Oleh : Joko Riyanto, Cf
A. Jendela
Urgensi Tumbuh Berkembangnya Budaya Literasi
Secara etimologis,
literasi dalam kamus KBBI diartikan sebagai pemahaman membaca dan menulis.
Sedangkan secara terminologis, literasi adalah sebuah aktifitas yang intensif
dalam upaya membaca untuk sebuah pemahaman dan mengolah pemahaman kedalam
sebuah gagasan dan didistribusikan kedalam sebuah tulisan. Namun pada dasarnya,
jika kita menelahaan lebih fundamental sebuah pembacaan dan penulisan tidaklah
sesederhana seperti itu. Ada sebuah proses panjang yang perlu disadari bagi
setiap individu maupun kelompok dalam hal budaya literasi. Kesadaran yang dimaksud
ialah kesadaran kritis atas sebuah pemahaman dari hasil pembacaan dan
kepenulisan yang kritis untuk sebuah perubahan. Menulis tidak serta merta hanya
bertujuan untuk meraih sebuah popularitas.
Sebelum beranjak
lebih jauh ke dalam analisis tentang budaya literasi, alangkah lebih baiknya
jika kita menilik betapa urgensinya sebuah kegiatan yang dinamakan budaya
literasi tersebut. Pramoedya Ananta Toer menjelaskan dalam Roemah Kaca (1988),
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan
hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk
keabadian.”[1]
Oleh karena itu jika apa yang dikatakan oleh Pram adalah sebuah kebenaran, bisa
kita refleksikan bahwa menulis adalah sebuah tindakan mengabadikan gagasan, ungkapan,
dan apa saja yang dipikirkan oleh manusia.
Ilmu pengetahuan
tidak akan pernah berkembang jika tidak ada sebuah tulisan, manuskrip ataupun
buku-buku ‘babon’ yang ditulis oleh ilmuan, pemikir, akademisi, novelis,
sastrawan, dll. Terlebih-lebih di dalam Islam kita kenal adanya pedoman hidup (way of life), yaitu Al-Qur’an dan
Al-Hadis yang diwariskan dari generasi pertama Nabi Muhammad SAW hingga sampai
sekarang, tentulah salah satu jalannya adalah melalui tulisan –selain tradisi
oral (hafalan) yang lebih banyak berkembang--. Akan jadi apakah jika pada masa
Nabi, Al-Qur’an dan Al-Hadis tidak pernah dibukukan atau ditulis? Kemungkinan
terbesar, umat sekarang tidak akan pernah menerima sebuah kebenaran otentik
akan ajaran Islam. Karna melalui tulisan, kebenaran secara logika dapat
diterima. Jika tidak melalui tulisan, maka kebenaran tersebut masih bersifat
mitologi.
Kita kenal Soe Hok
Gie, sosok aktivis mahasiswa yang dalam pengalamannya sebagai aktivis, ia tulis
kedalam sebuah catatan kemudian dibukukan dengan judul “Catatan Seoarang
Demonstran”. Ia sangat kritis dalam membaca segala sesuatu, tak pernah lelah
membaca buku kemudian membaca realitas di sekitarnya dan dengan sebuah
idealisme yang dipegang teguhnya, ia mengkritisi segala sesuatu yang dinilai
telah menindas sebuah kebebasan. Dengan
sangat pandai Soe Hok Gie menuliskan “Guru Model Begituan, yang tidak tahan
dikritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan
murid bukan kerbau.”[2]
Masih banyak kisah
atau bahkan sejarah yang membuktikan akan urgensi membaca dan menulis. Dalam
sebuah ilmu pengetahuan, di ranah filsafat contohnya, kita tahu bahwa dalam
literatur teks sejarah filsafat Barat yang ditulis oleh Bertrand Russel. Ia menuliskan
sejarah yang amat panjang dengan metode periodisasi dan karakteristiknya. Ia mampu
membawa masa lalu kedalam masa sekarang dalam bentuk yang lebih filosofis
tentunya.[3]
Urgensi yang
lainnya selain untuk hidup dan abadi dalam sejarah, menjaga otensitas kebenaran,
selanjutnya ialah untuk memperluas pemahaman (tidak fanatik). Buya Syafi’i
Ma’arif mengatakan, “Bacalah buku! Apapun itu (novel, filsafat, puisi, tasawuf,
fiqih, ilmu pengetahuan saintifik, dll), karna hal tersebut akan membawa diri
individu bijaksana dan tidak fanatik terhadap ideologi dalam kelompok apapun
itu.”[4] Relevan
memang pernyataan Buya jika kita melihat kondisi masyarakat Indonesia dari dulu
sampai sekarang. Kenapa tidak, kita tahu di Jogja beberapa pekan akhir ini terjadi
tidakakan vandalisme, di Mampung dari dulu tetap saja terjadi pembegalan di
mana-mana, di Jakarta tingkat kriminalitas selalu meningkat dan yang paling
krusial para pejabat sampai kini tetap korupsi. Alangkah bijaksananya hidup di
Indonesia ini jika masyarakatnya gemar membaca dan menulis, pastilah peperangan
akan lewat melalui sebuah gagasan dan dengan demikian tentunya masyarakat akan
saling bertoleransi terhadap perbedaan pendapat. Karena masing-masing individu
akan saling mengakui tingkat kebenaran pihak lain.
