Wanita Burung
(Feminise Marry Wollstonecraft dalam, A Vindication Right of
Woman)
Immawan Aufa Yuvela
Peran wanita dan pria memang tidak bisa
dipisahkan dalam dunia, mereka diciptakan untuk hidup bersama dan
proporsional. secara umum tidak ada yang namanya pekerjaan laki-laki ataupun
pekerjaan perempuan bila didasarkan kepada kodratnya. Wanita tidak lemah
sebagaimana digambarkan oleh masyarakat, juga laki laki tak setangguh yang
dikoarkan. banyak hal yang wanita bisa tanggung dibandingkan laki laki,
seperti dalam hal ketahanan. Pada kasus pemilu kemarin banyak
kesaksian dari ketua KPPS yang meyaksikan ketahanan wanita dalam
melaksanakan tugas hingga larut malam. sebagaimana thread twitter dan kesaksian
dari @bungfarid sebagai salah satu ketua KPPS di Depok. Beliau menceritakan
tentang kritiknya terhadap pemilu tahun ini dan POV beliau tebtang
hebatnya wanita. menurut beliau juga salah satu bukti kehebatan wanita pada
pemilu kemarin adalah tidak adanya korban wanita (setahu beliau) yang bertugas
sebagai KPPS.
Marry Wollstonecraft melalui karyanya, A
Vindication Right of Woman menceritakan gagasannya tentang wanita pada masa
itu. Melalui karyanya beliau mengeluarkan ketidak setujuannya peran dan
perilaku laki pada perempuan saat itu. Wanita pada tahun 1779 dikontruksi oleh
Marry dalam dua kelompok, wanita yang tertindas dan wanita burung. Wanita yang
tertindas menurut Marry adalah wanita yang susah secara ekonomi dan tertindas
secara peran di keluarga. Wanita wanita di bagian ini muncul dari masyarakat
dengan kekuatan ekonomi yang lemah. Wanita pada kelompok ini biasanya bekerja
di ladang ladang sebagai pemilik ataupun buruh yang digaji dengan upah yang
rendah. tak hanya itu dia juga mendapatkan tekanan berbentuk tugas rumah
tangga, dari membersihkan rumah hingga mengurus anak, yang mana pada hari ini
dikenal dengan istilah "peran ganda".
Wanita burung memiliki karakteristik yang
berbeda namun sama sama tidak 'pada kodratnya'. Menurut Marry, wanita burung
adalah wanita wanita yang memiliki kelebihan fisik sehingga dijadikan istri
atau selir orang orang kaya pada waktu itu, atau wanita yang dari lahir sudah
kaya sejak lahir. Wanita burung mendapatkan segala kebutuhannya dan tidak
diberi beban rumah tangga seperti membersihkan rumah atau mengurus anak. karena
mereka kaya, cukuplah pembantu yang menanggung bebannya. sehari hari wanita ini
hanya bersolek dan menjaga tubuhnya supaya suaminya masih merasa butuh
dengannya. Menurut Marry, wanita pada kelompok ini terhina secara tidak
langsung, dikarenakan ditempatkan pada posisi yang lemah dan 'terpreteli'
kelebihannya dalam bentuk memberikannya tugas tugas yang seakan menempatkan
wanita sebagai seonggok tubuh saja, seperti menjaga bentuk tubuh dan bersolek
saja. Oleh karena itu mereka seperti burung yang ada di dalam sangkar, yang
sebenarnya dapat melaksanakan banyak hak seperti terbang di langit namun
kelebihan itu diamputasi, dan terlihat seolah memberdayakan wanita.
Menurut Marry, wanita sebenarnya memiliki
peran yang lebih dalam struktur masyarakat, dengan diberinya peran yang
proporsional. Peran yang tidak menempatkan wanita sebagai 'budak' dengan
menangguhkan segala beban keluarga pada wanita juga menafikan kekuatan wanita
dengan tidak memberikannya pekerjaan dan beban. sehingga seperti burung yang
hidup secara alami, bisa memberi dan mencari makan sendiri tanpa harus diberi
makan oleh manusia, juga tidak membuat sangkar, mengurus anak, dan mencari
makan dibebankan kepada seekor burung saja.
