Langsung ke konten utama

Aku dan Pembelajaran Membacaku

Sumber foto: jabar.tribunnews.com
Oleh: Khoirum Majid

“ Membaca Melawan Kebodohan”
Jargon yang biasa didengungkan oleh para pemuda yang mengabdikan dirinya pada komunitas Perpus Trotoar Patihan. Mereka berusaha menumbhkan minat baca masyarakat. Kebetulan penulis beberapa kali ikut terlibat di dalam komunitas tersebut.
Membaca memang aspek penting bagi kemajuan bangsa Indonesia. Sudah diketahui khalayak luas bahwa minat baca orang Indonesia cukup rendah. Hal itu berbanding terbalik dengan minat berkomentar yang tinggi, terutama era media sosial.
Menilik problem diatas, penulis teringat pesan tokoh nasional Buya Syafii Maarif kepada para pemuda untuk giat membaca, apapun itu. Beliau pernah mengatakan, saat masih kuliah di Chicago, punya kebiasaan membaca selama 13 jam dalam sehari. Beliau juga mengatakan bahwa tokoh reformasi sekaligus sahabatnya, Prof Amin Rais, bahkan menghabiskan waktu 16 jam sehari untuk membaca. Luar biasa bukan? sungguh patut dijadikan teladan.
Tak sedikit orang yang ingin memiliki hobi baca, namun mengalami kesulitan. Tak sedikit pula yang sudah memulai membaca namun mengeluh karena tidak paham dengan bacaanya, baru baca beberapa halaman sudah mengantuk, kadang juga bingung mau baca apa. Keadaan seperti ini sering mengakibatkan kita malas dan mundur dari dunia membaca.
Penulis pun dulu pernah mengalami masa-masa itu, mungkin hingga saat ini. Tapi penulis juga punya alasan untuk kembali bangkit, apa itu? tidak akan ada kata-kata motivasi untuk membuat teman-teman Istiqamah berada dalam dunia membaca. Penulis lebih tertarik untuk bercerita beberapa peristiwa yang mengantarkan pada dunia membaca. Agar lebih akrab, penulis akan menggunakan kata ganti orang pertama dan ketiga.
Kisah ini berawal saat masih SMA, tepatnya kelas XI, pertengahan tahun 2013. Aku sekolah di Madrasah Aliyah Yayasan Taman Pengetahuan (MA YTP) Kertosono. Nama sekolah yang tidak familiar memang.
Aku sering dinasehati guru pelajaran Agama agar rajin membaca, tapi jelas saja hampir semua anak usia sekolah tidak akan mengamini nasihat semacam itu. Lebih asyik bermain bukan?
Tak sekedar memberi nasehat, Beliau juga terkadang memberi pinjaman buku miliknya. Salah satu buku yang masih membuatku gagal “move on” akibat menolak meminjamnya adalah karangan Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban. Alhasil, buku itu dipinjam temanku, Aji Wahyu, yang pada akhirnya menjadi rival dalam dunia membaca.
Minat bacaku memuncak beriringan semakin intensifnya rivalitas kami dikelas. Meski begitu, kami berkawan baik dan sering berdiskusi terkait materi pelajaran maupun tema keislaman tertentu. Ketika berdiskusi, aku lebih banyak mendengarkan dibandingkan menyapaikan gagasan atau pendapat. Maklum saja, dia lebih tekun membaca dibandingkan aku. Berbeda denganku yang masih malas membaca.
Suatu hari dia pernah membaca lebih dari 80 halaman buku karya Prof Qurais Shihab, Mu’jizat Al-Qur’an. Kebetulan aku pun sudah pernah membaca buku yang sama, meski butuh lebih dari sebulan untukku menyelesaikannya.
Sengaja aku mengajak diskusi terkait tema yang ada dalam buku tersebut, tanpa terus terang bahwa aku sudah pernah membacanya. Diluar dugaan, dia mampu menjelaskan tema tersebut dengan cukup jelas. Bahkan aku tak ingat kalau pernah membaca penjelasan yang ia sampaikan. Sejak saat itulah aku bertekad untuk banyak membaca buku.