Ugensi selanjutnya
adalah hal yang paling dasar yaitu ketika seseorang membudayakan diri akan
litarasi (membaca dan menulis), maka paradigmanya akan semakin berkembang, atau
dapat diistilahkan sebagai perubahan pola pikir yang lebih luas dan lebih
fundamental, radikal, komprehensif dan kritis. Abid Al-Jabiri dalam karyanya, “Kritik
Nalar Arab”, mencoba mengkritisi secara filosofis mengapa peradaban di dalam
Islam jauh tertinggal dengan peradaban barat? Ia mencoba melihat hal yang
paling dasar yaitu pada paradigma, pola pikir, nalar atau pikiran. Di dalam bab
1 dari bukunya, ia menjelaskan bahwa secara intinya Islam secara khusus pada
konteks Arab dan umumnya Islam secara keseluruhan di mana-mana, mereka lupa
akan sebuah konstruksi ilmu pengetahuan, sebuah konstruksi akal pikiran, sebuah
perubahan peradaban yang didasari atas perubahan pola pikir.[5]
B. Menyelami,
Merefleksi, Menelusuri Hakikat Budaya Literasi
Jika ditanya pada diri masing-masing, para Immawan dan
Immawati, apa sejatinya kita? Apa sejatinya kita yang hidup di dalam ruang dan
waktu parsial yang mengalami perubahan? Pastilah masing-masing akan menjawab
sesuai pengetahuan dan kepentingan masing-masing. Jawaban dari pertanyaan
tersebut akan berbeda-beda dari mahasiswa yang yang apatis, aktivis tapi tidak
gandrung akan budaya literasi dan mahasiswa yang gandrung terhadap budaya
literasi. Hal ini merupakan perbedaan yang mendasar, yang dikarenakan sebuah
paradigma atau pola pikir. Seperti apa yang di jelaskan pada bagian sebelumnya,
bahwa Abid Al-Jabiri mengkritik Islam secara keseluruhan tentang sebuah
kesadaran paradigma. Dalam sejarah Filsafat Barat, paradigma berkembang melalui
budaya literasi (kegiatan membaca, menganalisis, merekonstruksi dan
mendekonstruksi pemikiran dan gagasan sebuah perkembangan ilmu pengetahuan).
Hal tersebut tidak akan terealisasi jika para tokoh-tokoh ilmuan tersebut tidak
pernah membaca dan menulis.
Namun, sebelum beranjak lebih jauh perlulah diri ini
mencoba menyelami, menelusuri, merefleksikan apa sebenarnya (hakikat) budaya
literasi itu? Bagaimana budaya literasi itu berkembang hingga saat ini? Dan
nilai apa yang terkandung di dalam budaya literasi tersebut? Untuk lebih santai,
alangkah lebih baiknya dalam kerja intelektual ini sembari ngopi bersama dan
berdiskusi. Karena dari situlah mahasiswa tidak akan mengalami kekakuan
berfikir atau mudah bosan dalam melaksanakan kerja intelektual ini.
1.
Budaya Literasi Dibaca
Melalui Perspektif Ontologis
Berbicara
mengenai budaya literasi ditinjau dari perspektif ontologis sebenarnya sudah
barang tentu keberadaanya tidak dapat dimungkiri. Secara sederhana, budaya
dapat diartikan sebagai kebiasaan, hal yang dilakukan secara terus menerus dan
akan selalu berubah. Namun yang perlu disadari bahwa, dalam ilmu antropologi
budaya tidak hanya berkutat pada ranah praksis dan produk seperti cara makan,
cara bertamau, candi barobudur, candi prambanan, tarian daerah, dll. Melainkan,
budaya menurut antropolog ada tiga hal yaitu; Pertama, budaya sebagai sistem nilai, yaitu suatu pembentuk atau yang
melatarbelakangi sesuatu itu terwujud sebagai tindakan. Contohnya, kenapa para
kader IMM disebut immawan bagi yang laiki-laki dan immawati bagi yang
perempuan? Di situlah ada sebuah sistem nilai yang harus disadari dan tidak selamanya
sistem nilai itu benar sepanjang zaman. Sehingga Abid Al-Jabiri mengkritisi
sebuah nalar Arab yang diintegrasikan kedalam sebuah budaya. Jika IMM ingin
bergerak maju, maka cara berfikir atau paradigmanya harus berkembang dengan
cara membudayakan membaca, berdiskusi dan menulis dengan didasari nilai etis.
Kedua, budaya sebagai sistem sosial. Yang dimaksud ialah
sistem-sistem yang berlaku seperti pembedaan kaum proletar dengan kaum borjuis,
kaum priyayi, santri dan abangan. Jika di dalam IMM ada kader ex-DAD dengan
kader yang sudah PK, PC, DPD dan sampai DPP. Perbedaan tersebut dilihat dari
fungsi dan ranah geraknya. Ketiga budaya
sebagai produk, yaitu apa-apa yang ditinggalkan dari sebuah kebiasaan-kebiasaan
masa lalu, sekarang dan mendatang, seperti: candi, buku, tarian, lagu, musik, dll.
Oleh
karena itu, jika seseorang ingin diakui keberadaannya sebagai orang yang
berbudaya maka ia harus melewati tiga proses tersebut. Tidak serta merta hidup
di dunia ini hanya mengalir mengikuti arah angin maupun arah air mengalir.
Terkadang layang-layang harus melawan arah angin karena dengan begitu ia dapat
terbang dan terkadang kapal juga melawan arah angin jika di depannya ada badai
angin laut.
Jadi,
secara ontologis, budaya literasi berkaiatan dengan manusia yang memiliki akal,
untuk memahami segala sesuatu dan menjelaskan apa yang ia pahami ke dalam
sebuah penulisan. Bertujuan untuk kehidupan yang lebih baik dan bijaksana,
dalam artian menjadi insan kamil --meminjam istilah dari Muhammad Iqbal. Dan
yang perlu di sadari kembali, manusia akan mengalami diskontinuitas kehidupan
jika memang budaya literasi ini terhenti.
2.
Budaya Literasi dibaca
Melalui Perspektif Epistemologis
Secara
etimologi, epistemologis berasal dari bahasa yunani, epistem: teori, dan logos: pengetahuan.
Jadi epistemologis adalah teori pengetahuan. Membicarakan sebuah kebenaran
pengetahuan yang didapatkan oleh manusia. Lalu apa relevansinya budaya literasi
dilihat dari perspektif epistemologis? Jika menjabarkan secara detail maka akan
memakan space yang banyak, maka sebisa mungkin akan diperpendek dan jelas. Di
dalam sejarahnya, epistemologis berkembang terus menerus sesuai dengan pola
pikir atau perubahan ilmu pengetahuan. Namun, secara singkat teori pengetahuan
terbagi menjadi lima macam yaitu; pertama
idelaisme, kedua empirisme, ketiga pragmatisme, keempat kritisisme dan kelima
mistisisme.[6]
Karena
objek analisisnya ialah budaya literasi, maka di sini tidak akan berdialektika
terlalu panjang mengenai kebenaran sebuah pengetahuan, melainkan, bagaimana
proses pengetahuan itu didapat di dalam proses budaya literasi dan bagaimana
manusia menerima kebenaran pengetahuan
itu? Dari permasalahan tersebut maka disini tidak dimungkiri bahwa
perkembangan kesadaran sebuah kebenaran terhadap kegiatan membaca dan
menuliskan sesuatu di bahas secara spesifik di dalam ilmu yang namanya
Hermeunetika. Penjelasnya dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:[7]
|
Ket: Lingkaran kiri, Teks :
Kebudayaan, Politik, Struktur Sosial, dll (Konteks Teks terbentuk)
Lingkaran Tengah, Reader :
Kebudayaan, Politik, Struktur Sosial, dll (Konteks reader)
Lingkaran Kanan, Teks :
Kebudayaan, Politik, Struktur Sosial, dll (Konteks Teks terbentuk)
Persegi Panjang, Proses Manusia Memahami dan Menulis
Dari gambar di atas
maka dapat dipahamai bahwa dalam budaya literasi tentulah ada sebuah mekanisme
epistemologis yang dibahas dalam kajian hermeunetika. Secara teori hermeunetika
membawa seorang reader harus sadar betul (kritis) jika membaca sebuah teks baik
teks dalam buku, pernyataan dan simbol-simbol. Di dalam sebuah teks yang di
baca oleh seorang reader termuat sebuah asbab-asbab yang melatar belakanginya.
Contohnya yaitu mengapa Islam pada masa kemundurannya para filususf dalam
kepenulisannya mencoba mensintesiskan agama dengan filsafat? Karena pada masa
itu filsafat mendapat justifikasi haram dari kaum Asy’ariah oleh al-Ghazali
dalam buku tahafidz al falasifah. Di balik itu semua lagi ada pertentangan
politik antara kaum muktazilah dan asy’ariyah dan kelompok-kelompok lainnya.
Oleh karena itu,
kesadaran hermeunetis ini perlu karena mengingat agar pembeca tidak sepenuhnya
meyakini terhdap kebenaran yang ada pada teks karna masih banyak
kebenaran-kebenaran dari teks- teks diluar dari bacaaannya.
3.
Budaya Literasi dibaca
Melalui Perspektif Aksiologis
Aksiologis berbicara
mengenai nilai apa yang ada pada sesuatu tersebut. Jika pada sebuah ilmu
pengetahuan, untuk apa dan nilai apa manusia itu berpengetahuan? Namun disini
pembahasannya adalah budaya literasi. Maka untuk apa sebenarnya manusia itu
berbudaya literasi, dan nilai-nilai apa yang terkandung di dalamnya? Nilai-
nilai yang terkandung di dalamnya ialah; Pertama, perubahan paradigma. Artinya, dengan membaca dan menulis
manusia pasti menemui sebuah gagasan baru, sehingga jika ia menerimanya dan
merekonstruksinya maka akan menjadi sebuah paradigma baru baginya.
Kedua, tumbuhnya kesadaran
kritis. Ketika manusia membudayakan pada dirinya sebuah gerakan membaca dan
menulis maka dirinya secara tidak langsung akan memiliki sebuah kesadaran
kritis. Karena akal berperan di dalamanya. Memikirkan apa yang sedang ditulis
dan apa yang akan ditulis dan menulis tentunya memberikan kontribusi gagasan
terbaru darinya untuk yang lainnya. Ketiga,
budaya literasi akan merubah peradaban. Jika di zaman klasik dikatakan
bahwa negara maju ialah negara yang ilmu pengetahuannya berkembang, maka di zaman
modern, negara yang maju ialah negara yang ilmu pengetahuan dan teknologinya
berkembang. Hal ini dirasakan sekarang oleh dunia barat. Indonesia yang notabene
masyarakatnya masih berbudaya oral dalam pengetahuannya, maka tidak dapat
memungkiri hal tersebuat sangat dipertanyakan kebenarannya.
Keempat, menjadikan insan
kamil. Jika menurut Al-Qur’an manusia diciptakan di muka bumi ini sebagai khalifah,
tidaklah mungkin seorang kholifah tidak pernah membaca (teks, realitas,
simbol-simbol) dan menulis (karya: buku, opini, artikel, puisi, lukisan dan
lain-lain). Karena manusia dapat merefleksikan diri. Menilik sejarah dari Nabi
Muhammad SAW yang mana beliau tidaklah mungkin mendapatkan wahyu atau turunnya
wahyu tanpa sebab dari diri beliau yang gelisah membaca realitas umatnya yang
politeis dan berkebudayaan jahiliyah.
Oleh karena itu,
sebuah kesadaran terhadap urgensi budaya literasi sangatlah penting bagi diri
individu, masyarakat dan alam semesta untuk sebuah perubahan yang lebih baik.
Jika masih berfikiran bahwa literasi sangat membosankan, maka perlu cara atau
metode yang efektif, menyenangkan dan mengasikkan, sehingga mampu menghadirkan sebuah gagasan
dalam rangka meraih sebuah perubahan.
[3] Lihat
pembagian-pembagian periodisasi di dalam buku Sejarah Filsafat Barat karya
Bertard Russel.
[5]
Baca bab 1 terjemahan buku karya Abid Al-Jabiri berjudul : Kritik Nalar Arab.
[6] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat buku kedua pengantar kepada teori pengetahuan (Jakarta:
PT Bulan Bintang, 1991), hlm. 11-40.
[7] Selengkapnya baca buku karya F. Budi
Hardiman, Seni Memahami. Di dalam
buku tersebuat sangat ditail diterangkan bagaimana proses atau metode memahami
secara filosofis yang dibicarakan oleh filosuf dari masa Scheirmacher sampai
Derrida.
Komentar
Posting Komentar