Oleh : Ahmad Najib Burhani
Sejak Din Syamsuddin terpilih menjadi Ketua Umum
Muhammadiyah tahun 2005, tema internasionalisasi Muhammadiyah sering menjadi
bahasan dari organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini. Hal ini sepertinya
didasarkan pada kenyataan bahwa meski Muhammadiyah telah lahir sejak 1912,
namun organisasi ini tidak banyak berkembang di luar negeri.
Organisasi-organisasi Islam yang justru lahir lebih muda dari Muhammadiyah,
seperti Jemaah Tabligh (1926), Ikhwanul Muslimin (1928), Hizbut Tahrir (1953), dan
Ghulen Movement (1982) kini telah menyebar ke hampir seluruh dunia. Pertanyaanya,
mengapa Muhammadiyah tak bisa seperti organisasi-organisasi itu? Apa yang
menjadi kendala dari Muhammadiyah untuk menyebar ke negara lain?
Tentu saja tidak bisa dinafikan bahwa sejak 1957 telah
berdiri Muhammadiyah di Singapura yang memiliki banyak sekali kemiripan dengan
Muhammadiyah Indonesia, baik dari segi logo maupun aktivitasnya. Namun
Muhammadiyah Singapura yang didirikan oleh Ustaz Rijal Abdullah dan Ustaz Amir
Esa bukanlah cabang dari Muhammadiyah Indonesia. Tidak ada garis koordinasi
ataupun komando antara Muhammadiyah Indonesia dan Singapura. Kalaulah ada hubungan,
itu hanyalah persaudaraan sesama Muslim dan sesama organisasi Islam.
Sejak Din Syamsuddin memimpin Muhammadiyah, upaya
internasionalisasi Muhammadiyah terus dilakukan. Diantaranya adalah dengan
pendirian PCIM (Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah) di berbagai negara,
seperti Jepang, Vietnam, Inggris, Amerika, Mesir, dan Belanda. Inilah makna
pertama dari internasionalisasi Muhammadiyah yang selama ini sering dipahami.
Namun demikian, keberadaan PCIM itu masih memiliki banyak keterbatasan. Anggota
berbagai PCIM itu, misalnya, masih didominasi oleh orang Indonesia yang
kebetulan berada di luar negeri seperti pelajar, pekerja, dan istri atau suami
orang asing. Karena itu seringkali aktivitasnya sangat tergantung dari luangnya
waktu kuliah atau bekerja.
Makna kedua dari internasionalisasi Muhammadiyah yang juga
sering dipahami adalah partisipasi dalam berbagai organisasi internasional atau
aktivitas di luar negeri. Ini misalnya seperti yang dilakukan oleh beberapa
pimpinan Muhammadiyah seperti Din Syamsuddin, Abdul Mu’ti, dan Syafiq Mughni.
Mereka terlibat dari beberapa pertemuan agama tingkat dunia, berbicara tentang
Islam Indonesia di beberapa forum internasional, dan terlibat dalam aksi
kemanusiaan serta filantropi dengan berbagai negara di dunia.
Makna ketiga dari gagasan internasionalisasi Muhammadiyah
adalah menjalin hubungan akademik dengan berbagai institusi di luar negeri. Ini
misalnya diwujudkan oleh berbagai universitas Muhammadiyah yang membangun
kerjasama dengan universitas-universitas di luar negeri, mengadakan seminar dan
konferensi internasional, memperkenalkan Muhammadiyah ke peneliti-peneliti
asing, dan juga penerjemahan buku-buku berbahasa Indonesia ke bahasa asing.
Bila dibandingkan dengan organisasi semisal Jamaah Tabligh,
Ikhwanul Muslimin, dan Ghulen movement, maka tentu banyak hal yang telah mereka
lakukan tapi belum dilakukan oleh Muhammadiyah. Beberapa organisasi itu,
seperti Jamaah Tabligh, aktif mengirimkan misionaris atau muballighnya ke
berbagai negara untuk menyebarkan pemahaman Islam versi mereka. Mereka juga
mendirikan sekolah-sekolah di berbagai negara dengan ciri khas pendidikan yang
mereka kembangkan. Ghulen movement, contohnya, kini telah memiliki beberapa
sekolah dengan sistem dan kekhasan pendidikan mereka di Indonesia, Australia,
dan Amerika. Beberapa organisasi menerjemahkan dan menyebarkan buku-buku karya
mereka ke berbagai bahasa di dunia. Ahmadiyah, misalnya, telah menerjemahkan
Al-Qur’an dengan tafsir versi mereka kepada lebih dari 200 bahasa di dunia.
