Bertempat
di teatrikal perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, Sabtu (20/12/2014), dua
komisariat IMM UIN menyelenggarakan bedah buku “Bulan Sabit di Kota Vientiane”,
karya Kakanda Pradana Boy ZTF. Buku yang mendokumentasikan catatan perjalanan
penulis di tujuh negara itu dibedah oleh Ibunda Dr. Alimatul Qibtiyah, Ph.D.,
dan Ayahanda Saptoni, M.A., serta Kakanda Pradana Boy ZTF sendiri. Hadir dalam
kegiatan tersebut Direktur dan staf Penerbit Samudera Biru Yogyakarta, Ketua
PC. IMM Sleman, Ketua PK IMM Se-Sleman, dan para tamu undangan lainnya.
Ketua
panitia, dalam sambutannya mengatakan bahwa kegiatan ini urgen untuk
diselenggarakan, mengingat buku tersebut baru diterbitkan pada bulan November
yang lalu. Buku ini mengandung banyak inspirasi dan renungan. “Misalnya dalam
sebuah cuplikan buku ini penulis menggugah kita tentang rutinitas keislaman
kita selama ini. Fenomena yang ditemukan di dunia barat dan di tempat Kakanda
Pradana Boy belajar yang mayoritasnya adalah non muslim justru ditemukan
nilai-nilai keislaman tumbuh dan mengejawantah pada perilaku sehari-hari. Hal
ini menjadi cermin bagi kita yang tinggal di negeri muslim, apakah kita sudah
menjadi muslim sejati, atau sebatas simbol Islam?”, demikian diuraikan oleh
Muhammad Ridha Basri, mewakili panitia.
Prosesi
kegiatan bedah buku ini dibuka langsung oleh Ketua PC. IMM Sleman, Kakanda
Fauzan Budi Raharjo. Kakanda Fauzan menyampaikan harapan supaya kegiatan
keilmuan seperti ini rutin dilaksanakan oleh Pimpinan Komisariat IMM lainnya.
Ia menambahkan bahwa kader IMM harus selalu unggul dan berbeda dengan
kader-kader pergerakan mahasiswa lainnya. “Salah satu pembeda kader IMM dengan
kader dari organisasi lainnya adalah terletak pada trikompetensi dasar, berupa unggul
dalam ranah intelektualitas, religiusitas, dan humanitas”, ungkap alumni PK.
IMM Ushuluddin ini yang disambut tepuk tangan seisi ruangan.
Acara
bedah buku Bulan Sabit di Kota Vientiane ini dipandu oleh Immawan Fikri
Fakrurrizal, yang juga menjabat sebagai ketua PK. IMM Dakwah UIN Sunan
Kalijaga. Sebagai pembicara utama, Kakanda Pradana Boy memulai bahasannya
dengan mengajak para generasi muda untuk membudayakan menulis. Dikatakannya,
“Jangan meremehkan tradisi menulis, termasuk menulis cacatan perjalanan.”
Menurutnya, tradisi menulis ini sudah dimulai sejak zaman Ibnu Batutah, Marco
Polo, dan para penjelajar lainnya. dengan adanya cacatan perjalanan inilah,
generasi selanjutnya bisa mengetahui banyak hal dan belajar dari sejarah.
Pembicara
kedua, Ibunda Alimatu Qibtiyah, memaparkan pengalaman-pengalaman unik yang
beliau dapatkan dari kunjungannya di 13 negara. Ibunda Alim yang saat ini
mengabdikan diri sebagai aktivis feminis ini mengajak para peserta yang hadir
untuk lebih membuka mata dan berwawasan internasional. Era globalisasi menuntut
kita untuk tidak terkekang dengan norma-norma agama yang mungkin relevan di
masa klasik. Salah satu cara membuka wawasan adalah dengan belajar dari siapa
saja, termasuk ke Eropa, dan negara-negara barat lainnya. Beliau mengisahkan
plus-minus belajar di luar negeri. Salah satu pengalaman paling mengesankan
adalah ketika beliau perjuangan menjalani ujian tesis dan disertasi dalam
keadaan hamil tua.
Hampir
senada, pembicara terakhir, Ayahanda Saptoni, memulai presentasinya dengan
pemaparan tentang kelebihan dan kekurangan buku. Lalu beliau mengisahkan
pengalaman yang beliau dapatkan ketika belajar di Universiteit Leiden.
Menurutnya, dunia kampus di barat merupakan dunia yang sangat toleran. Jauh
dari apa yang terbayang dibenak kita selama ini. “Contohnya ketika saya
menjalani puasa ramadhan di Leiden. Saya pernah diingatkan oleh dosen yang
sedang mengajar supaya berbuka puasa terlebih dahulu saat waktu magrib tiba”,
demikian diantara paparan dosen UIN Sunan Kalijaga ini. (MRB.Uy)
Komentar
Posting Komentar