Oleh : Muhammad Ridha Basri
Dari tahun ke tahun, animo masyarakat untuk berqurban semakin
menggejala. Lihat saja data di Kementerian Pertanian, yang mencatat bahwa
permintaan hewan kurban di Indonesia meningkat 11 persen setiap tahunnya sejak
tahun 2010. Artinya ada ratusan ribu hewan ternak yang disembelih pada
hari-hari tasyrik setiap tahunnya.Tidak hanya menjadi trenddi
kalangan menengah ke atas, bahkan kelas menengah ke bawah pun tak mau
ketinggalanuntuk ikut serta berkonstribusi, terlebih ketika dipermudah dengan
adanya sistem sokongan. Dalam sistem ini, seekor hewan qurban didapat
dari hasil sumbangan beberapa individu, biasanya diwakili oleh tujuh orang.
Merebaknya virus berqurban di masyarakat dapat dipicu oleh banyak
faktor. Bisa jadi karena dilandasi oleh kesadaran atas panggilan Tuhan,dan atau
rasa keprihatinan kepada sesama makhluk Tuhan di muka bumi, yang tidak
seberuntung dirinya. Bahkan, ada juga yang didesak olehsikap ikut-ikutan atau modus,
untuk memperoleh pengakuan darikomunitas masyarakat. Namun, apapun motif
dibalik praktek qurban yang dijalankan, semua itu menjadi urusan hati sang
penyumbang qurban dengan Tuhan Yang Maha Tahu, yang berhak menghakimi amalan
manusia. Terpenting dari semua itu adalah makna, manfaat, dan pengaruh dari
ibadah qurban ini kepada diri pribadi para sahibul qurban dan komunitas di
sekitarnya.
Qurban sering dijadikan simbol perlawanan manusia kepada setan,
sebagai seteru abadi.Dalam pelaksanaannya, qurban memiliki nilai substantif
sebagai bentuk ujian dari Allah SWT.Dimulai sejak masa Nabi Adam AS.
Diriwayatkan bahwa putera-putera Nabi Adam AS dahulu pernah diuji amal
pengurbanannya dengan dua fenomena hasil yang berbeda. Habil sukses dengan
pengurbanan maksimalnya sepenuh hati. Sementaraqurbannya Qabil tidak
diterima,dikarenakan pengurbanannya yang tidak maksimal. Prosesi qurban
selanjutnya yang dikisahkan dalam al-Quran, dilakukan oleh Nabi Ibrahim. Ketika
itu, Ibrahim AS diperintahkan untuk menyembelih putra semata wayang, yang dinanti
lebih dari 80 tahun, dan sangat disayanginya. Tapi, karena ketundukannya kepada
Tuhan,perintah yang sangat berat itu dilaksanakan dengan maksimal. Tuhan menggantikan
sosok Ismail yang hendak diqurbankan dengan seekor domba.
Jika dilihat data historis, zaman ketika disyariatkan ibadah qurbanadalah
masa dimana tingkat ekonomi masyarakat kala itu diukur dengan kepemilikan
binatang ternak. Maka pensyariatan ibadah qurban mempunyai makna sebagai pengurbanan
harta yang disayangi, harta yang dijadikan simbol kemapanan ekonomi, bisa
berupa hewan ternak maupun yang lainnya. Tujuannya adalah untuk mendekat kepada
Tuhan, sang pemilik segala kekayaan. Kata qurban sendiri diambil dari kata“qaruba-yaqrabu-qurban
wa qurbaanan”, yang mempunyai arti mendekati atau menghampiri. Menurut istilah,
qurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah
baik berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya (Ibrahim Anis et.al, 1972). Hukum
melaksanakan qurban adalah sunnah bagi umat Islam yang memiliki kelebihan harta.
Berdasarkan hadis, “Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk menyembelih qurban,
sedang qurban itu bagi kalian adalah sunnah.” (HR. At Tirmidzi)
Problem Kekinian Seputar Qurban
Kesadaran masyarakat untuk berqurban ternyata belum diimbangi
dengan kesadaran para pengambil kebijakan dan panitia kegiatan qurban. Terbukti
ketika setiap tahunnya, masih terjadi ketidaktepatan distribusi hasil qurban,
yang seharusnya hanya diterima oleh mereka yang berhak. Di beberapa tempat, ada
begitu banyak hewan qurban yang mampu dikumpulkan oleh panitia setempat,
melebihi batas jumlah penduduk yang berhak menerima daging qurban. Di tempat
lainnya, bahkan ada desa di pelosok yang tidak sanggup menyelenggarakan prosesi
penyembelihan hewan qurban. Padahal jika dilihat demografi penduduknya, hampir
seluruhmereka telah memenuhi persyaratan sebagai penerima jatah daging qurban.
