Langsung ke konten utama

Khasais al-Muhammadiyah (Karakteristik Muhammadiyah)

Pertama, berpegang teguh pada al-Quran dan al-Sunnah. Berbeda dengan ormas lainnya, spirit al-ruju ila al-quran wa al-sunnah ini mensyaratkan bahwa Muhammadiyah kembali kepada Al-Quran tidak secara literal (sebagaimana penjelasan di poin selanjutnya).
Persyaratan ini memberikan konsekuensi bahwa Muhammadiyah bersikap tidak terikat dengan mazhab, aliran, theologi, dan sekte manapun. Ketidakterikatan ini meliputi aspek aqidah (theologi), fikih, dan tasawwuf (thariqah), baik wilayah eksoterik maupun esoterik. Ketidakterikatan ini tidak bermakna bahwa Muhammadiyah menolak kehadiran mazhab, aliran, theologi, tasawwuf, atau sekte tertentu, namun kesemua ini hanyanya wujud dari sikap independensi. Artinya dalam setiap kebijakan, fatawa, pandangan ideologi, sikap hidup, dan keputusan di Muhammadiyah tetap mengindahkan dan mempertimbangkan berbagai macam ajaran dari berbagai sumber mazhab, sekte, dll. Lalu, hasil pembacaan berkelanjutan, analisis mendalam dengan multi pendekatan, dan ijtihad penuh ikhtiyat itulah yang kemudian ditarik atau dipilih mana yang paling rajih (kuat) dan compatible diterapkan dalam kehidupan beragama dan berbangsa.
Dalam hal aqidah, Muhammadiyah berpegang pada kaidah ahlu al-sunnah wa al-jamaah, lebih tepatnya berusahan menempatkan diri pada apa yang disebut Nabi sebagai al-firqah al-najiyah min al-salaf. Kalimat ini misalnya populer dalam hadis tentang berpecahnya umat Islam menjadi 73 golongan.
Di ranah fiqih, Muhammadiyah cenderung sangat independen. Di sini, prinsip independensi Muhammadiyah termasuk sebagai sebuah kelebihan. Dengan alasan lebih luwes, rigid, penuh dinamisasi, dan tidak kaku. Dikarenakan sumber pengetahuan yang sangat tidak terbatas. Makanya bukan tidak mungkin ada fatwa tarjih Muhammadiyah di tahun ini akan berbeda dengan fatwa Muhamamdiyah pada sepuluh atau dua puluh tahun kedepan. Sesuai dengan kaidah ushul bahwa berubahnya zaman akan merubah suatu produk hukum. Prinsip fikih Muhammadiyah bukan terletak pada fikih mazhabi, namun fikih manhaji. Artinya Muhammadiya lebih mempertimbangkan aspek-aspek yang rajih pada setiap mazhab, yang kemudian dielaborasi sedemikian rupa.
Bisa jadi, bahwa produk dari majlis tarjih ini termasuk sebagai mazhab baru. Karena sebuah mazhab haruslah memenuhi beberapa persyaratan; pertama, memiliki metode berpikir (metode intinbat hukum) yang khas. Kedua, memiliki produk hukum yang khas. Ketiga, dibukukan dalam bentuk buku atau kitab. Keempat, ada pengikut yang mempraktekkan. Namun para pengurus Muhammadiyah enggan menyebutnya sebagai sebuah mazhab baru. Muhammadiyah tetap sangat menhormati imam mazhab, namun tidak berfanatik dan taklid begitu saja, karena para imam mazhab pun masih terdapat kemungkinan kekeliruan. Muhammadiyah menghindari taklid dengan mengikuti praktis yang dibuat oleh Majelis Tarjih, dengan cara tau argumentasinya, tahu cara pengambilan dalilnya (istidlal dan istinbat), tahu pendapat lain yang berbeda, dan tahu proses sampai kepada kesimpulan yang rajih.
Keberanian Muhammadiyah melakukan ijtihad bukan berarti bahwa Muhammadiyah berani menyebut ada tokoh mujtahid mutlak di organisasi ini. Muhammadiyah berargumen bahwa memang di masa modern ini sudah tidak ada mujtahid mutlak layaknya imam mazhab, namun di Muhammadiyah keberadaan seorang mujtahid diperankan oleh gabungan banyak orang atau dalam satu majelis (majelis tarjih). Gabungan beberapa orang yang berkompeten dan ahli dalam bidang masing-masing itu pada akhirnya memenuhi syarat seorang mujtahid. Ada si A ahli bahasa Arab, si B ahli ilmu-ilmu sosial, si C ahli ilmu kedokteran, si D pakar maqasid syariah, si E sangat mumpuni dalam ranah fikih, si D sebagai ahli quran dan hadis, si E ahli sejarah, dst. Keberadaan para pakar ini dalam satu majelis yang saling bertukarpikiran dan bekerjasama dalam menyelesaikan suatu perkara, menjadikan majelis itu dipenuhi oleh orang-orang yang mumpuni dan bisa dikatakan sebagai mujtahid-kolaboratif, meskipun tidak mutlak.
Dalam bidang tasawwuf atau thariqah, Muhammadiyah tidak anti thariqah. Namun tetap mengikuti prinsip-prinsip dasar dan atau pandangan hidup para sufi selama sesuai dengan apa yang diajarkan oleh para guru semua sufi, yaitu Nabi saw.

