Kuntowijoyo
dalam bukunya “Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika”
mengemukakan sebuah analogi menarik yang available terhadap kondisi
gerakan kemahasiswaan. Kuntowijoyo mengklasifikasikan secara umum ada dua jenis
gerakan; antara yang berorientasi keilmuan dan politis. Keduanya bisa dibedakan
dengan mengibaratkan antara pohon jati dan pohon pisang. Kedua pohon ini
berbeda. Menanam pohon jati akan memakan waktu berpuluh-puluh tahun dan bahkan
satu generasi untuk kemudian bisa menikmati buahnya. Berbeda dengan menanam
pohon pisang, kita hanya perlu mencari momentum yang tepat dan kemudian
membiarkannya tumbuh dengan sendirinya hingga pohon itu telah berkembang dengan
cepat dan menghasilkan buah dalam waktu yang sangat singkat. Dilihat dari
hasil, kedua pohon ini juga memiliki umur kehidupan yang bertolak belakang,
pohon jati akan sanggup bertahan dalam waktu lama, sementara pohon pisang akan
segera dipotong atau bahkan mati dengan sendirinya setelah buahnya selesai dipanen.
Pohon
jati merupakan pengejawantahan terhadap gerakan kemahasiswaan yang beorientasi
keilmuan. Gerakan keilmuan akan mengalami proses tumbuh kembang selama beberapa
dasawarsa bahkan melewati hitungan abad untuk kemudian bisa menghasilkan
sesuatu yang bermanfaat bagi peradaban manusia. Sementara gerakan yang bersifat
politis, ia hanya perlu mencari momentum yang tepat untuk menyemai bibit, sambil
mengunggang pihak yang berkepentingn. Ia juga akan cepat berkembang dan berbuah,
tetapi semua itu bersifat sementara dan yang dihasilkan pun tak akan memuaskan,
bahkan yang paling menyedihkan adalah setelah ia selesai berbuah, gerakan ini pun
akan cepat bubar atau mati, layaknya pohon pisang.
Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) yang lahir pada tanggal 29 Syawal 1384 H/14 Maret
1964 M merupakan perwujudan dari gerakan keilmuan. Tumbuh dan berkembang dari
rahim Muhammadiyah. Kelahirannya tak lepas dari faktor internal dan eksternal
ketika itu. Faktor internal menyangkut dinamika yang dialami oleh Persyarikatan
Muhammadiyah. Misalnya desakan kebutuhan kaderisasi bagi Muhammadiyah yang
sudah tumbuh besar. Selain itu, tentunya kelahiran IMM juga dipengaruhi oleh
faktor eksternal. Di antaranya sebagai respon atas persoalan-persoalan
keummatan dalam sejarah bangsa ini pada periode awal kelahiran IMM. Sehingga
kehadiran IMM sebenarnya merupakan sebuah keharusan sejarah yang tak terelakkan.
Lebih
lanjut, faktor-faktor problematis dalam persoalan keummatan di masa awal
kelahiran IMM antara lain adalah sebagai berikut: Pertama, Situasi
kehidupan bangsa yang tidak stabil, pemerintahan yang otoriter dan serba
tunggal, serta adanya ancaman komunisme
di Indonesia. Kedua, Terpecah-belahnya
umat Islam datam bentuk saling curiga
dan fitnah, serta kehidupan politikummat Islam yang semakin buruk. Ketiga, Terbingkai-bingkainya kehidupan kampus (mahasiswa)
yang berorientasi pada kepentingan politik praktis. Keempat, Melemahnya kehidupan beragama dalam bentuk merosotnya
akhlak, dan semakin tumbuhnya materialisme-individualisme. Kelima, Sedikitnya pembinaan dan pendidikan agama dalam kampus, serta masih kuatnya suasana
kehidupan kampus yang sekuler. Keenam,
Masih
membekasnya ketertindasan imperialisme penjajahan dalam bentuk keterbelakangan,
kebodohan, dan kemiskinan. Ketujuh,
Masih
banyaknya praktek-praktek kehidupan yang serba bid'ah, khurafat, bahkan kesyi
rikan, serta semakin meningkatnya misionaris- Kristenisasi. Kedelapan, Kehidupan ekonomi, sosial, dan politik yang semakin
memburuk. (Farid Fathoni, 1990: 102)
Kehadiran
IMM tidak murni lepas dari orientasi politis. Ia mengalami masa harus
berhadapan dengan realita dan hukum kausalitas yang ada. Namun kemudian, oleh
para founding father berusaha mengarahkan IMM untuk berjalan di atas rel yang
jauh dari gangguan politik seperti kebanyakan gerakan mahasiswa. Maka kemudian,
adanya trilogi dan trikompetensi yang melekat pada tubuh IMM, dijadikan sebagai
salah satu pembeda antara IMM dengan gerakan mahasiswa lainnya. Trikompetensi berupa
religiusitas, intelektualitas, dan humanitas ini harus tertanam dalam sanubari
setiap kader, sehingga dapat menjadi paradigama yang sesuai dengan yang diinginkan
oleh ikatan. Sedangkan triloginya, merupakan lahan garapan ikatan dalam tiga tempat,
yaitu dunia kemasiswaan, kegamaan, dan kemasyarakatan. Ketiga ranah tersebut
sudah sedemikian cukup dan bahkan sempurna untuk sebuah gerakan mahasiswa.