Ini hanya fenomena ketimpangan yang terjadi dalamruang lingkup Indonesia.
Di ranah internasional, lumrah dimaklumi bahwa negara kaya dengan
penduduk mayoritas muslim, seperti Arab Saudi, Uni Emirates Arab, dan Qatar, dengan
mayoritas penduduk disana adalah mereka yang mampu untuk berqurban. Namun
kemudian dihadapkan dengan kenyataan tidak adanya penduduk yang berhak menerima
hasil qurban. Sementara di belahan dunia lainnya, negara muslim yang berstatus
miskin, yang dilanda perang, atau bencana alam tidak sedikit jumlahnya, mereka
sangat membutuhkan uluran tangan dunia dalam berbagai hal termasuk untuk
memenuhi kebutuhan hewan qurban. Bagi mereka, jangankan untuk berqurban, bahkan
untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari masihserba pas-pasan.
Pembatasan waktu dan jangkauan qurban yang pernah dibuat oleh ulama
terdahuluberada di wilayah ijtihad. Ibadah qurban yang selama ini dipahami
dengan fiqih yang lokalistik dan temporer, dapat dikonstektualisasikan demi
kemaslahatan umat manusia di seluruh belahan dunia. Tidak lagi dikekang dengan
aturan bahwa qurban harus didistribusikan kepada penduduk setempat, pada hari
itu juga, dalam bentuk daging segar. Islam sebagai agama yang rahmatan lil
alamin harus ditampilkan sebagai seperangkat jalan hidup yang tidak kaku
(rigid). Terlebih urusan fiqih, maka disana terbuka segala kemungkinan sesuai
dengan konteks ruang dan waktu, yang sewaktu-waktu berubah. Dalam kondisi
seperti ini, maka bisa saja daging hewan qurban yang disumbangkan oleh para milyader
di Arab, kemudian diekspor ke negara-negara miskin beberapa hari kemudian,
setelah diolah, diawetkan, dan dikalengkan. Sementara bagi negara-negara yang dilanda
perang dan bencana, kebutuhan mereka tidak hanya daging, namun juga mencakup
keseluruhan item untuk kebutuhan hidup, baik sandang, papan, dan pangan.
Maka mencukupi kebutuhan primer mereka dengan hasil qurban bisa menjadi salah
satu alternatif penyaluran.
Terkait pelaksanaan qurban sendiri, setidaknya ada beberapa problem
yang seharusnya bisa didialogkan dengan kondisi kekinian. Pertama, menyangkut
ketentuan bahwa hasil qurban harus dibagi menjadi tiga bagian. Ketentuan ini
didasarkan kepada sabda Nabi SAW: “Makanlah daging qurban itu, dan
berikanlah kepada fakir-miskin, dan simpanlah.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi,
hadits shahih). Oleh sebagian kalangan, ketentuan itu dianggap baku dan
sakral. Padahal mayoritas ulama sendiri berpandangan bahwa ketentuan pembagian
ini sifatnya tidak wajib, tapi mubah (lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid
I/352; Al Jabari, 1994; Sayyid Sabiq, 1987). Terlebih ketika dihadapkan dengan
fenomena kekinian, ada banyak sahibul qurban yang tidak berkenan untukmemakan
daging, karena alasan mengidap penyakit tertentu, misalnya. Maka memberikan
semua bagian daging qurban kepada fakir miskin yang lebih membutuhkan, tentu jauh
lebih baik.
Problem kedua, di beberapa tempat ada pemahaman bahwa semua
bagian dari hewan qurban, termasuk kulitnya harus dibagi sama rata. Didasarkan
pada teks hadis dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW
bersabda,“Barangsiapa menjual kulit kurbannya, maka tidak ada (pahala) kurban
baginya.” (Man baa’a jilda udhiyyatihu fa-laa udh-hiyyata lahu) (HR.
Al-Hakim & Al-Baihaqi). Padahal ada beberapa ulama yang membolehkannya
karena beberapa pertimbangan kemaslahatan. Berdasarkan pengalaman di beberapa
tempat, didapati bahwa kemudharatan dibalik pembagian kulit hewan qurban jauh
lebih banyak. Ketika kulit hewan ikut dibagikan, kemungkinannya penerima daging
qurban akan membuang bagian kulit, padahal ini merupakan perkara mubazir.
Dibanding ketika kulit hewan tidak dibagi, lalu dijual, maka uang yangdidapat
bisadimanfaatkan untuk biaya operasional prosesi qurban, atau dimanfaatkan secara
kolektif untuk kepentingan lain yang lebih mendesak. Wallahu a’lam.
Komentar
Posting Komentar