Namun pertanyaan muncul dibenakku, bagaimana caranya aku bisa membaca berpuluh-puluh halaman serta memahaminya? Membaca lima halaman saja sudah lelah, itupun belum tentu paham.
Akhirnya aku sampai pada peristiwa yang mengantarku menemukan jawabannya. Awal tahun 2014, aku membeli buku How to Make Your Habbits, karya Felix Y Siauw, di Gramedia Kediri. Tidak ada alasan khusus yang melatarbelakangi aku membeli buku ini, kecuali sampulnya yang bagus dan judul yang ditulis dengan bahasa Inggris.
Buku ini menegaskan bahwa tidak ada bakat bawaan sejak lahir. Semua keahlian berawal dari pembiasaan. Dari situlah aku sadar, hobi membaca berawal dari proses pembentukan kebiasaan. Untuk dapat memahami apa yang kita baca, pada mulanya kita harus terbiasa membaca.
Dalam buku tersebut dikatakan bahwa untuk membentuk sebuah kebiasaan, minimal kita harus melakukan perbuatan yang sama selama tiga puluh hari berturut-turut. Setelah masa pembiasaan ini, alam bawah sadar kita akan mengajak kita untuk melakukannya lagi dan lagi.
Metode tersebut coba aku lakukan, dan cukup membuahkan hasil. Setelah tiga puluh hari berturut-turut membaca buku, tanpa sadar aku terdorong untuk terus membaca. Sehari saja tidak membaca buku, tubuh merasa seakan ada yang kurang.
Proses pembiasaan ini bukan tanpa kendala. Rasa malas selalu datang menghampiri, terutama pada hitungan hari ke dua puluh sampai dua puluh enam. Ditambah lagi belum tentu aku dapat memahami apa yang dibaca. Tapi tekad untuk masuk kedunia membaca tetap aku nyalakan.
Akhirnya aku memiliki kebiasaan baru, yaitu membaca. Aku akui sering tidak paham dengan yang dibaca. Tapi aku tidak peduli. Satu hal yang selalu aku tanamkan adalah keyakinan untuk terus mengeja hingga sampai pada taraf membaca.
Aku menggunakan istilah mengeja untuk menunjukkan arti membaca sebagaimana pada umumnya namun masih belum bisa memahami apa yang dibaca. Membaca bagiku adalah aktivitas mengeja dan memahami. Namun pemaknaan ini hanya sebagai penyemangatku agar terus membaca.
Pada masa kuliah, rivalitas semakin tinggi. Bergumul dengan orang-orang hebat yang sudah terjun dalam dunia literasi membuatku sadar akan satu hal, betapa lambatnya aku. Sungguh aku banyak tertinggal jauh, saat aku masih belajar mengeja, teman-temanku sudah becumbu dengan buku.
Rivalitas ini cukup memacu untuk terus membaca, lagi dan lagi. Membaca sebanyak-banyaknya dan memahami bacaan sedalam mungkin.
Terkait dengan problem membaca namun susah atau tidak paham dengan yang dibaca, ada dosen muda yang sering memberi nasihat pada kami, mahasiswanya. Ia mengatakan untuk tetap membaca, karena apa yang kita baca barangkali masih menjadi puzzle-puzzle pengetahuan yang suatu saat akan terbentuk.
Contoh kecil, saat pertama kali membaca tulisan Emha Ainun Najib, aku sama-sekali tidak memahami konsep tulisannya. Aku mulai paham dengan alur tulisan-tulisan beliau setelah berkali-kali membacanya. Begitupun ketika aku membaca buku Nasr Hamid Abu Zayd, aku mulai paham gagasan utamanya saat setelah membaca dua karyanya yang lain.
Saat ini, aku masih terus belajar membaca, karena bagiku membaca adalah proses yang tak pernah usai.
Nah, diatas adalah kisah singkat perjalanan penulis mendekati dunia membaca. Point krusial yang ingin penulis sampaikan adalah semua orang berkesempatan untuk menyelami dunia bacaan, dunia yang membebaskan. Tidak perlu banyak mencari motivasi untuk hobi membaca. Action and Repeat, baca dan baca lagi, jangan berhenti. Apa yang kita baca akan mengendap, membentuk Puzzle dan suatu saat akan terbentuk.

