DO AND DON’T (Studi Living Hadis)
Immawan Aufa Yuvela Rafif
Tradisi dan ritual keagamaan yang ada di
masyarakat merupakan bentuk ekspresi dari teks agama yang masyarakat kenal. Hal
ini terjadi karena adanya pertemuan antara budaya lokal dengan agama yang
dibawa oleh agen atau broker budaya. Pertemuan tersebut menyebabkan agama
menjadi salah satu sistem yang dianut dalam suatu sistem kemasyarakatan yang
sudah ada, ataupun membuat sistem yang baru. Sehingga dari sinilah agama
menjadi mudah diterima masyarakat karena sesuai dengan kondisi sosial mereka.
Tradisi keagamaan di Indonesia sangatlah
beragam bentuknya, walaupun mengekspresikan suatu teks yang sama. Perbedaan
ekspresi ini salah satu penyebabnya karena pembawa teks atau sang agennya yang
berbeda, sehingga sangatlah memungkinkan untuk disampaikannya suatu teks dengan
cara yang berbeda pula. Masyarakat di Yogyakarta memaknai dan mengekspresikan
suatu kejadian dalam agama Islam akanlah berbeda dengan masyarakat yang ada di
Pati. Dalam memperingati maulid nabi masyarakat Yogyakarta mengekspresikan
dengan acara maulidan yang berupa mengkaji Nabi Muhammad dengan membaca sejarah
ataupun menonton pertunjukan pewayangan yang membahas tentang sang nabi.
Berbeda dengan masyarakat Yogyakarta, masyarakat Pati lebih memilih
memperingati hari kelahiran Nabi tercinta mereka dengan membuat jenang.
Perbedaan ini terjadi karena pembawa teks atau agen budaya yang berbeda.
Masyarakat Yogyakarta yang berada dibawah pimpinan kraton lebih memilih
mengekspresikannya dengan cara yang lebih ‘elegan’, dengan cara menggelar
pentas budaya. Hal ini juga tak terlepas dari image ‘elegan’ yang ada di
kerajaan, tak terkecuali dengan kraton. Masyarakat Pati mendapatkan informasi tentang
agama dari Sunan Kudus yang terkenal dengan sifatnya yang merakyat, sehingga
tak heran jika merayakan atau mengekspresikan hari kelahiran nabi tercinta
mereka dengan cara yang lebih ‘merakyat’ dengan cara membuat jenang. Sehingga
penerapan atau ekspresi suatu teks tergantung dengan siapa yang menjadi
agennya.
Perbedaan ekspresi ini menjadi lahan untu
saling mengenal antar masyarakat di Indonesia. Perbedaan ekspresi ini tidak
menjadi pemisah antar umat akan tetapi menjadi dorongan untuk saling
bersilaturahim. Dalam studi living hadis tidak menghukumi kebudayaan mana yang
paling tepat ataupun yang paling islami, sedangkan hanya untuk mempelajari teks
apa yang menjadi dasar dan bagaimana teks tersebut diekspresikan. Sehingga
tidaklah benar jika suatu masyarakat mengklaim dalam berekspresi menjadi yang
paling benar ataupun yang paling dekat dengan agama islam atau islam yang
menyebabkan menyalahkan kebudayaan yang berbeda dengan yang dia miliki.
Walaupun agen memiliki peran penting dalam
penyampaian namun teks memiliki otoritas yang tersendiri dalam penentuan
nilainya. Dalam menyampaikan, agen berdasarkan pada teks yang telah dia
pelajari, sehingga walaupun tidak mengutipnya ataupun menyajikan secara
langsung suatu teks, agen tetap tidak bisa lepas dari sebuah teks. Teks disini
secara tidak langsung mempunyai peran tentang bagaimana suatu ekspresi
kebudayaan itu dilakukan. Teks dapat berupa kitab primer seperti seperti kitab
hadis shahih bukhori ataupun kitab sekunder seperti kitab Fadhail Amal. Sehingga
pelaksanaan tak jauh dari teks asalnya, karena teks juga memiliki konsep do
and don’t yang dikenal dengan halal dan haram.
Karena suatu teks memiliki kedekatan
psikologi dengan masyarakat, teks tersebut secara sadar atau tidak menjadi
salah satu sistem nilai yang ada di masyarakat tersebut. Hal ini dikenal dengan
istilah ‘membumi’. Karena nilai yang terdapat dalam teks sesuai dengan kondisi
sosial di masyarakat tersebut, mereka menerapkannya dengan senang hati,
sehingga teks menjadi living bahkan telah ‘membumi’ di masyarakat
tersebut. Dalam masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta mempunyai tradisi ‘nyepi’
ketika ada salah satu anggota masyarakatnya meninggal. Nyepi disini berupa
tidak melakukan kegiatan ekonomi dan bersimpatik dengan cara berkunjung dan menyenangkan
hati keluarga yang ditinggal. Karena disepakati dan dirasa cocok oleh
masyarakat, hal ini melebar pelaksanaannya kepada setiap hal yang buruk terjadi
di masyarakat atau sekitar mereka nyepi.
Selain teks dan agen, masyarakat dan
lingkungan juga menentukan dan berperan akan terciptanya suatu ekspresi
keagamaan ini. Perbedaan ini terdantung secara ekonomi dan geografis. Untuk
masyarakat yang memiliki perekonomian yang menengah ke atas mengekspresikan
teks dengan cara cara yang ‘elegan’, seperti mengadakan wayang atau pentas
pembacaan siroh nabi ketika maulid di Yogyakarta. Sedangkan masyarakat dengan
perekonomian yang rendah lebih memilih untuk mengekspresikan dengan cara yang
sederhana dan mudah, seperti pembuatan jenang di Pati. Secara geografis orang
yang tinggal di daerah pesisir lebih suka sesuatu yang terlihat dan ‘wah’,
sehingga dalam pengekspresian lebih mengutamakan cover dari pada isi, lebih suka
suatu yang heboh dari pada muatan yang dalam. Hal ini terlihat pada upacara nglarung
sajen atau sedekah laut yang biasa dilakukan oleh nelayan di pantai. Sedang
masyarakat yang tinggal di pegunungan lebih menyukai subtansi dan tidak
memperdulikan cover. Hal ini terlihat dengan banyaknya upacara jumenengan dalam
memeringati sesutau seperti gerhana ataupun ketika ada orang meninggal.
Komentar
Posting Komentar