Sosok
itu duduk di kursi kayu. Wajahnya menghadap ke arah sungai berliku. Sebuah meja
kecil dipenuhi buku tepat lima senti di depan dagu. Semua jenis buku diatasnya
bercampur menjadi satu. Mulai buku gambar, matematika, filsafat bahasa,
pergerakan mahasiswa, hingga buku-buku biologi, sosiologi, dan psikologi. Hanya
satu buku yang terbuka, berjudul “Memimpin Setengah Dengkul” tergeletak disitu.
Sebagai pembatas halaman yang sudah dibaca, ia menandainya dengan sebuah batu.
Sesekali, dari arah utara angin menerbangkan debu. Terpaan debu halus layaknya
sang ratu yang ingin menemani kesendirian lelaki itu. Semakin lama, debu
semakin melapisi tubuhnya, mulai bulu kaki hingga ke siku.
Pandangannya
terlihat sayu. Sesekali melirik buku dan terkadang pandangannya awas mengamati
aliran air di sungai berliku. Mungkin ia sedang memikirkan kenapa air sungai itu
tidak berwarna biru. Atau juga ia sedang berpikir kenapa air sungai selalu
mengalir syahdu. Ia layaknya Albert Einsten muda ketika memikirkan kenapa buah
apel selalu jatuh ke bawah. Terlihat gurat kelelahan pada keseluruhan fisiknya.
Ia bukan sosok sembarang, ia telah mengembara imajiner ke berbagai negeri.
Hari
itu, aku mewakili HAJI (Harian Jupli Institute) hendak mewawancarai tokoh
nasional ini. Beberapa kali agenda sebelumnya sempat gagal karena kesibukan
sang narasumber. Tapi kali ini, aku yakin akan bisa mewawancarinya sampai puas.
Firasatku berkata untuk datang lebih siang. Ketika jam kerjanya sedang kosong,
ketika ia sudah bangun tidur tentunya. Dan benar, kini kutemukan ia sedang
termangu. Nah, saatnya untuk menyapa...
HAJI:
Assalamualaikum mbah? (kataku pelan dan mencoba meraih tangan untuk bersalaman)
SHS:
Waalaikum salam. Suara siapa ya? (katanya sambil melepas kacamata dan
menaruknya di gantungan paku)
HAJI:
Ini saya dari majalah HAJI yang kemarin janji ingin mewawancarai Simbah.
SHS:
Oo kamu toh.. Siapa namamu? HAJI? Hehe (kali ini dia tertawa lepas)
HAJI:
Iya mbah. Sudah bisa kita mulai wawancaranya?
SHS:
Silahkan saja sekarang. Takutnya kalau nanti saya lupa lagi apa yang mau saya
sampaikan.
HAJI:
(Aku hanya menanggapi dengan senyum) Hari ini apa saja agenda dan
kesibukan Simbah?
SHS:
Hari ini gak ada agenda khusus. Setiap hari saya sibuk berimajinasi.
HAJI:
Maksudnya Mbah?
SHS:
Saya ini pekerja juga. Masuk kantor sama seperti kalian. Saya berkantor di alam
semesta. Bedanya. Saya bekerja setiap hari. Kalau kantor kalian mungkin mulai
hari Senin sampai Jumat saja. Saya juga heran dengan kalian, kenapa setiap hari
Minggu itu libur.
HAJI:
Kan hari minggu itu semua kalender bertanggal merah mbah. Libur nasional.
SHS:
Itu yang saya herankan. Hari minggu itu libur dalam rangka memperingati apa
sebenarnya? Tidak ada kan? Makanya kantor saya tidak pernah libur.
HAJI:
Apa yang biasa mbah kerjakan di kantor?
SHS:
Hanya satu. Kerja..kerja..kerja..
HAJI:
Maaf. Lebih konkritnya kerja di kantor mbah seperti apa?
SHS:
Ya seperti ini. Saya minum kopi. Saya berpikir. Merenung. Mencari esensi. Dan sesekali
menulis di pasir.
HAJI:
Oke mbah. Selama ini kan mbah sering berbicara tentang esensi. Lalu sebenarnya
esensi apa yang sedemikian penting untuk diketahui?
SHS:
Tentang esensi itu sendiri. Apa esensi dari esensi? Itu menjadi pertanyaan
terbesar saya selama setahun ini.
HAJI:
Berarti mbah masih belum menemukan esensi dari esensi dan belum mau menyerah? Akan
terus mencoba untuk mencari tahu?
SHS:
Iya. Bahkan hingga gagak berbulu merah, saya tidak akan berhenti.
