Etos dan Spirit Sosial
Muhammadiyah
Menurut Kamu Besar Bahasa Indonesia (KBBI) “etos” adalah pandangan hidup yang khas dari suatu golongan sosial, sedangkan “spirit” adalah semangat atau jiwa.[1] Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, dikenal dengan semangat pembaruan dan pengabdiannya kepada masyarakat. Etos sosial Muhammadiyah tercermin dalam upayanya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui pendidikan (schooling), kesehatan (healing), dan kesejahteraan sosial (feeding). Dalam pandangan Muhammadiyah, setiap individu memiliki tanggung jawab sosial untuk berperan aktif dalam memperbaiki kondisi masyarakat, khususnya kaum mustadh'afiin. Salah satu alasan KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah dikarenakan beliau memandang perlu adanya gerakan pelayanan sosial yang dilandaskan oleh agama. Realitas sosial yang terjadi kala itu menjadi renungan hati yang dalam dan akal suci dengan berpijak kepada Al Qur'an, serta pemikiran yang beliau miliki.[2]
Sebagaimana kritik Herbert Marcuse mengenai kondisi masyarakat modern era abad ke-20 yang dijadikannya buku dengan judul “One Dimensional Man”.[3] Secara bahasa berarti manusia satu dimensi, maksudnya yaitu individu yang terkungkung oleh sistem ekonomi dan budaya yang homogen. Mereka menjadi tidak kritis terhadap struktur kekuasaan dan ideologi dominan yang mengendalikan kehidupan mereka. Kondisi tersebut membuat masyarakat seolah-olah diberi kebebasan, kesenangan, dan kemudahan, namun semua itu sebenarnya tidak lain sebagai jalan untuk mengendalikan dan kemudian menindas masyarakat tanpa mereka sadari. Ketidak sadaran masyarakat terhadap penindasan terselubung tersebut telah membentuk masyarakat menjadi pasif dan menerima apa saja tanpa adanya kemampuan untuk berontak.[4]
Agaknya dimasa awal berdirinya Muhammadiyah 18 November 1912 masyarakat mengalami kondisi satu dimensi. Namun bukan hanya dikarenakan masalah ekonomi apalagi teknologi. Akan tetapi karena larut dalam kondisi penjajahan, merasa baik-baik saja dan tak ada masalah. Masyarakat cenderung mementingkan dirinya sendiri, para bangsawan dan priyai tertutup hati dan akalnya untuk menolong para rakyat jelata yang tertindas dan terpinggirkan. KH. Ahmad Dahlan dengan gerakan welas asih nya berusaha untuk menaikkan taraf hidup masyarkat dengan cara yang sudah dijelaskan diatas tadi. Keadaan masyarakat yang jauh dari kata sejahtera ini pun menjadi satu teguran bagi Dahlan. Sebagai orang yang dibekali ilmu pengetahuan dan pemahaman agama yang dalam, beliau merasa memiliki kewajiban menolong masyarakat.
Sebagaimana yang telah dikenal oleh banyak orang bahwasannya Muhammadiyah memiliki dua teologi yang menjadikannya terus berbenah hingga saat ini. Teologi al-Maun yang menjadi etos dan spirit awal berdirinya Muhammadiyah. Kemudian munculah istilah trisula abad pertama yang menjadi lahan dakwah Muhmmadiyah yakni healing, scholling, feeding. Selama satu abad, setidaknya sudah mempunyai banyak amal usaha, diantaranya sebagai berikut:
1. Rumah Sakit (RS) : 122 (ditambah dengan 20 Rumah Sakit dalam proses pembangunan)
2. Klinik : 231
3. Perguruan Tinggi Muhammadiyah-’Aisyiyah (PTMA) : 172 ( 83 Universitas, 53 Sekolah Tinggi, dan 36 bentuk lainnya)
4. Sekolah/madrasah : 5345
5. Jumlah Amal Usaha Muhammadiyah Sosial (AUMSos) (MCC/LKSA) : 1.012. [5]
Data tersebut menunjukkan keseriusan dan aksi nyata Muhammadiyah dalam gerakan sosial. Bukan hanya melahirkan ide atau konsep belaka dengan dalil-dalil agama, akan tetapi turut serta mempraktekan nya langsung dengan semangat berlomba-lomba dalam kebaikan untuk kemaslahatan bersama tentunya.
Muhammadiyah terus melakukan evaluasi terhadap apa yang telah dilakukannya. Sejak berdirinya hingga kini Muhammadiyah terus melakukan inovasi dengan hal-hal baru sesuai tuntutan zaman bahkan melampauinya. Oleh karenanyalah pada abad kedua lahir sebuah trisula yang baru dan dikenal dengan trisula abad kedua, yakni munculnya Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM), Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), dan Lembaga Amil Zaka, Infaq, dan Shodaqoh Muhammadiyah (LazisMu). Inovasi ini lahir tak lain salah satunya adalah berkat dorongan dari teologi al-Ashr yang menjadi etos dan spirit Muhammadiyah untuk terus berkembang, melakukan pembaharuan dari masa ke masa.
