Langsung ke konten utama

Catatan Milad IMM ke-51*



Kuntowijoyo dalam bukunya “Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika” mengemukakan sebuah analogi menarik yang available terhadap kondisi gerakan kemahasiswaan. Kuntowijoyo mengklasifikasikan secara umum ada dua jenis gerakan; antara yang berorientasi keilmuan dan politis. Keduanya bisa dibedakan dengan mengibaratkan antara pohon jati dan pohon pisang. Kedua pohon ini berbeda. Menanam pohon jati akan memakan waktu berpuluh-puluh tahun dan bahkan satu generasi untuk kemudian bisa menikmati buahnya. Berbeda dengan menanam pohon pisang, kita hanya perlu mencari momentum yang tepat dan kemudian membiarkannya tumbuh dengan sendirinya hingga pohon itu telah berkembang dengan cepat dan menghasilkan buah dalam waktu yang sangat singkat. Dilihat dari hasil, kedua pohon ini juga memiliki umur kehidupan yang bertolak belakang, pohon jati akan sanggup bertahan dalam waktu lama, sementara pohon pisang akan segera dipotong atau bahkan mati dengan sendirinya setelah buahnya selesai dipanen.
Pohon jati merupakan pengejawantahan terhadap gerakan kemahasiswaan yang beorientasi keilmuan. Gerakan keilmuan akan mengalami proses tumbuh kembang selama beberapa dasawarsa bahkan melewati hitungan abad untuk kemudian bisa menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi peradaban manusia. Sementara gerakan yang bersifat politis, ia hanya perlu mencari momentum yang tepat untuk menyemai bibit, sambil mengunggang pihak yang berkepentingn. Ia juga akan cepat berkembang dan berbuah, tetapi semua itu bersifat sementara dan yang dihasilkan pun tak akan memuaskan, bahkan yang paling menyedihkan adalah setelah ia selesai berbuah, gerakan ini pun akan cepat bubar atau mati, layaknya pohon pisang.
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) yang lahir pada tanggal 29 Syawal 1384 H/14 Maret 1964 M merupakan perwujudan dari gerakan keilmuan. Tumbuh dan berkembang dari rahim Muhammadiyah. Kelahirannya tak lepas dari faktor internal dan eksternal ketika itu. Faktor internal menyangkut dinamika yang dialami oleh Persyarikatan Muhammadiyah. Misalnya desakan kebutuhan kaderisasi bagi Muhammadiyah yang sudah tumbuh besar. Selain itu, tentunya kelahiran IMM juga dipengaruhi oleh faktor eksternal. Di antaranya sebagai respon atas persoalan-persoalan keummatan dalam sejarah bangsa ini pada periode awal kelahiran IMM. Sehingga kehadiran IMM sebenarnya merupakan sebuah keharusan sejarah yang tak terelakkan.