Bila kita lihat pada hari ini, kehadiran
wanita burung banyak dan mungkin menjadi mayoritas dan hal ini tak baik bagi
wanita. Wanita wanita burung ini lebih suka hidup di dalam sangkar orang kaya
seperti yang terjadi pada zaman dahulu, namun buruknya hal ini menjadi imaji
impian bagi beberapa golongan wanita sekarang. Wanita pada golongan ini
mengejar kualitas setinggi-tingginya supaya para ‘pemilik sangkar’ bersedia
menempatkan mereka kedalam sangkar. Tak lupa juga mereka bersolek supaya tetap
terlihat mempesona dan eksis. Kata kata ‘nggak usah pinter-pinter’, ‘cukup
sholeha dan cantik’, dan ‘cari suami kaya’ menjadi salah satu propaganda yang
digunakan oleh para pendukung penindasan secara halus ini. Sedihnya kata kata
ini paling banyak tersuarakan dari keluarga yang masih konservatif dan pondok
pesantren. Sehingga ketika ada wanita yang hendak “bangkit”, telah tertutup
oleh propaganda-propaganda disekitarnya.
Bila kita balik waktu kembali, wacana dan
pemahaman tentang kewanitaan kita sudah mengalami arus surut atau kembali pada
zaman kemunduran. Wacana wacana tentang wanita sebagai alat dan benda kembali
terpakai, berbeda dengan wacana pada tahun 1960-1970 yang mengangkat tentang
‘Iron Woman’ yang terjadi salah satunya di Cina. Melalui Mao Zedong mengesahkan
akan hak hak wanita seperti hak berpolitik dan hak ‘hidup’. Perjuangan ini juga
bukan tanpa campur tangan wanita, pada masa Revolusi Sosialis para wanita
bertarung mati-matian untuk memperjuangkan hak mereka dan pada akhirnya
pengesahan dilakukan oleh Mao Zedong. Pada masa itu wanita wanita muncl dalam
diskursi publik dan juga mendapatkan peran peran utama dalam perfilman zaman
itu. Berbeda dengan film zaman sekarang, film pada saat itu wanita digambarkan
sebagai sosok pribadi manusia yang berkualitas dan bebas menentukan pilihannya
sendiri. Film tersebut berjudul Iron Woman dengan tokoh utama Wang Zheng yang
berperan sebagai Hongying. Akan tetapi masa “Iron woman” sudah terlewat, dan
berganti pada zaman “left over woman”
Pada tahun 1980 pemimpin saat itu Dio
Xiaoping membuka Cina untuk investasi asing dari barat yang mana membuat peran
wanita menyesuaikan di barat yang belum “merdeka”. Akibatnya wanita kembali
dianggap sebagai properti yang hanya dilihat sebatas seonggok daging yang
kebetulan hidup. Mereka hanya dilihat sebatas fisik dan kemolekan wajahnya
saja. Di Cina saat ini apabila seorang wanita berumur lebih dari 27 tahun akan
terlabeli dengan istilah “perempuan sisa”, yang mana label ini menjadi aib
dalam keluarga. Dalam beberapa ruang publik, wanita wanita ini akan ditawarkan
secara paksa oleh orangtua atau kakek-neneknya dalam bursa jodoh yang ada di
sana. Para pembawa nama ini akan memberikan biodata singkat “perempuan sisa”
yang ada di keluarga mereka dan menawarkannya kepada pengunjung untuk meminang
anak atau cucu mereka. Akan tetapi perbincangan antara kedua belah pihak ini
seputar tinggi badan, umur, sifat, dan hal hal yang berkaitan dengan
‘eksterior’ wanita saja. Wanita wanita yang sudah cenderung mandiri dan
berpendidikan tinggi seringnya tak laku dalam bursa ini.
Kita tidak dapat menyangkal kehebatan
wanita, seperti fakta saat pemilu kemarin, kehebatan Cut Nyak Meutia, dan masih
banyak lagi tokoh wanita. Wanita itu bukan sosok yang liyan dalam
komunitas manusia. Mereka juga punya hak-hak kemanusiaan sama dengan pria.
Perilakukanlah mereka setidaknya proporsional dengan tidak melanggar hak-hak
hidupnya, dan juga tidak mencapnya dengan label-label buruk yang tak sesuai
dengan fakta, seperti wanita itu labil dan bodoh. Berdasarkan pemaparan diatas
kita harus lebih membuka mata akan peran wanita dalam masyarakat. Perilakukanlah
secara benar dengan tidak menindasnya dan juga tidak “menitahnya”.
Komentar
Posting Komentar