Gerakan sosial Muhammadiyah abad kedua ini lebih memfokuskan pada pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan. Muhammadiyah melalui lembaga-lembaga zakat, infaq, dan sodaqoh (seperti Lazismu) berupaya untuk mendistribusikan bantuan secara lebih efektif dan tepat sasaran. Fokus pada mustadh'afiin (orang-orang tertindas dan lemah) menjadi prioritas, sehingga program pemberdayaan ekonomi umat dan bantuan sosial bisa lebih menyentuh lapisan masyarakat yang membutuhkan. Selain itu pula dengan adanya pemberdayaan masyarakat ini diharapakan dapat mengentaskan permasalahan ekonomi jangka panjang.
MDMC adalah lembaga yang fokus pada penanggulangan bencana yang disiapkan Muhammadiyah untuk membantu umat saat terjadi bencan alam. Tak hanya dalam permasalahan sosial langsung, akan tetapi hal-hal yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan juga menjadi fokus utama Muhammadiyah kini. Salah satunya mengenai gerakan sosial-politik maupun sosial-lingkungan. Dalam ranah muamalah duniawiyah ini Muhamadiyah turut andil berperan aktif, terlebihlagi dengan dibolehkannya kader-kader Muhammadiyah untuk turut aktif berpolitik aktif (diaspora kader). Selain itu pula belakangan ini dengan diterimanya Izin Usaha Pertambangan (IUP) oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah menambah lahan dakwah dan gerakan baru.[6] Namun apakah hal tersebut dapat menjadi baik kedepannya atau malah menjadi boomerang bagi persyarikata, tentunya hal ini menarik untuk ditunggu.
Perkembangan zaman terus terjadi dan Muhammadiyah selalu berupaya untuk terus beradaptasi dengan tetap berpegang teguh pada al-Qur’an dan sunnah. Sebagaimana isi pokok pikiran pertama dan kedua dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah (MADM) yaitu “Hidup manusia harus berdasar tauhid dan hidup manusia itu bermasyarakat”.[7] Sejak kelahirannya Muhammadiyah telah menjadi organisasi dengan landasan keagamaan dengan ranah gerak sosial yang luas. Gerakan sosial dengan pemberdayaan perempuan sudah dilakukan KH. Ahmad Dahlan sejak awal dengan adanya sopotrisno yang kemudian berganti nama menjadi Aisyiyah serta rapat-rapat dan tabligh yang membicarakan masalah-masalah keummatan serta dan penerbitan majalah yang hingga kini masih eksis, yakni majalah suara Muhammadiyah.[8]
Etos dan semangat sosial inilah yang mengantarkan Muhammadiyah menjadi gerakan yang tidak hanya peduli pada pengembangan spiritual umatnya, namun juga aktif menawarkan solusi konkrit terhadap berbagai permasalahan sosial di Indonesia. Melalui pendekatan pragmatis dan modern, Muhammadiyah terus berinovasi dalam memperluas dampak sosial, menciptakan perubahan bermakna dalam kehidupan masyarakatnya, dan memperkuat peran umat Islam dalam membangun bangsa yang lebih adil dan makmur.
[1] “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (2016), https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Strategi.
[2] Baidhawy Zakiyudin and Azaki Khoirudin, Etika Muhammadiyah & Spirit Peradaban, Pertama edition (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2017).
[3] Nimah Yuliastika Dewi, “One Dimensional Man (Studi Terhadap Kritik Herbert Marcuse Mengenai Masyarakat Modern)” (UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 2013), http://repository.uin-suska.ac.id/3026/1/2013_201330TH.pdf.
[4] Herbert Marcuse, One-Dimension Man, Pertama edition (London: Routledge & Kegan Paul, 1964).
[5] Aan Ardianto, “Berikut Data Terbaru Kiprah 111 Tahun Muhammadiyah”, Muhammadiyah.or.id (2023), https://muhammadiyah.or.id/2023/11/berikut-data-terbaru-kiprah-111-tahun-muhammadiyah/.
[6] Tim Redaksi, “Muhammadiyah Resmi Terima Izin Usaha Tambang yang Ditawarkan Pemerintah”, KOMPAS.com (2024), https://nasional.kompas.com/read/2024/07/28/13383291/muhammadiyah-resmi-terima-izin-usaha-tambang-yang-ditawarkan-pemerintah.
[7] Haedar Nashir, Memahami Ideologi Muhammadiyah, Pertama edition (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2014).
[8] Nafilah Abdullah, “K.H. Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis)”, Jurnal Sosiologi Agama, vol. 9, no. 1 (2017), p. 22.
Komentar
Posting Komentar