Kini,
IMM sudah berusia lebih dari setengah abad. Dari ketiga ranah garapan IMM,
hingga usianya yang ke-51 pada 14 Maret 2015, semua masih belum memuaskan. Sebagai
gerakan keilmuan, mungkin selama ini apa yang sudah dilakukan dan disumbangkan
oleh IMM untuk peradaban masih terlalu dini untuk dinilai. Karena biasanya
gerakan keilmuan akan mengikuti prinsip kehidupan pohon jati yang lama berbuah.
Namun terus-menerus mengajukan alasan itu untuk membela diri merupakan posisi
jalan di tempat dan menjadi sebab kemunduran. Terjebak pada identitas sebagai
gerakan keilmuan yang tidak berorientasi politis, sehingga kemudian berusaha
memaklumi diri untuk bisa lebih bersantai tanpa merebut momentum yang ada,
merupakan sebuah langkah mundur dan mendekati jurang kegelapan.
Di
usia yang semakin menginjak dewasa, IMM dituntut untuk bersaing dengan berbagai
gerakan mahasiswa yang lain, terutama di kampus negeri dan swasta yang
non-Muhammadiyah. Kehadiran organisasi lain seharusnya bukan dijadikan sebagai
lawan namun justru menjadi titik tumpuan dan cermin untuk melejit dan
berkompetensi secara fair play. Bukan tak mungkin, juga dijadikan
mitra kerjasama yang saling membina silaturahim demi beberapa cakupan cita-cita
yang kebetulan bisa diwujudkan bersama. Organisasi atau komunitas apapun kini
bisa lahir dengan mudah sejak era reformasi. Ranah gerak dan fokus gerakan pun
bisa dengan bebas disemai, tak perlu bersembunyi dari rezim yang berkuasa.
Saking bebasnya, beberapa komunitas tersebut justru dimanfaatkan oleh
kepentingan tertentu untuk menyemai ideologi dan paham yang tidak seharusnya. Dikhawatirkan,
ketika gerakan mahasiswa yang sudah lama eksis tidak mampu untuk bertransformasi
dan berdialektika dengan konteks global yang terus berubah, maka nantinya massa
lebih tertarik dengan gerakan yang baru lahir, yang masih segar dan belum
terlihat bernoda. Padahal gerakan-gerakan baru yang belum terlalu eksis
tersebut mudah untuk disusupi, didoktrin dan kemudian diarahkan untuk merusak
tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kemunculan
berbagai komunitas dan organisasi baru, ternyata tidak diimbangi dengan
meningkatnya minat mahasiswa untuk bergabung dan mengambil bagian dari salah
satu organisasi tersebut. Terlebih tuntutan dan sistem yang diterapkan oleh
pihak kampus ikut membatasi gerak gerakan mahasiswa. Para mahasiswa dituntut
dengan aturan absensi kehadiran wajib minimal 75%. Selain itu, waktu sore dan
malam mereka dijejali dengan jadwal tugas perkuliahan. Jika pun sesekali tidak
sedang dikejar deadline tugas perkuliahan, maka mereka lebih senang disibukkan
dengan berselancar di dunia maya, menonton, berhura-hura atau pacaran sebagai
ajang refresing. Sementara kultur berorganisasi yang cenderung
membosankan, berupa aktivitas diskusi, rapat, memperlebar jaringan, berlatih
kepemimpinan, mengadakan event tertentu, et.al. dianggap sebagai ajang yang
tidak urgen dikejar.
IMM di
usianya yang sudah semakin matang ini dituntut untuk lebih kreatif mengepakkan
sayap merahnya. Kehadiran IMM seharusnya bisa merespon konteks kegelisahan mahasiswa
kekinian yang berminat pada kondisi yang serba instan dan merambah dunia global.
IMM akan kalah bersaing dan kemudian ditinggalkan jika hanya berfokus pada runititas
organisasi atau terjebak pada ranah sempit dengan cara-cara klasik. IMM
seharusnya mampu memanfaatkan semua sarana, prasarana, termasuk sosial media
yang ada guna mengkonstektualisasikan semua cita-citanya, sebagai gerakan
keilmuan. Selamat Milad IMM ke-51!
Penulis Kabid Riset dan Keilmuan PK.IMM Uy.
*Tulisan ini dimuat di kolom "Wawasan" buletin Qolamuna Institute, edisi kedua Maret 2015
Komentar
Posting Komentar