Selamat membaca.


Khoirum Majid, lahir di Lamongan, 23 Juni 1997 dari pasangan Ahmad Akhwan dan Menis Sumariyati. Alumni Pondok Pesantren Ar-Roudlotul Ilmiyah Kertosono ini sekarang menempuh jenjang S1 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain kuliah, aktivitasnya adalah menjadi Marbot Masjid agar hidup menjadi berkah.
Akun Medsos
FB : Khoirum Majid
IG : khoirum_majid

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjaga Keturunan Sebagai Upaya Perlindungan (Hifdzu Nasl)

Oleh: Immawan Muhammad Asro Al Aziz Keturunan ( nasl ) merupakan serangkaian karakteristik seseorang yang diwariskan orang tua kepada anak, atau segala potensi, baik fisik maupun psikis yang dimiliki seseorang dari orang tua melalui gen-gen. Keturunan juga merupakan faktor utama yang mempengaruhi perkembangan individu. Perhatian Islam terhadap keturunan dapat dilihat dari sejarahnya yang membuktikan bahwa merupakan hal yang sangat penting dalam, sehingga terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang secara spesifik berbicara tentang penjagaan keturunan. Misalnya pada QS. al-Ahzab: 4-5 yang memberi tuntunan tentang proses pemberian nasab terhadap anak kandung dan anak angkat. Karena, perhatian terhadap keturunan juga berimplikasi terhadap hak pemberian nafkah, pewarisan harta, pengharaman nikah, dan lain-lain. Islam memberikan perhatian yang besar terhadap keturunan untuk mengukuhkan aturan dalam keluarga yang bertujuan untuk mengayominya melalui perbaikan serta menjamin kehidupannya

Implementasi Strategi Inovasi Produk Perspektif Al-Qur'an

A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk individual juga sebagai makhluk ekonomi. Banyak kebutuhan yang di perlukan oleh setiap manusia menjadikan ekonomi sebagai suatu ilmu untuk memenuhi keberlangsungan hidup seseorang. Hal bisa itu terjadi karena perubahan lingkungan yang fundamental merupakan daya dorong (driving forces) perubahan perekonomian dan bisnis. Perubahan dalam semua aspek kehidupan harus direspons sesuai dengan tingkat kebutuhan dan kemanfaatan bisnis. Di sisi lain, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan perusahaan beroperasi di tingkat lokal, regional dan global, tanpa harus membangun system bisnis di tempat perusahaan tersebut beroperasi. Proses informasi dan komunikasi memperluas kemungkinan operasi jaringan perusahaan.  Disebutkan bahwa Koperasi di Jawa Tengah mengalami perkembangan jumlah koperasi aktif 22.674 (81,37%), tetapi tidak disertai dengan berkurangnya jumlah koperasi tidak aktif di Jawa Tengah dengan jumlah 5.19

Strategi Dakwah Ala Rasulullah

Oleh: Immawati Afifatur Rasyidah Islam merupakan agama perdamaian yang dianugrahkan oleh Allah swt dan perlu dijaga eksistensinya. Sebagai kader umat dan pewaris tampuk pimpinan umat kelak, sejatinya dewasa ini para generasi muda dilatih agar dapat menghadapi tantangan dan menjaga agama Islam ini. Berbagai kontroversi terjadi, agama dimonsterisasi, ulama didiskriminalisasi, umat dicurigai, dakwah dianggap provokasi, bahkan kebaikan pun dianggap radikalisasi. Salah satu   maqashidu syariah dalam agama Islam ialah hifdzu al-din (menjaga agama). Penjagaan terhadap agama dapat diimplementasikan dengan berbagai hal, salah satunya adalah dengan dakwah. Penyebaran dakwah tentu tak terlepas dengan metode atau manhaj atau thariqah. At-Thariqat Ahammu Min Al-Maddah, metode itu jauh lebih penting daripada materi. Ia merupakan sebuah seni (estetika) dalam proses penyampaian dakwah. Secara leksikal, metode ialah the way of doing. Sebaik-baik kualitas materi yang disampaikan dalam pembelajaran