Dua sayap civil society terbesar di Indonesia sedang menggelar hajatan akbar. NU sedang bermuktamar di Jombang dan Muhammadiyah di kota Makassar. Keduanya sedang mempersiapkan masa depan yang lebih cerah. Di usianya yang sudah tidak lagi muda, kedua ormas ini dituntut untuk tetap eksis menebarkan wajah agama yang tidak statis dan tidak menunjukkan status quo-vadis. Lumrahnya dalam catatan historis, ketika usia suatu komunitas organisasi telah mapan dan beban struktural telah kian membesar, maka virus yang paling sulit dibasmi adalah munculnya kejumudan yang kritis.
Keberadaan dua ormas ini telah diakui oleh segenap elemen bangsa, bahkan dunia internasioanl. Mereka sudah saling mengisi dan bersatu padu di masa penjajahan merebut kemerdekaan Indonesia. Di awal kemerdekaan, para tokoh ormas menanggalkan baju sektariannya dan bersatu demi meletakkan pijakan dasar kemajuan bangsa dan kemakmuran masa depan anak cucu. Jika mencermati lebih jauh, ternyata posisi kedua ormas sebagai pelopor kebaikan dan kemajuan menjadi sandaran dan acuan bagi bangsa. Indonesia banyak bercermin dan mengadopsi serta belajar dari kedua ormas yang asli lahir dari rahim ibu pertiwi ini.
Sumbangsih dua ormas ini terus berlanjut hingga kini, dan belum menunjukkan tanda-tanda berhenti. Umur kedua ormas yang telah melebihi umur Indonesia menjadi bukti awal bahwa Indonesia patut berterima kasih kepada dua arus besar ini. Bangsa kepulauan terbesar ini tetap aman dan terselamatkan meskipun di masa-masa genting. Terhindar dari konflik yang mengacaukan kedaulatan. Kedua ormas ini telah mengambil alih banyak tugas-tugas penting yang seharusnya ditertibkan oleh negara. Mengurusi bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, pemberdayaan masyarakat, hingga menjadi perwakilan bangsa di kancah internasional.
Di usia Muhammadiyah yang telah memasuki abad kedua dan NU yang hampir memasuki usia satu abad, ada beberapa hal yang menarik. Di antaranya adalah persaingan dan perlombaan dalam ranah kebaikan terlihat semakin kentara antara dua ormas ini. Tentunya ini sebagai kompetisi yang bernuansa positif. Bahkan kelahiran salah satu ormas juga dipicu karena ada ormas yang sebelumnya. Bukannya tanpa alasan, namun untuk memberikan pilihan alternatif dari kemunculan ormas yang satu.
Sebut contoh misalkan ketika salah satu ormas mempelopori sistem pendidikan pesantren, maka kemudian sistem ini menjadi mainstrem bagi kedua ormas semenjak pasca reformasi hingga hari ini. Demikian halnya dengan adanya sistem pendidikan sekolah umum dan perguruan tinggi yang awalnya khas di salah satu ormas, kemudian menjadi kebutuhan bersama. Dari kesadaran ini, lalu muncul sikap untuk sama-sama berpacu membenahi diri. Demikian halnya dengan bidang-bidang lain yang awalnya melekat di salah satu ormas saja, seperti kesehatan dan pemberdayaan perekonomian.
Bukan tak mungkin pula jika salah satu ormas "belajar" tentang pengelolaan agenda yang lebih profesional. Termasuk di dalamnya tentang sistem pengelolaan Muktamar. Beberapa hari ini berita di media massa menunjukkan adanya perbedaan dalam kegiatan muktamar dua ormas tersebut. Jawa Pos misalkan menurunkan Headline "Muktamar NU Gaduh, Muhammadiyah Teduh." Dengan anggaran yang mumpuni mencapai 38 Milyar, penyelenggaraan Muhammadiyah kali ini berbasis profesionalitas, pengabdian, pemberdayaan ekonomi umat, dan berbasis teknologi. Sementara NU, sejak hari pertama, terjadi beberapa keributan kecil. Beberapa pengamat menyayangkan adanya intervensi politik PKB yang mengacaukan suasana Muktamar.
Ketika salah satu ormas menginisiasi pendirian lembaga penanganan becana, lembaga zakat, infaq dan sedekah, tak lama kemudian ormas yang satunya juga merasa butuh pada lembaga serupa. Lalu berkat persaingan yang sehat dan positif ini, umat merasakan manfaat dari keberadaan dua lembaga di dua ormas tersebut. Di saat salah satu ormas memiliki radio dan TV, maka ormas yang lain juga berusaha untuk mengimbangi dan ikut memberikan alternatif pilihan. Semua itu bertujuan demi terwujudnya masyarakat madani.
Kini, kebutuhan bangsa telah berubah. Zaman telah berganti dan tantangan semakin berat dan beragam. Maka kedua ormas ini perlu saling mempelopori dan berbagi ide-ide inovatif untuk membangun peradaban negeri dan bahkan dunia. Menunjukkan pada dunia bahwa wajah Islam yang semestinya adalah wajah Islam yang dinamis. Senantiasa bergerak dan berkonstribusi. Maka tak perlu untuk menutup-nutupi atau malu ketika salah satu ormas mengakui belajar dari ormas yang lain. Semua itu adalah alamiah dan wajar-wajar saja.