(sejenak
kemudian mbah Hasbul menyeruput seteguk susu sapi, yang masih tersisa sesendok.
Wawancara terhenti sebentar)
HAJI:
Mbah punya tokoh idola?
SHS:
Ya punya dong. Hanya Tuhan yang tidak punya sosok idola.
HAJI:
Siapa mbah. Kalau boleh tahu.
SHS:
Nah.. itu disana (sambil menunjuk ke depan rumahnya) Itu adalah seekor anjing
yang saya beri nama kucing. Itu idola saya.
HAJI:
Kenapa anjingnya diberi nama kucing mbah?
SHS:
Supaya anjing saya itu berpikir dan berperilaku seperti kucing.
HAJI:
Maaf mbah. Bukannya justru anjing dan kucing itu saling bermusuhan?
SHS:
Saya mencoba menyatukan mereka. Kucing itu saya panggil dengan nama anjing di
depan para anjing, sehingga mereka bisa bermain bersama. Sesekali saya bawa ia
ke kawanan kucing di lapangan, sambil saya katakan, “kamu anjing. Tapi namamu
kucing”. Ia bingung. Dan akhirnya bisa menyatu dengan kucing lainnya.
HAJI:
Wah.. menarik. Ternyata idola mbah penuh filosofi.
SHS:
Jangan terburu-buru anak muda. Apa esensi saya penuh... ? Kan sesuatu itu akan
cepat penuh kalau wadahnya terlalu kecil. Terpenting bukan besar-kecilnya
sebuah wadah. Tapi seberapa baik wadah itu menampung, melindungi, dan
memberikan kenyamanan kepada semua isi di dalamnya.
HAJI:
Ngomong-ngomong soal wadah, menurut mbah, apakah negara kita selama ini bisa
menjadi wadah yang baik?
SHS:
Saya belum yakin. Namun saya melihat justru organisasi di Indonesia itu
berperan lebih efektif sebagai wadah
umat. Saya tidak bisa membayangkan jika negara ini tanpa organisasi-organisasi
itu.
HAJI:
Apa yang bisa mbah cermati dari dua organisasi terbesar di Indonesia,
Muhammadiyah dan NU?
SHS:
Saya melihat keduanya kini bagaikan anjing dan kucing.
HAJI:
Berarti saling bermusuhan?
SHS:
Di beberapa kasus iya. Tapi yang saya lihat terkadang mereka berlagak layaknya
kucing dan anjing dalam makna konotasi. Tokoh mereka malu-malu layaknya kucing
terhadap kekuasaan, namun saling berebut kursi menteri dan dewan. Ada juga
tokoh ormas itu seperti anjing, terlalu banyak menggonggong, namun jarang
bertindak. Akhirnya dilempari oleh kafilah zaman yang berlalu.
HAJI:
Tentang hubungan anjing dan kucing yang saling bermusuhan, komentar mbah?
SHS:
Nah, ini sebenarnya tidak perlu terjadi. Andaikan saya Presiden, akan saya
jadikan kedua ormas itu si anjing bernama kucing layaknya idola saya. Hehe
Tiba-tiba
azan duhur berkumandang dari pengeras suara. Mbah Has Bull Shit segera
mendekati sungai, mengambil wudhu dan solat disana. Aku akhirnya manut.
Mengikuti mbah untuk solat di tepi sungai beralas pasir. Selesai solat,
wawancara berlanjut.
HAJI:
Apakah mbah selalu solat?
SHS:
Pasti. Mungkin hanya Tuhan yang gak wajib solat. Saya gak mau menjadi Tuhan.
HAJI:
Oke. Menurut mbah, apakah agama ini penting bagi manusia?
SHS:
Iya. Sehebat apapun manusia pasti membutuhkan Tuhan dan agama. Mungkin ia bisa
sedikit sombong dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki. Namun itu
semua tak ada apa-apanya dihadapan Tuhan. Dengan ilmu dan teknologi mungkin
manusia bisa memprediksi kapan terjadinya gempa, misalnya. Tapi ia tak sanggup
menahan kehendak Tuhan supaya tidak terjadi gempa. Apalagi menahan untuk tidak
jatuh cinta.
HAJI:
Menurut mbah, apa yang esensi paling penting dari seorang yang beragama?
SHS:
Yang paling penting itu nilai-nilai agama yang diresapi. Bukan hanya
simbol-simbolnya saja. Hari ini banyak orang beragama sebatas simbol, namun
sebenarnya ia melupakan nilai esensi dari agama itu sendiri.
HAJI:
Contohnya mbah?