Lebih lanjut, faktor-faktor problematis dalam persoalan keummatan di masa awal kelahiran IMM antara lain adalah sebagai berikut: Pertama, Situasi kehidupan bangsa yang tidak stabil, pemerintahan yang otoriter dan serba tunggal,   serta adanya ancaman komunisme di Indonesia. Kedua, Terpecah-belahnya umat Islam datam bentuk  saling curiga dan fitnah, serta kehidupan politikummat Islam yang semakin buruk. Ketiga, Terbingkai-bingkainya kehidupan kampus (mahasiswa) yang berorientasi pada kepentingan politik praktis. Keempat, Melemahnya kehidupan beragama dalam bentuk merosotnya akhlak, dan semakin tumbuhnya materialisme-individualisme. Kelima, Sedikitnya pembinaan dan pendidikan agama  dalam kampus, serta masih kuatnya suasana kehidupan kampus yang sekuler. Keenam, Masih membekasnya ketertindasan imperialisme penjajahan dalam bentuk keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan. Ketujuh, Masih banyaknya praktek-praktek kehidupan yang serba bid'ah, khurafat, bahkan kesyi rikan, serta semakin meningkatnya misionaris- Kristenisasi. Kedelapan, Kehidupan ekonomi, sosial, dan politik yang semakin memburuk. (Farid Fathoni, 1990: 102)
Kehadiran IMM tidak murni lepas dari orientasi politis. Ia mengalami masa harus berhadapan dengan realita dan hukum kausalitas yang ada. Namun kemudian, oleh para founding father berusaha mengarahkan IMM untuk berjalan di atas rel yang jauh dari gangguan politik seperti kebanyakan gerakan mahasiswa. Maka kemudian, adanya trilogi dan trikompetensi yang melekat pada tubuh IMM, dijadikan sebagai salah satu pembeda antara IMM dengan gerakan mahasiswa lainnya. Trikompetensi berupa religiusitas, intelektualitas, dan humanitas ini harus tertanam dalam sanubari setiap kader, sehingga dapat menjadi paradigama yang sesuai dengan yang diinginkan oleh ikatan. Sedangkan triloginya, merupakan lahan garapan ikatan dalam tiga tempat, yaitu dunia kemasiswaan, kegamaan, dan kemasyarakatan. Ketiga ranah tersebut sudah sedemikian cukup dan bahkan sempurna untuk sebuah gerakan mahasiswa.
Kini, IMM sudah berusia lebih dari setengah abad. Dari ketiga ranah garapan IMM, hingga usianya yang ke-51 pada 14 Maret 2015, semua masih belum memuaskan. Sebagai gerakan keilmuan, mungkin selama ini apa yang sudah dilakukan dan disumbangkan oleh IMM untuk peradaban masih terlalu dini untuk dinilai. Karena biasanya gerakan keilmuan akan mengikuti prinsip kehidupan pohon jati yang lama berbuah. Namun terus-menerus mengajukan alasan itu untuk membela diri merupakan posisi jalan di tempat dan menjadi sebab kemunduran. Terjebak pada identitas sebagai gerakan keilmuan yang tidak berorientasi politis, sehingga kemudian berusaha memaklumi diri untuk bisa lebih bersantai tanpa merebut momentum yang ada, merupakan sebuah langkah mundur dan mendekati jurang kegelapan.
Di usia yang semakin menginjak dewasa, IMM dituntut untuk bersaing dengan berbagai gerakan mahasiswa yang lain, terutama di kampus negeri dan swasta yang non-Muhammadiyah. Kehadiran organisasi lain seharusnya bukan dijadikan sebagai lawan namun justru menjadi titik tumpuan dan cermin untuk melejit dan berkompetensi secara fair play. Bukan tak mungkin, juga dijadikan mitra kerjasama yang saling membina silaturahim demi beberapa cakupan cita-cita yang kebetulan bisa diwujudkan bersama. Organisasi atau komunitas apapun kini bisa lahir dengan mudah sejak era reformasi. Ranah gerak dan fokus gerakan pun bisa dengan bebas disemai, tak perlu bersembunyi dari rezim yang berkuasa. Saking bebasnya, beberapa komunitas tersebut justru dimanfaatkan oleh kepentingan tertentu untuk menyemai ideologi dan paham yang tidak seharusnya. Dikhawatirkan, ketika gerakan mahasiswa yang sudah lama eksis tidak mampu untuk bertransformasi dan berdialektika dengan konteks global yang terus berubah, maka nantinya massa lebih tertarik dengan gerakan yang baru lahir, yang masih segar dan belum terlihat bernoda. Padahal gerakan-gerakan baru yang belum terlalu eksis tersebut mudah untuk disusupi, didoktrin dan kemudian diarahkan untuk merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kemunculan berbagai komunitas dan organisasi baru, ternyata tidak diimbangi dengan meningkatnya minat mahasiswa untuk bergabung dan mengambil bagian dari salah satu organisasi tersebut. Terlebih tuntutan dan sistem yang diterapkan oleh pihak kampus ikut membatasi gerak gerakan mahasiswa. Para mahasiswa dituntut dengan aturan absensi kehadiran wajib minimal 75%. Selain itu, waktu sore dan malam mereka dijejali dengan jadwal tugas perkuliahan. Jika pun sesekali tidak sedang dikejar deadline tugas perkuliahan, maka mereka lebih senang disibukkan dengan berselancar di dunia maya, menonton, berhura-hura atau pacaran sebagai ajang refresing. Sementara kultur berorganisasi yang cenderung membosankan, berupa aktivitas diskusi, rapat, memperlebar jaringan, berlatih kepemimpinan, mengadakan event tertentu, et.al. dianggap sebagai ajang yang tidak urgen dikejar.
IMM di usianya yang sudah semakin matang ini dituntut untuk lebih kreatif mengepakkan sayap merahnya. Kehadiran IMM seharusnya bisa merespon konteks kegelisahan mahasiswa kekinian yang berminat pada kondisi yang serba instan dan merambah dunia global. IMM akan kalah bersaing dan kemudian ditinggalkan jika hanya berfokus pada runititas organisasi atau terjebak pada ranah sempit dengan cara-cara klasik. IMM seharusnya mampu memanfaatkan semua sarana, prasarana, termasuk sosial media yang ada guna mengkonstektualisasikan semua cita-citanya, sebagai gerakan keilmuan. Selamat Milad IMM ke-51!