Maka kini perhatian ormas perlu lebih dipusatkan pada kebutuhan bangsa yang lebih kontemporer. Misalkan saja pendirian sekolah anti korupsi, melakukan judical review terhadap Undang-Undang yang merugikan rakyat, memunculkan jihad ekologis, dan beberapa item lainnya yang terasa penting bagi masa depan bangsa. Jika salah satu ormas telah memulai, semoga saja ormas yang lainnya bisa mengikuti dan memberi keseimbangan untuk berjuang bersama dengan semangat saling berfastabiqul khairat (berlomba dalam kebaikan).
Keberadaan dua ormas ini telah diakui oleh segenap elemen bangsa, bahkan dunia internasioanl. Mereka sudah saling mengisi dan bersatu padu di masa penjajahan merebut kemerdekaan Indonesia. Di awal kemerdekaan, para tokoh ormas menanggalkan baju sektariannya dan bersatu demi meletakkan pijakan dasar kemajuan bangsa dan kemakmuran masa depan anak cucu. Jika mencermati lebih jauh, ternyata posisi kedua ormas sebagai pelopor kebaikan dan kemajuan menjadi sandaran dan acuan bagi bangsa. Indonesia banyak bercermin dan mengadopsi serta belajar dari kedua ormas yang asli lahir dari rahim ibu pertiwi ini.
Sumbangsih dua ormas ini terus berlanjut hingga kini, dan belum menunjukkan tanda-tanda berhenti. Umur kedua ormas yang telah melebihi umur Indonesia menjadi bukti awal bahwa Indonesia patut berterima kasih kepada dua arus besar ini. Bangsa kepulauan terbesar ini tetap aman dan terselamatkan meskipun di masa-masa genting. Terhindar dari konflik yang mengacaukan kedaulatan. Kedua ormas ini telah mengambil alih banyak tugas-tugas penting yang seharusnya ditertibkan oleh negara. Mengurusi bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, pemberdayaan masyarakat, hingga menjadi perwakilan bangsa di kancah internasional.
Di usia Muhammadiyah yang telah memasuki abad kedua dan NU yang hampir memasuki usia satu abad, ada beberapa hal yang menarik. Di antaranya adalah persaingan dan perlombaan dalam ranah kebaikan terlihat semakin kentara antara dua ormas ini. Tentunya ini sebagai kompetisi yang bernuansa positif. Bahkan kelahiran salah satu ormas juga dipicu karena ada ormas yang sebelumnya. Bukannya tanpa alasan, namun untuk memberikan pilihan alternatif dari kemunculan ormas yang satu.
Sebut contoh misalkan ketika salah satu ormas mempelopori sistem pendidikan pesantren, maka kemudian sistem ini menjadi mainstrem bagi kedua ormas semenjak pasca reformasi hingga hari ini. Demikian halnya dengan adanya sistem pendidikan sekolah umum dan perguruan tinggi yang awalnya khas di salah satu ormas, kemudian menjadi kebutuhan bersama. Dari kesadaran ini, lalu muncul sikap untuk sama-sama berpacu membenahi diri. Demikian halnya dengan bidang-bidang lain yang awalnya melekat di salah satu ormas saja, seperti kesehatan dan pemberdayaan perekonomian.
Bukan tak mungkin pula jika salah satu ormas "belajar" tentang pengelolaan agenda yang lebih profesional. Termasuk di dalamnya tentang sistem pengelolaan Muktamar. Beberapa hari ini berita di media massa menunjukkan adanya perbedaan dalam kegiatan muktamar dua ormas tersebut. Jawa Pos misalkan menurunkan Headline "Muktamar NU Gaduh, Muhammadiyah Teduh." Dengan anggaran yang mumpuni mencapai 38 Milyar, penyelenggaraan Muhammadiyah kali ini berbasis profesionalitas, pengabdian, pemberdayaan ekonomi umat, dan berbasis teknologi. Sementara NU, sejak hari pertama, terjadi beberapa keributan kecil. Beberapa pengamat menyayangkan adanya intervensi politik PKB yang mengacaukan suasana Muktamar.
Ketika salah satu ormas menginisiasi pendirian lembaga penanganan becana, lembaga zakat, infaq dan sedekah, tak lama kemudian ormas yang satunya juga merasa butuh pada lembaga serupa. Lalu berkat persaingan yang sehat dan positif ini, umat merasakan manfaat dari keberadaan dua lembaga di dua ormas tersebut. Di saat salah satu ormas memiliki radio dan TV, maka ormas yang lain juga berusaha untuk mengimbangi dan ikut memberikan alternatif pilihan. Semua itu bertujuan demi terwujudnya masyarakat madani.
Kini, kebutuhan bangsa telah berubah. Zaman telah berganti dan tantangan semakin berat dan beragam. Maka kedua ormas ini perlu saling mempelopori dan berbagi ide-ide inovatif untuk membangun peradaban negeri dan bahkan dunia. Menunjukkan pada dunia bahwa wajah Islam yang semestinya adalah wajah Islam yang dinamis. Senantiasa bergerak dan berkonstribusi. Maka tak perlu untuk menutup-nutupi atau malu ketika salah satu ormas mengakui belajar dari ormas yang lain. Semua itu adalah alamiah dan wajar-wajar saja.
Maka kini perhatian ormas perlu lebih dipusatkan pada kebutuhan bangsa yang lebih kontemporer. Misalkan saja pendirian sekolah anti korupsi, melakukan judical review terhadap Undang-Undang yang merugikan rakyat, memunculkan jihad ekologis, dan beberapa item lainnya yang terasa penting bagi masa depan bangsa. Jika salah satu ormas telah memulai, semoga saja ormas yang lainnya bisa mengikuti dan memberi keseimbangan untuk berjuang bersama dengan semangat saling berfastabiqul khairat (berlomba dalam kebaikan).
Komentar
Posting Komentar