Hizbut Tahrir merekrut banyak orang lokal dan mendirikan cabang-cabang di
berbagai belahan dunia. Ini semua belum dilakukan oleh Muhammadiyah.
Selain alasan fastabiqul
khairat dengan organisasi Islam lain, gagasan tentang internasionalisasi
Muhammadiyah ini juga berangkat dari kesadaran bahwa globalisasi itu sudah tak
dapat dielakkan lagi. Sayangnya, di tengah dunia yang global ini, Indonesia
yang memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia ternyata seringkali hanya
menjadi konsumen berbagai paham dan pengaruh dari luar. Bangsa ini sepertinya
hanya menjadi pasar bagi produk budaya dan pemikiran asing. Ketika Jemaah
Islamiyah muncul, banyak orang Islam Indonesia yang berbondong-bondong
bergabung dengan gerakan itu. Ketika ISIS (Islamic State of Iraq and Syria)
mendeklarasikan khilafahnya, sejumlah umat Islam dari Indonesia bergabung ke
sana. Ketika Hizbut Tahrir berdiri di Indonesia, banyak mahasiswa Muslim yang
bergabung dengannya. Jarang atau hampir tidak pernah dalam sejarah ketika umat
Islam Indonesia bisa mempengaruhi atau memimpin umat Islam di dunia lain.
Seringkali para pemimpin Muslim negeri ini menunjukkan Islam
di Indonesia adalah lebih baik atau tak kalah ortodoksinya dari Islam di negara
lain. Karena itu, Islam ala Indonesia mestinya mampu “dijual” ke komunitas
Muslim lain. Sayangnya, selama ini gagasan ini belum laku atau belum mampu meyakinkan
orang Islam di luar Indonesia. Atau paling tidak, promosi yang dilakukan selama
ini belum cukup berhasil. Ini juga yang menjadi dasar keinginan untuk terus melakukan
internasionalisasi Muhammadiyah.
Sebagai penutup, tulisan ini ingin mengutip tiga konsep
tentang internasionalisasi yang dikemukakan oleh Fred Halliday (1988) dalam artikelnya
yang berjudul “Three Concept of Internationalism”. Barangkali tiga konsep ini
bisa menjadi renungan ke arah mana internasionalisasi Muhammadiyah itu akan
menuju. Pertama adalah “internasionalisme radikal” atau “internasionalisme
revolusioner”. Intinya, konsep negara bangsa yang ada saat ini seringkali
justru menciptakan berbagai ketimpangan di dunia. Karena itu, dunia yang satu
perlu dibentuk. Internasionalisme ini
dijalankan dengan cara radikal untuk mengubah pola dunia. Ini diantaranya yang
dilakukan oleh Hizbut Tahrir; Weltklasse,
Weltpartei, Weltrevolution dari Lenin; dan global jihad yang diusung Osama
bin Laden.
Konsep kedua adalah “internasionalisme hegemonik”. Berbeda
dari yang pertama, internasionalisme ini dilakukan justru menciptakan dunia
yang asimetris atau tidak rata. Ini dilakukan dengan melakukan hegemoni
pandangan atau ekonomi. Internasionaliasasi ini identik dengan kolonialisme.
Hegemoni Bahasa Inggris, misalnya, ikut berpengaruh terhadap punahnya ribuan
bahasa lokal. Penyebaran Wahabisme yang menolak pemahaman Islam yang berbeda
adalah contoh lain dari internasionalisme hegemonik.
Konsep ketiga adalah “internasionalisme liberal”. Intinya,
dalam dunia yang global ini semua umat manusia harus melakukan interaksi dan
bekerja sama yang lebih baik demi tujuan kemanusiaan. Tujuan dari
internasionalisasi bukanlah untuk melakukan hegemoni ataupun membuat perubahan
dunia secara drastik, tapi melakukan kerjsama untuk menciptakan dunia yang
damai.
-oo0oo-
*Peneliti LIPI dan
pengelola blog muhammadiyahstudies.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar