Langsung ke konten utama

Harmoni dalam Kemajemukan




Judul               : Fikih Kebinekaan (Pandangan Islam Indonesia Tentang Umat, Kewargaan dan Kepemimpinan non-Muslim
Penulis             : Azyumardi Azra, dkk
Editor              : Wawan Gunawan Abdul Wahid, Muhammad Adullah Darraz, dan Ahmad Fuad Fanani
Penerbit           : Kerjasama Mizan dan Maarif Institute
Tahun Terbit    : Cetakan Pertama,  Agustus 2015
Tebal               : 360 halaman
ISBN               : 978-979-433-896-4
Peresensi         : Muhammad Ridha Basri*

Indonesia adalah negara yang bineka. Majemuk dalam agama, budaya, bahasa, suku, hingga sumber daya, flora dan fauna. Lestarinya keberagaman komponen bangsa ini salah satunya disebabkan oleh sikap kepercayaan diri yang teguh serta lantang dalam menunjukkan identitas kebinekaan yang bermoral. Yudi Latif --pengamat isu-isu kebangsaan-- menunjukkan keabsahan betapa segenap manusia yang dilahirkan di bumi Indonesia patut berbangga. Dalam tulisannya, Yudi Latif mengutip pernyataan sekelompok seniman, yang termuat dalam Surat Kepercayaan Gelanggang pada tahun 1950. Di antara isinya berbunyi; “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.” (Fikih Kebhinekaan, hlm. 285)
Lumrahnya dalam perjalanan sebuah bangsa, riak-riak kecil gejolak dan percikan api konflik kerap mencoba menggoyahkan perahu Indonesia. Terutama, setelah runtuhnya orde baru, Indonesia baru datang dengan wajah semakin beragam. Ketika pintu demokrasi diberi ruang yang selebar-lebarnya, rakyat Indonesia berjibaku memetik buah positif dan negatif silih berganti, sebagai konsekuensi logis dari konsensus demokrasi. Khususnya dalam hubungan antar pemeluk agama. Wacana agama sering menjadi isu seksi yang tiada habis-habisnya. Mulailah muncul problema mayoritas-minoritas, pro-kontra kepemimpinan beda agama, diskriminasi agama, dan seterusnya.
Di tengah situasi bangsa yang kerap diterpa problem intoleransi, diskriminasi, dan marjinalisasi terhadap suatu kelompok agama, aliran, sekte, atau bahkan mazhab, kehadiran buku "Fikih Kebhinnekaan" menjadi semacam oase. Buku yang ditulis bersama oleh 16 tokoh, praktisi, dan cendekiawan ini mengajak pembaca untuk melihat perkara keberagaman melalui sudut pandang fikih, yang tidak hitam-putih. Fikih yang mengedepankan hubungan sosial yang harmonis, tanpa diskrimimasi dan demokratis. KH. Sahal Mahfudh, pernah mengutarakan bahwa fikih lahir  melalui serangkaian proses penalaran dan kerja intelektual yang panjang. Hasil dari proses yang demikian teliti itulah pada akhirnya dinyatakan sebagai hukum praksis keseharian. Hukum fikih yang lahir sebagai sebuah produk ijtihad, terus berkembang lantaran pertimbangan-pertimbangan sosio-politik dan sosio-kultural serta pola pikir yang mengalami perubahan.
Bahwa teks yang melarang menjadikan non muslim sebagai pemimpin (semisal QS. Ali Imran: 28, QS. Al-Nisa:144, dan QS. Al-Maidah:51), selalu terkait dengan konsteks dan alasan yang menyertai dibalik pelarangan tersebut. Ibnu Taimiyah yang terkenal sangat keras dalam urusan aqidah justru sangat longgar dalam urusan kepemimpinan ini. Syaikhul Islam yang pernah hidup di bawah kepemimpinan raja-raja Mongol –yang beragama non muslim--, bahkan memiliki adagium bahwa pada prinsipnya, Tuhan akan berpihak pada pemimpin yang adil, meskipun ia bukan seorang muslim. Lalu Ibnu Taimiyah melanjutkan bahwa, “Dunia akan tegak manakala mampu memadukan antara kekufuran dan keadilan. Sebaliknya, dunia tidak akan tegak manakala memadukan antara kezaliman dan keislaman.” (Fikih Kebinekaa, hlm 321)
Buku Fikih Kebinekaan --yang juga disambut baik oleh Menteri Agama RI--, lahir sebagai sebuah sumbangan pemikiran, lahir untuk merekonstruksi pemahaman tentang relasi kehidupan dalam sebuah kemajemukan. Wawan Gunawan Abdul Wahid --salah seorang penulis, sekaligus editor buku-- menjelaskan bagaimana Nabi Muhammad telah memberi contoh kepada umatnya agar Islam selalu menjadi agama pengayom. Menjadi tenda besar dalam komunitas majemuk. Islam yang benar-benar membumi dan tidak menjadi agama yang memonopoli dalam berbagai bidang, termasuk urusan kepemimpinan. Semisal ketika peristiwa hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad menggunakan jasa penunjuk jalan dari kalangan non-muslim. Demikian juga saat peristiwa Fathul Makkah, Nabi memberikan kunci pintu Kakbah kepada seseorang dari kalangan non-muslim. Hal ini disebabkan karena Nabi menilai seseorang sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas, bukan didasarkan pada aspek latar belakang agama saja.
Berkaca pada peristiwa Piagam Madinah, masyarakat Indonesia bisa mengambil banyak teladan. Bahwa ketika itu Islam yang hanya berkekuatan lebih kurang 15% selalu mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan kelompok agama. Persatuan dan kesatuan masyarakat Madinah jauh lebih urgen. Atas dasar itu, Nabi tanpa ragu melakukan perjanjian dan kerjasama dengan semua komponen umat dari beragam latar suku dan agama di Madinah. Dalam konteks Indonesia, Pancasila bisa dianalogikan layaknya Piagam Madinah. Setelah semua pendiri bangsa menyatakan kata sepakat, maka tugas kita selanjutnya adalah berkomitment dan teguh memegang prinsip-prinsip kebersamaan itu, tanpa keberpihakan.

