atas penindasan dan berhasil, maka kebenaran pergerakan itu adalah
sesuai dengan zamannya dan tidak untuk dikopi mentah-mentah di setiap zaman
yang datang berikutnya, sebab yang tepat untuk diambil adalah spirit atau ruh
perjuangannya.
Mungkin
saja bagi bangsa barat, hermeneutika dianggap sebagai ilmu yang dapat
menciptakan perdamaian dengan gagasan anti-sentrisnya, sebab orang akan beranggapan
bahwa benar milikmu belum tentu benar milikku, kita tetap berteman dalam
perbedaan, kebenaran adalah apa yang sesuai dengan konteks pemahaman pembaca, orang
yang menafsirkan. Sehingga jika setiap orang paham dan sadar akan hal tersebut
potensi konflik akan semakin mereda. Kemudian mungkin juga bagi bangsa timur
bahwa hermeneutika adalah hal yang cocok bagi bangsa barat saja, ia tidak bisa
diterapkan dalam kondisi sosio-kultural bangsa timur. Maka dengan itulah bangsa
timur dengan sendirinya telah melakukan kerja hermeneutika. Insiden truth
claim akan membentuk konsep sempurnanya.
Komentar
Posting Komentar