SHS:
Kamu lihat sendiri. Hari ini banyak orang berpeci, bercadar, bersarung, tapi
kelakuannya amburadul, tak beretika. Ia bahkan menggunakan surban dan jubahnya
untuk menipu manusia. Dan parahnya banyak masyarakat yang tertipu dengan kulit
luar. Publik terjebak dengan penampilan fisik simbol-simbol keagamaan.
HAJI:
Saya setuju mbah. Selama ini mbah sendiri dianggap kurang dalam hal agama, jika
hanya dinilai dari simbol. padahal belum tentu...
SHS:
Berarti ia jujur. Apa sih yang gak kurang dari saya. Hehe
HAJI:
Oya, mbah kan dikenal juga sebagai aktivis kampus. Apa pendapat mbah tentang
dunia pergerakan mahaiswa?
SHS:
Saya sedih. Hiks.hiks (tampak dua tetes air mata mbah Has Bull mengalir).
Bagaimana saya tidak sedih anak muda, mereka hari ini sak karepe dewe. Mereka
bekerja dan berkarya, tapi tidak ngena.
HAJI:
Maksudnya itu apa mbah?
SHS:
Harusnya seorang aktivis mahasiswa itu dalam melakukan sesuatu minimal harus
dengan rumus berikut. Belajar, berkarya, atau bekerja dengan; keras, pantas,
cerdas, ikhlas, dan tuntas. Itu yang saya lihat hilang pada diri mahasiswa hari
ini.
HAJI:
Kan mbah aktif di IMM. Apa yang membuat mbah memilih bergabung dengan IMM?
SHS:
Itu awalnya saya dipaksa oleh teman di fakultas saya. Ada Athiful, Hamam, dan
Rindho. Mereka bertiga ini memaksa dan mengipnotis saya. Tapi hari ini saya
merasa sangat beruntung. Saya tidak menyesal atas paksaan mereka beberapa tahun
lalu.
HAJI:
Apa komentar mbah terhadap ketiga orang yang telah memaksa mbah masuk IMM?
SHS:
Saya lupa. Siapa sebenarnya mereka. Saya lupa siapa itu Athiful, Hamam, Rindho.
Jangan-jangan mereka hanya ilusi.
HAJI:
Ilusiana atau Ilusialan maksud Simbah?
SHS:
Ilusiapa. Hehee
HAJI:
Mbah lucu juga. Oya ngomong-ngomong ilusiana, saya teringat sosok Lusiana kan sekarang
mengemban amanah menjadi korp Instruktur di IMM, komentar Mbah?
SHS:
Bagi saya, instruktur itu sangat penting. Sukses atau tidaknya suatu pengkaderan
tergantung dengan para instruktur teman-temannya Lusiana itu.
HAJI:
Apa Mbah puas dengan pencapaian mereka dalam kegiatan pengkaderan selama ini?
SHS:
Kucing saya berkata tidak puas. Saya termasuk tegas tentang urusan pengkaderan.
Jangan main-main. Survei dan data saya membuktikan seperti itu.
HAJI:
Apa hasil dari penelitian Mbah Hasbul?
SHS:
Bahwa instruktur yang kurang serius hanya akan menghasilkan kader yang
abal-abal. Percayalan Nak! Tapi ingat, jangan ngomong ke siapa-siapa ya.
Sebenarnya penelitian ini saya lakukan sama Athiful. Tapi anggap saja
penelitian saya. Hehe
HAJI:
Saya setuju dengan Mbah Hasbul. Di komisariat saya beberapa waktu yang lalu
juga baru selesai kegiatan pengkaderan. Dan hasilnya tak ada yang istimewa.
SHS:
Iyaa. Saya tau itu. Untuk lebih jelasnya silahkan baca buku saya, “Apa Kabar
MOT kita”. disitu saya jelaskan secara gamblang.
HAJI:
Ngomong-ngomong, katanya Simbah sedang menulis beberapa buku baru?
SHS:
Iya. Ada dua. Judulnya “Manusia Setengah Hasbul” dan “Kisah Cinta di Musyda”
HAJI:
Bisa diceritakan sedikit tentang isi buku itu?
SHS:
Ya. Buku yang pertama itu buku ilmiyah. Membahas tentang teori-teori kehidupan
seorang Hasbul dalam perspektif manusia modern. Tentang eksistensinya. Tentang
jenis makanan dan waktu tidurnya. Tentang alasan ia mandi dan lain-lain. Kalau
buku yang kedua itu semacam novel. Kisah yang diangkat merupakan penyesuaian
dari kisah nyata yang terjadi di Musyda IMM DIY XVII. Doakan semoga besok pagi
sebelum ayam berkokok kedua buku ini bisa segera diterbitkan.