Kedua, Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid, dengan dua sayap yang berjalan beriringan. Di satu sisi ada sayap purifikasi (dalam ranah aqidah) dan di sisi lain terdapat sayap dinamisasi (dalam ranah muamalah dan budaya). Kedua sayap ini mengepak secara seimbang. Ketika berat di sayap purifikasi maka cenderung konservatif, sementara jika terlalu berpihak di sayap dinamisasi akan berdampak pada progresif yang berlebih alias liberal.
Contohnya, dalam hal ibadah qurban. Muhammadiyah berpandangan bahwa qurban sebagai asas adalah ibadah mahdhah, tidak bisa dilakukan dinamisasi dengan misalkan mengganti waktu dan jenis hewan yang harus disembelih. Dalam hal ini, Muhammadiyah melakukan purifikasi, kembali ke syariat murni. Adapun dalam hal budaya qurban, Muhammadiyah melakukan dinamisasi, semisal pengadaan kupon qurban, kepanitiaan yang profesional, tata cara penyaluran dan penerima daging qurban, kemasan qurban, dst.
Demikian halnya dalam budaya berpakaian, Muhammadiyah melakukan berbagai dinamisasi. Semisal terhadap hadis bahwa nabi memakai jubah, maka Muhamamdiyah memandang bahwa pakaian bukanlah masuk dalam ranah ibadah mahdhah, namun hanya sebatas budaya. Karena pada prinsipnya, pakaian yang baik dan pantas itu harusnya memenuhi dua syarat saja, jika dua syarat itu terpenuhi, maka siapapun boleh memakai pakaian apapun. Dua syarat sebagai rambu-rambu tersebut yaitu menutup aurat dan tidak sombong (berlebihan). Dalam kaitannya dengan jubah bisa dilacak tidak ada dalilnya yang menyuruh dan atau melarangnya. Andaipun ada dengan dipaksakan, maka kevalidan keharusan berjubah bisa dibuktikan dengan dua pertanyaan sederhana, “Sejak kapan nabi memakai jubah? Dan siapa saja yang memakai jubah di Makkah ketika itu?” jawaban pertama bahwa Nabi memakai jubah sejak kecil, sejak sebelum diutus menjadi nabi, sejak belum turun wahyu, maka jubah bukanlah perkara ibadah. Jawaban kedua bahwa yang memakai jubah bukan hanya nabi, bukan hanya muslim, bahkan kebanyakan justru non muslim di Arab, semisal abu Jahal, abu Lahab, dll. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa jubah merupakan bagian dari perkara al-urf (tradisi) masyarakat Arab.

Ketiga, Muhammadiyah berprinsip wasathiyah (moderat). Sikap moderat ini memiliki plus karena Muhammadiyah tidak cenderung ke salah satu, tidak berpihak pada sikap ekstrem, juga jauh dari kesan berlebihan. Baik lebih atau cenderung terlalu kanan maupun terlalu kiri.

Keempat, Muhammadiyah berprinsip modernis. Dalam hal ini bisa diartikan sebagai sikap yang berkemajuan. Terminologi modernis sering membingungkan dan mis persepsi antara modernis dalam tradisi barat dan Indonesia. Dalam tradisi barat, modernis adalah dominasi akal, dan hampir meninggalkan wahyu. Sementara modernis yang dimaksud Muhamamdiyah adalah berimbang atau setidaknya sesuai kapasistasnya, antara akal dan wahyu.