Penulis Kabid Riset dan Keilmuan PK.IMM Uy.
*Tulisan ini dimuat di kolom "Wawasan" buletin Qolamuna Institute, edisi kedua Maret 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjaga Keturunan Sebagai Upaya Perlindungan (Hifdzu Nasl)

Oleh: Immawan Muhammad Asro Al Aziz Keturunan ( nasl ) merupakan serangkaian karakteristik seseorang yang diwariskan orang tua kepada anak, atau segala potensi, baik fisik maupun psikis yang dimiliki seseorang dari orang tua melalui gen-gen. Keturunan juga merupakan faktor utama yang mempengaruhi perkembangan individu. Perhatian Islam terhadap keturunan dapat dilihat dari sejarahnya yang membuktikan bahwa merupakan hal yang sangat penting dalam, sehingga terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang secara spesifik berbicara tentang penjagaan keturunan. Misalnya pada QS. al-Ahzab: 4-5 yang memberi tuntunan tentang proses pemberian nasab terhadap anak kandung dan anak angkat. Karena, perhatian terhadap keturunan juga berimplikasi terhadap hak pemberian nafkah, pewarisan harta, pengharaman nikah, dan lain-lain. Islam memberikan perhatian yang besar terhadap keturunan untuk mengukuhkan aturan dalam keluarga yang bertujuan untuk mengayominya melalui perbaikan serta menjamin kehidupannya

Implementasi Strategi Inovasi Produk Perspektif Al-Qur'an

A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk individual juga sebagai makhluk ekonomi. Banyak kebutuhan yang di perlukan oleh setiap manusia menjadikan ekonomi sebagai suatu ilmu untuk memenuhi keberlangsungan hidup seseorang. Hal bisa itu terjadi karena perubahan lingkungan yang fundamental merupakan daya dorong (driving forces) perubahan perekonomian dan bisnis. Perubahan dalam semua aspek kehidupan harus direspons sesuai dengan tingkat kebutuhan dan kemanfaatan bisnis. Di sisi lain, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan perusahaan beroperasi di tingkat lokal, regional dan global, tanpa harus membangun system bisnis di tempat perusahaan tersebut beroperasi. Proses informasi dan komunikasi memperluas kemungkinan operasi jaringan perusahaan.  Disebutkan bahwa Koperasi di Jawa Tengah mengalami perkembangan jumlah koperasi aktif 22.674 (81,37%), tetapi tidak disertai dengan berkurangnya jumlah koperasi tidak aktif di Jawa Tengah dengan jumlah 5.19

Strategi Dakwah Ala Rasulullah

Oleh: Immawati Afifatur Rasyidah Islam merupakan agama perdamaian yang dianugrahkan oleh Allah swt dan perlu dijaga eksistensinya. Sebagai kader umat dan pewaris tampuk pimpinan umat kelak, sejatinya dewasa ini para generasi muda dilatih agar dapat menghadapi tantangan dan menjaga agama Islam ini. Berbagai kontroversi terjadi, agama dimonsterisasi, ulama didiskriminalisasi, umat dicurigai, dakwah dianggap provokasi, bahkan kebaikan pun dianggap radikalisasi. Salah satu   maqashidu syariah dalam agama Islam ialah hifdzu al-din (menjaga agama). Penjagaan terhadap agama dapat diimplementasikan dengan berbagai hal, salah satunya adalah dengan dakwah. Penyebaran dakwah tentu tak terlepas dengan metode atau manhaj atau thariqah. At-Thariqat Ahammu Min Al-Maddah, metode itu jauh lebih penting daripada materi. Ia merupakan sebuah seni (estetika) dalam proses penyampaian dakwah. Secara leksikal, metode ialah the way of doing. Sebaik-baik kualitas materi yang disampaikan dalam pembelajaran