Dari wall teman Kebetulan
Kisah-kisah kenangan tentang kehidupan KH AR Fachruddin selalu menarik
dituturkan. Tulisan ini masih berkisah seputar keteladanan Pak AR yang
saya adaptasi dari buku “Anekdot dan Kenangan Lepas tentang Pak AR”
karya M Sukriyanto AR.
Peristiwanya terjadi sekitar tahun 1963. Ketika itu, Pak AR diundang
oleh Ranting Muhammadiyah di Krendetan, Purwodadi, Jawa Tengah. Karena
perjalanan dengan kendaraan umum dan lumayan jauh, dipastikan Pak AR
sampai di Krendetan sore hari. Begitu sampai di tempat undangan, Pak AR
diantar ke rumah salah seorang keluarga yang memang dijadikan sebagai
transit.
Sudah disediakan hidangan ringan. Tetapi, entah kenapa, teh yang disuguhkan terasa kurang manis. Karena itu, tuan rumah berkata, “Maaf, Pak AR. Tehnya kurang manis.” Tanpa basa-basi, Pak AR langsung menjawab, “Tidak apa-apa. Malah kebetulan. Kata dokter, kalau kebanyakan gula, malah kita bisa kena penyakit kencing manis.”
Selesai istirahat sebentar, tibalah waktu Maghrib. Pak AR lantas shalat berjamaah di masjid. Pulang dari masjid, beliau diajak makan malam. Secara kebetulan, sayurnya kurang garam. “Maaf, Pak AR. Masakannya kurang asin,” kata tuan rumah sambil memanggil istrinya guna meminta garam. “Ah, tidak apa-apa. Jangan pakai repot. Menurut dokter, kalau kebanyakan garam, kita bisa cepat kena darah tinggi,” tutur Pak AR sambil tersenyum.
Makan malam selesai. Saatnya Pak AR, bersama pengurus Ranting Muhammadiyah lain, bergegas ke lokasi pengajian. Ratusan hadirin sudah menanti. Seusai menyampaikan pengajian sampai kira-kira pukul 23.00 itu, Pak AR kembali ke rumah transit dan dipersilakan untuk istirahat. Tetapi, tidak ada tempat tidur, kecuali hanya kasur tipis yang digelar di atas tikar di lantai.
Sembari mempersilakan istirahat, kembali tuan rumah berujar, “Maaf, Pak AR. Tidak pakai dipan.” Pak AR menjawab, “Terima kasih. Tidak apa-apa. Malah enak. Kalau pakai dipan, kadang-kadang bisa jatuh.” Tuan rumah tersipu sambil meminta maaf atas suasana kamar yang juga redup, karena watt lampu di kamar itu memang kecil. Lagi-lagi, Pak AR menjawab, “Tidak apa-apa. Kalau redup malah lebih cepat tidurnya.”
Demikianlah. Bagi orang berhati mutiara semacam Pak AR, segalanya menjadi indah. Kekurangan dirasakan sebagai hiburan secara kebetulan. Sebaliknya, kelebihan tidak pernah dijadikan sebagai motif kebanggaan. Mampukah kita meneladani kearifan ulama yang hidup sangat sederhana namun penuh wibawa dan kharisma itu?
Kepada Allah jua kita harapkan bimbingan dan pertolongan.
Tulisan ini diambil dari wall facebook Ayahanda Yusron Asrofi
Sudah disediakan hidangan ringan. Tetapi, entah kenapa, teh yang disuguhkan terasa kurang manis. Karena itu, tuan rumah berkata, “Maaf, Pak AR. Tehnya kurang manis.” Tanpa basa-basi, Pak AR langsung menjawab, “Tidak apa-apa. Malah kebetulan. Kata dokter, kalau kebanyakan gula, malah kita bisa kena penyakit kencing manis.”
Selesai istirahat sebentar, tibalah waktu Maghrib. Pak AR lantas shalat berjamaah di masjid. Pulang dari masjid, beliau diajak makan malam. Secara kebetulan, sayurnya kurang garam. “Maaf, Pak AR. Masakannya kurang asin,” kata tuan rumah sambil memanggil istrinya guna meminta garam. “Ah, tidak apa-apa. Jangan pakai repot. Menurut dokter, kalau kebanyakan garam, kita bisa cepat kena darah tinggi,” tutur Pak AR sambil tersenyum.
Makan malam selesai. Saatnya Pak AR, bersama pengurus Ranting Muhammadiyah lain, bergegas ke lokasi pengajian. Ratusan hadirin sudah menanti. Seusai menyampaikan pengajian sampai kira-kira pukul 23.00 itu, Pak AR kembali ke rumah transit dan dipersilakan untuk istirahat. Tetapi, tidak ada tempat tidur, kecuali hanya kasur tipis yang digelar di atas tikar di lantai.
Sembari mempersilakan istirahat, kembali tuan rumah berujar, “Maaf, Pak AR. Tidak pakai dipan.” Pak AR menjawab, “Terima kasih. Tidak apa-apa. Malah enak. Kalau pakai dipan, kadang-kadang bisa jatuh.” Tuan rumah tersipu sambil meminta maaf atas suasana kamar yang juga redup, karena watt lampu di kamar itu memang kecil. Lagi-lagi, Pak AR menjawab, “Tidak apa-apa. Kalau redup malah lebih cepat tidurnya.”
Demikianlah. Bagi orang berhati mutiara semacam Pak AR, segalanya menjadi indah. Kekurangan dirasakan sebagai hiburan secara kebetulan. Sebaliknya, kelebihan tidak pernah dijadikan sebagai motif kebanggaan. Mampukah kita meneladani kearifan ulama yang hidup sangat sederhana namun penuh wibawa dan kharisma itu?
Kepada Allah jua kita harapkan bimbingan dan pertolongan.
Tulisan ini diambil dari wall facebook Ayahanda Yusron Asrofi
Komentar
Posting Komentar