Kelima, Muhamamdiyah sebagai gerakan yang gemar beramal. Hal ini terbukti di lapangan. Terlalu sering Muhammadiyah bekerja dalam diam, dalam keikhlasan, ketulusan, dan semangat mencari ridha ilahi. Bayangkan berapa ribu amal usaha Muhammadiyah yang dibangun dari hasil swadaya dan bantuan warga Muhammadiyah. andaikan di suatu daerah ada kumpulan warga mauhammadiyah, maka hampir dapat dipastikan bahwa disana terdapat atau dibangun sebuah amal usaha dari sumbangan warga Muhammadiyah.

(Catatan ini merupakan ringkasan notulen Muhammad Ridha Basri, disarikan dari studium general Prof. Dr. Yunahar Ilyas, M.A. pada milad Muhammadiyah ke-106 di PWM DIY, 8 Zulhijjah 1436 H/19 September 2015)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjaga Keturunan Sebagai Upaya Perlindungan (Hifdzu Nasl)

Oleh: Immawan Muhammad Asro Al Aziz Keturunan ( nasl ) merupakan serangkaian karakteristik seseorang yang diwariskan orang tua kepada anak, atau segala potensi, baik fisik maupun psikis yang dimiliki seseorang dari orang tua melalui gen-gen. Keturunan juga merupakan faktor utama yang mempengaruhi perkembangan individu. Perhatian Islam terhadap keturunan dapat dilihat dari sejarahnya yang membuktikan bahwa merupakan hal yang sangat penting dalam, sehingga terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang secara spesifik berbicara tentang penjagaan keturunan. Misalnya pada QS. al-Ahzab: 4-5 yang memberi tuntunan tentang proses pemberian nasab terhadap anak kandung dan anak angkat. Karena, perhatian terhadap keturunan juga berimplikasi terhadap hak pemberian nafkah, pewarisan harta, pengharaman nikah, dan lain-lain. Islam memberikan perhatian yang besar terhadap keturunan untuk mengukuhkan aturan dalam keluarga yang bertujuan untuk mengayominya melalui perbaikan serta menjamin kehidupannya

Implementasi Strategi Inovasi Produk Perspektif Al-Qur'an

A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk individual juga sebagai makhluk ekonomi. Banyak kebutuhan yang di perlukan oleh setiap manusia menjadikan ekonomi sebagai suatu ilmu untuk memenuhi keberlangsungan hidup seseorang. Hal bisa itu terjadi karena perubahan lingkungan yang fundamental merupakan daya dorong (driving forces) perubahan perekonomian dan bisnis. Perubahan dalam semua aspek kehidupan harus direspons sesuai dengan tingkat kebutuhan dan kemanfaatan bisnis. Di sisi lain, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan perusahaan beroperasi di tingkat lokal, regional dan global, tanpa harus membangun system bisnis di tempat perusahaan tersebut beroperasi. Proses informasi dan komunikasi memperluas kemungkinan operasi jaringan perusahaan.  Disebutkan bahwa Koperasi di Jawa Tengah mengalami perkembangan jumlah koperasi aktif 22.674 (81,37%), tetapi tidak disertai dengan berkurangnya jumlah koperasi tidak aktif di Jawa Tengah dengan jumlah 5.19

Strategi Dakwah Ala Rasulullah

Oleh: Immawati Afifatur Rasyidah Islam merupakan agama perdamaian yang dianugrahkan oleh Allah swt dan perlu dijaga eksistensinya. Sebagai kader umat dan pewaris tampuk pimpinan umat kelak, sejatinya dewasa ini para generasi muda dilatih agar dapat menghadapi tantangan dan menjaga agama Islam ini. Berbagai kontroversi terjadi, agama dimonsterisasi, ulama didiskriminalisasi, umat dicurigai, dakwah dianggap provokasi, bahkan kebaikan pun dianggap radikalisasi. Salah satu   maqashidu syariah dalam agama Islam ialah hifdzu al-din (menjaga agama). Penjagaan terhadap agama dapat diimplementasikan dengan berbagai hal, salah satunya adalah dengan dakwah. Penyebaran dakwah tentu tak terlepas dengan metode atau manhaj atau thariqah. At-Thariqat Ahammu Min Al-Maddah, metode itu jauh lebih penting daripada materi. Ia merupakan sebuah seni (estetika) dalam proses penyampaian dakwah. Secara leksikal, metode ialah the way of doing. Sebaik-baik kualitas materi yang disampaikan dalam pembelajaran