Penulis adalah Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Redaktur Majalah KIBAR.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjaga Keturunan Sebagai Upaya Perlindungan (Hifdzu Nasl)

Oleh: Immawan Muhammad Asro Al Aziz Keturunan ( nasl ) merupakan serangkaian karakteristik seseorang yang diwariskan orang tua kepada anak, atau segala potensi, baik fisik maupun psikis yang dimiliki seseorang dari orang tua melalui gen-gen. Keturunan juga merupakan faktor utama yang mempengaruhi perkembangan individu. Perhatian Islam terhadap keturunan dapat dilihat dari sejarahnya yang membuktikan bahwa merupakan hal yang sangat penting dalam, sehingga terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang secara spesifik berbicara tentang penjagaan keturunan. Misalnya pada QS. al-Ahzab: 4-5 yang memberi tuntunan tentang proses pemberian nasab terhadap anak kandung dan anak angkat. Karena, perhatian terhadap keturunan juga berimplikasi terhadap hak pemberian nafkah, pewarisan harta, pengharaman nikah, dan lain-lain. Islam memberikan perhatian yang besar terhadap keturunan untuk mengukuhkan aturan dalam keluarga yang bertujuan untuk mengayominya melalui perbaikan serta menjamin kehidupannya

Implementasi Strategi Inovasi Produk Perspektif Al-Qur'an

A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk individual juga sebagai makhluk ekonomi. Banyak kebutuhan yang di perlukan oleh setiap manusia menjadikan ekonomi sebagai suatu ilmu untuk memenuhi keberlangsungan hidup seseorang. Hal bisa itu terjadi karena perubahan lingkungan yang fundamental merupakan daya dorong (driving forces) perubahan perekonomian dan bisnis. Perubahan dalam semua aspek kehidupan harus direspons sesuai dengan tingkat kebutuhan dan kemanfaatan bisnis. Di sisi lain, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan perusahaan beroperasi di tingkat lokal, regional dan global, tanpa harus membangun system bisnis di tempat perusahaan tersebut beroperasi. Proses informasi dan komunikasi memperluas kemungkinan operasi jaringan perusahaan.  Disebutkan bahwa Koperasi di Jawa Tengah mengalami perkembangan jumlah koperasi aktif 22.674 (81,37%), tetapi tidak disertai dengan berkurangnya jumlah koperasi tidak aktif di Jawa Tengah dengan jumlah 5.19

Strategi Dakwah Ala Rasulullah

Oleh: Immawati Afifatur Rasyidah Islam merupakan agama perdamaian yang dianugrahkan oleh Allah swt dan perlu dijaga eksistensinya. Sebagai kader umat dan pewaris tampuk pimpinan umat kelak, sejatinya dewasa ini para generasi muda dilatih agar dapat menghadapi tantangan dan menjaga agama Islam ini. Berbagai kontroversi terjadi, agama dimonsterisasi, ulama didiskriminalisasi, umat dicurigai, dakwah dianggap provokasi, bahkan kebaikan pun dianggap radikalisasi. Salah satu   maqashidu syariah dalam agama Islam ialah hifdzu al-din (menjaga agama). Penjagaan terhadap agama dapat diimplementasikan dengan berbagai hal, salah satunya adalah dengan dakwah. Penyebaran dakwah tentu tak terlepas dengan metode atau manhaj atau thariqah. At-Thariqat Ahammu Min Al-Maddah, metode itu jauh lebih penting daripada materi. Ia merupakan sebuah seni (estetika) dalam proses penyampaian dakwah. Secara leksikal, metode ialah the way of doing. Sebaik-baik kualitas materi yang disampaikan dalam pembelajaran