HAJI:
Apa rencana terbesar Simbah di 2015 ini?
SHS:
Saya punya rencana besar. Resolusi 2015 yang saya buat adalah menyelesaikan
resolusi 2014 yang isinya adalah rencana tahun 2013, yang mana rencana tersebut
saya buat pada tahun 2012.
HAJI:
Apakah rencana pengerjaan karya semisal skripsi masuk di salah satu prioritas rencana
tersebut Mbah?
SHS:
Ah. Untuk apaa? Manusia menciptakan skripsi untuk membodohi dirinya sendiri.
Begitu. Mikir!
HAJI:
Oke. Terakhir, apa harapan dan pesan-pesan yang ingin mbah sampaikan kepada
seluruh pembaca majalah HAJI ini?
SHS:
Hanya satu pesan saya. Hidup ini adalah untuk berpikir, minum kopi, mandi, dan
tidur. Jangan lupa itu anak muda!
HAJI:
Itu saja? Oke terima kasih mbah Has Bull Shit. Assalamualaikum.
SHS:
Ya. sami-sami. Waalaikumsalam Ukhti. Jangan lupa nonton film itu. Saya
pemainnya.
Sepersepuluh
detik kemudian, mbah Has Bull Shit tertidur. Aku pun meninggalkannya disana.
Semoga tidak dihampiri burung gagak, atau serigala Arab. Selamat siang mbah.
Sampai jumpa.
***
Sepulang
dari wawancara, tidak sengaja aku membaca sebuah status Mbah Hasbul di BBM. Beliau
menulis sebuah puisi. Aku tak kuasa untuk tidak melanjutkan wawancara, meskipun
lewan media sosial. Aku pun iseng mengomentari puisinya Mbah.
HAJI:
Apa esensi puisi menurut Mbah?
SHS:
Puisi itu hiburan bagi jiwa yang sakit. Penderitaan yang dipuaskan dengan
kata-kata indah. Ah, munafik saja.
HAJI:
Kenpa begitu? Alasannya Mbah?
SHS:
Semua manusia itu mengandung potensi “munafik”. Gak ada yang sebenar-benarnya
manusia. Hehe
HAJI:
Konkretnya seperti apa ?
SHS:
Jika kamu ingin tahu, kuncinya hanya satu. Jangan malas membaca! Untuk lebih
jelasnya silahkan baca buku saya, “Manusia Setengah Munafik”. Supaya kalian
tidak hanya menerka-nerka. Buku itu lumayan tebal, ada 2014 halaman. Kebetulan
buku itu masih tersimpan di imajinasi saya dengan rapi.
HAJI:
hahaa.. Maaf, ini aneh Mbah. berarti belum ditulis dong.
SHS:
Manusia memang aneh Nak. ... (tiba-tiba percakapannya terhenti. Saya menduga,
secara mendadak Mbah Hasbul sedang mengemban tugas ke luar negeri)
Keesokan
harinya, Mbah Hasbul menulis status terbaru, “Apa bedanya hari-hari di tahun
2014 dan 2015. Dimensi ruang dan waktunya sama. Hanya esensi waktu saja yang
berbeda.” Membaca status itu membuat saya bingung. Akhirnya saya chat beliau
untuk mengkonfirmasi.
HAJI:
Itu maksudnya bagaimana Mbah?
SHS:
Itu pertanyaan yang gak perlu dijawab. Manusia bertanya tentang hidup. Tapi tak
pernah dia tanyakan mengapa ia hidup.
HAJI:
Menurut Mbah sendiri, apa tujuan Tuhan menghidupkan manusia.
SHS:
Manusia hanya menjalankan perintah saja. Tuhan memang keren, dan tak perlu
dipuji.
Hening.
Hanya segitu. Aku sudah tak mampu melanjutkan wawancara ini. Wawancara tertunda
sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Begitulah sosok Mbah Has Bull Sh*t.
Penuh teka-teki.
Sebelum
saya menulis kalimat terakhir, tiba-tiba sebuah pesan BBM masuk, isinya seperti
ini, “Nak, terima kasih sudah mewawancarai saya. Tapi ingat, ini jangan
dianggap serius. Percaya sekedarnya saja. Bukan rukun iman. Kalo mau serius
nanti di surga.”
(Catatan Redaktur Jupli Institute Kontributor Ushuluddin. Minggu, 32/13/2313)
Komentar
Posting Komentar